Senin, 10 September 2012

Masjid Ki Ageng Henis Laweyan – Surakarta (bagian 1)

Masjid Laweyan atau Masjid Ki Ageng Henis, dulunya merupakan sebuah pura miliki ke ageng Beluk , kemudian berubah fungsi menjadi masjid pertama di kawasan ini setelah Ki Ageng Beluk masuk Islam di masa ke emasan kesultanan Pajang dibawah pimpinan Sultan Hadiwijaya.

Berdiri di atas Bekas Pura

Akulturasi budaya budaya Islam dan Hindu merupakan fakta sejarah di Pulau Jawa, bukti multikulturalisme itu bisa dilihat pada Masjid Ki Ageng Henis atau lebih dikenal sebagai Masjid Laweyan. Di kota Solo, Jawa Tengah. Masjid Laweyan berada di Kampung Batik Laweyan Solo ini menjadi bukti sejarah akulturasi Budaya Islam-Hindu, masjid itu sebelumnya merupakan bangunan pura. Namun, saat ini bekas bangunan pura sulit ditemukan, karena Masjid Laweyan sudah mengalami pemugaran berulang kali. Masjid Laweyan merupakan masjid tertua di Solo. Pendiri masjid ini merupakan sosok cikal bakal penerus takhta di tiga kerajaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Nama masjid ini diambil dari nama pendirinya, Ki Ageng Henis yang merupakan penasihat spiritual kesultanan Pajang. Pada masa nya Masjid Ki Ageng Henis merupakan pusat pembelajaran agama Islam bagi Kesultanan Pajang. Meski masjid ini merupakan masjid bersejarah milik Keraton Kasunanan Surakarta, namun saat ini kepengurusan hingga pemanfaatan masjid ini lebih di dominasi oleh jemaah masjid. Ritual ritual keratonpun jarang diselenggarakan di masjid ini. mengingat sejarahnya sebagai Masjid pertama di wilayah Surakarta, tak salah bila disebut bahwa masjid ini merupakan pintu masuknya Islam ke Surakarta.

Lokasi dan Alamat Masjid Laweyan

Masjid Ki Ageng Henis
Jl. Liris No1. Pajang Laweyan, Kampung Batik Laweyan
Dusun Belukan RT 4 RW 4, Kelurahan Pajang
Kecamatan Laweyan, Surakarta
Jawa Tengah – Indonesia





Nama Kampung belukan itu sendiri berasal dari kata beluk yang berarti asap. Konon dengan banyaknya rakyat yang memeluk agama Islam berdirilah sebuah pesantren yang pengikutnya banyak, karena banyaknya santri yang menjadi pengikut, maka pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi dan selalu keluarlah asap dari dapur pesantren.

Kampung Batik Laweyang hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat kota Surakarta atau dari Jalan Slamet Riyadi. Lokasi yang mudah dijangkau dari arah manapun, menjadikan Kampung Laweyan mendapat tempat tersendiri dari para pengunjung. Sebutan Laweyan berasal dari kata "lawe", yang artinya benang dari pilinan kapas. Saat itu lawe banyak dihasilkan petani di daerah Pedan, Juwiring, dan Gawok. Daerah-daerah itu terletak di selatan Kerajaan Pajang.

Sebagai kawasan cagar budaya, dilokasi tersebut banyak ditemukan situs-situs bersejarah antara lain Masjid Laweyan, makan Laweyan, Langgar Merdeka, Langgar Makmoer, dan rumah H. Samanhudi (pendiri Serikat Dagang Islam). Kampung Laweyan didesain sedemikian rupa sebagai upaya untuk mempercantik kawasan dan nyaman bagi para pengunjung yang datang ke Kampung Laweyan.

Sejarah Masjid Laweyan

Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh  Ki Ageng Henis (kakek dari Pakubuwono II) yang bersahabat baik dengan Ki Beluk, seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu. Dari persahabatan itu, lambat laun Pemangku tersebut mulai tertarik mempelajari agama Islam yang ajarannya berasal dari Al Quran dan hadits. Ki Ageng Henis sendiri yang merupakan sahabat dari Sunan Kalijaga

foto ekterior dan interior masjid Laweyan atau Masjid Ki Ageng Henis, yang merupakan masjid pertama dan tertua di Surakarta sekaligus sebagai pintu masuknya Islam ke kota tersebut. 

Setelah itu, Sang Pemangku itu langsung tertarik belajar agama Islam dan mengikrarkan diri memeluk agama Islam mengikuti jejak Ki Ageng Henis. Bangunan pura yang sebelumnya menjadi tempat ibadah agama Hindu langsung diserahkan ke Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi bangunan langgar (mushola). Dalam perkembangannya, langgar itu kemudian berubah menjadi masjid.

Masjid Laweyan berdiri sejak tahun 1546, di masa Kerajaan Pajang jauh sebelum berdirinya Surakarta (1745M). Kerajaan tersebut merupakan cikal bakal kesultanan Mataram yang kemudian pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Ngayogyakarta. (sejarah singkat kesultanan Mataram dapat dibaca di posting Masjid Agung Mataram Kotagede).

Masjid Laweyan atau Masjid Ki Ageng Henis ::: Bangunan masjidnya bukanlah bangunan masjid mewah dan modern bukan pula masjid dengan ukuran besar. Masjid Laweyan memiliki sejarah yang tak ternilai harganya, peninggalan dari masa kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau biasa dikenal luas dengan nama Jaka Tingkir 

Ki Ageng Henis adalah Imam di keraton Kesultanan Pajang dimasa pemerintahan Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi raja-raja di kraton Kasunanan dan Mataram.

Kawasan Laweyan memang terkenal sebagai sentra batik sejak masa kesultanan Pajang. Ketika Sultan Hadiwijaya berkuasa beliau mengangkat Danang Sutawijaya sebagai Syahbandar. Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Sultan Hadiwijaya. Sungai Sungai Kabanaran yang hanya beberapa meter dari masjid ini, kala itu menjadi urat nadi perdagangan kesultanan Pajang. Dan Masjid Ki Ageng Henis ini merupakan masjid resmi kesultanan Pajang.

Bersambung ke bagian 2

1 komentar:

Dilarang berkomentar berbau SARA