Minggu, 08 April 2012

Masjid Langgar Tinggi, Pekojan

Masjid Langgar Tinggi di Pekojan Jakarta, Dibangun di atas tanah wakaf Syarifah Mas’ad Barik B’alwi, di renovasi oleh Said Naum. Dari luar bangunan ini sama sekali tak tampak seperti bangunan masjid. Papan nama ini satu satunya petunjuk bila bangunan ini adalah sebuah masjid.


Langgar dalam bahasa melayu sama dengan Surau atau Mushola. Masjid Langgar Tinggi yang dibahas disini merujuk kepada masjid tua yang terletak antara Jalan Pekojan di seberang kali Angke, Jakarta Utara. Letaknya tak jauh dari beberapa masjid yang dibangun pada abad ke 17 di Pekojan, Jakarta Utara. Sebutan Langgar Tinggi memang sedikit membingunkan bagi orang melayu karena menggabungkan antara Masjid dengan Surau sekaligus. Namun mungkin karena memang awalnya adalah sebuah langgar maka hingga kini disebut Masjid tanpa menghilangkan kata Langgar dari namanya.

Masjid Langgar Tinggi masuk sebagai daftar bangunan Masjid tua warisan sejarah Kota Jakarta yang dilindungi. Portal Resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa Masjid kuno ini dibangun pada tahun 1249H bertepatan dengan tahun 1829M. pertama kali dibangun oleh seorang muslim dari Yaman bernama Abu Bakar diatas tanah wakaf dari Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi. Bangunan tersebut lalu diperluas oleh Said Naum. Masjid Langgar Tinggi ini tak jauh dari Masjid Jami’ Annawier, Pekojan yang juga merupakan salah satu Masjid tua di Jakarta,

Lokasi Masjid Langgar Tinggi, Pekojan – Jakarta

Masjid Langgar Tinggi
Jl. Pekojan Raya No. 43 Kel. Pekojan
Kec. Tambora, Jakarta Barat
Jakarta 11240 INDONESIA

 

Sejarah Masjid Langgar Tinggi, Pekojan – Jakarta

Kali Angke di abad ke 19 merupakan jalur perdangan dan transportasi utama di kota Batavia. Salah satu dari saudagar yang hilir mudik di sungai ini kala itu adalah saudagar Muslim arab asal Yaman bernama Abubakar Shihab yang kemudian membangun sebuah langgar berlantai dua di tepian kali Angke pada tahun 1249 Hijirah bertepatan dengan tahun 1829M yang kemudian disebut sebagai Langgar Tinggi. Disebutkan bahwa langgar tinggi dibangun  di atas tanah wakaf dari Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi. (Adolf Heuken SJ dalam bukunya, Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 2003)

Langgar Tinggi dibangun dengan luas lantai dasarnya 8 meter x 24 meter. Lantai atas digunakan sebagai masjid. Sebagian lantai bawah digunakan sebagai penginapan para pedagang yang mondar-mandir dengan perahu dan rakit. Termasuk penginapan untuk para kolega Abubakar Shihab dari luar kota. Sebagian lagi dijadikan tempat tinggal pengurus masjid. Kini, seluruh lantai bawah digunakan untuk toko perangkat shalat, termasuk tasbih, buku-buku agama, serta minyak wangi khas Timur Tengah dan India. Ada minyak misik, minyak buhur, sampai minyak ular. 

Foto dokumentsi Masjid Langgar Tinggi Pekojan sekitar tahun 1920-an dipotret dari seberang Kali Angke, tampak beberapa warga beraktivitas di sungai dari mencucui pakaian hingga memandikan kuda. tampak juga disana sedang terparkir rakit yang terbuat dari bambu.

Dahulu banyak perahu dan rakit dari Tangerang menyusur Kali Cisadane masuk Kali Angke membawa bahan bangunan, kain, rempah-rempah, duren, nangka, dan kelapa, menuju pusat kota lama.
 Sebelum masuk kota, perahu dan rakit-rakit itu biasanya sandar di belakang langgar. Ketika itu Kali Angke masih bersih dan dalam. Kepengurusan Masjid Langgar TInggi ini yang kemudian dilanjutkan oleh keturunan beliau. Saat ini diketuai oleh Ahmad Assegaff Bin Alwi bin Abdurrahman, bin Segaff, bin Husain, bin Abu Bakar.

Pada bulan November tahun 1833 Langgar Tinggi diperluas oleh Syekh Said Naum. Said Naum adalah seorang Kapitan Arab untuk wilayah Pekojan yang juga saudagar muslim kaya raya dari Palembang. Ia juga memiliki sejumlah armada kapal dan menjadi tuan tanah. Banyak tanahnya yang diwakafkan untuk masjid di Batavia. Semasa hidupnya juga menghibahkan sebidang tanah cukup luas untuk pemakaman umum muslim. Kini di atas tanah wakaf beliau berdiri sebuah Masjid Said Naum yang dibangun di era pemerintahan Ali Sadikin menjadi gubernur DKI. Masjid yang karena arsitekturnya memperoleh penghargaan dari Aga Khan Award.

Masjid Langgar Tinggi Pekojan dipotret sekitar tahun 1947, semasa agresi militer Belanda ke Indoensia.

Nama
Syekh Said Naum muncul dalam laporan Van Den Berg tahun 1844 yang menyebutkan bahwa seorang kapten dari bangsa Arab telah ditunjuk sebagai kepala kampung Pekojan. Syekh Said Naum merupakan Kapten Arab pertama Pekojan dan Kapten terahir di jabat oleh Sjech Hassan bin Saleh Argoebi seiring dengan beralihnya kekuasaan dari Belanda ke tentara Jepang di tahun 1942.

Menilik siapa yang membangun masjid Langgar Tinggi yang berasal dari Palembang, menjadi tidak aneh bila kemudian beliau membangun sebuah langgar berlantai dua di tapian kali Angke. Bangunan berlantai dua di tepian atau bahkan di atas sungai sekalipun merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Palembang. Dan sebutan Langgar untuk mushola memang bahasa asli masyarakat Palembang dan wilayah Sumatera bagian selatan. Bangunan atau rumah dengan tipikal seperti ini memang lumrah di kawasan Sumatera. Menjadi lebih menarik karena selain berbentuk rumah panggung bangunan Langar tinggi ini juga menggabungkan berbagai seni bina bangunan.

Tradisi Masjid Langgar Tinggi

Dulu, menurut cerita yang diwariskan para pendahulu
pengurus masjid in, ada empat pesta tahunan nan semarak di langgar tinggi. Pertama pesta khitanan bagi anak yatim piatu. Pesta ini diselenggarakan sehabis Lebaran di bulan Sapar. Berikutnya pesta mauludan (Maulid Nabi Muhammad SAW), disusul pesta mikrajan (Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW), dan pesta khatamul Quran. Ketika pesta tiba, warga sekitar dari berbagai etnis termasuk Arab, India, Jawa, Bali, China, Muslim dan nonMuslim, bersama-sama mengumpulkan bantuan untuk membiayai hajatan besar itu. "Anak-anak yang dikhitan rata-rata cuma 20-an, tetapi yang datang ke pesta jauh lebih banyak dan meriah. Pesta mauludan adalah pestanya para pria, tak heran bila pestanya pun sampai tengah malam. Di depan langgar di dirikan panggung yang dihias janur, bunga kertas khas Betawi, dan lampion di sana-sini. 

Interior Masjid Langgar Tinggi Pekojan.

Minyak lampionnya minyak kelapa bercampur minyak tanah. Kaum lelakinya memakai sarung madraz
::: Sarung kotak-kotak warna coklat cerah:: berkopiah, dan baju koko putih. alas kakinya terompah. Pesta berlangsung sehabis magrib. Penganan yang disuguhkan adalah kue pepe, pastel, dan apem. Minumannya teh tawar dan teh manis. Pesta didominasi lantunan kasidah barzanji, mengisahkan riwayat Nabi Muhammad SAW.  Dalam pesta mikrajan, giliran kaum perempuan yang pegang peranan. Acara berlangsung pukul 09.00-12.00. Mereka memakai kebaya encim-encim dan kerudung warna putih dengan bawahan kain batik Betawi, Pesta juga didominasi lantunan tadarusan. Ceritanya tentang perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad dari Masjidil Harram di Mekah hingga ke Masjidil Aqso di Palestina kemudian Naik ke Sidratul Muntaha hingga kembali ke Mekkah. Sajian makan siangn di perta ini berupa nasi ulam, tempe goreng, emping, sayur semur dengan ikan bandeng pesmol, bandeng acar kuning.
 
Pesta khatamul Quran anak-anak umumnya berlangsung dua jam. Setelah shalat isya, mereka salawatan atau kasidahan, lalu dilanjutkan tarawih. Setiap delapan rakaat, anak-anak berkasidahan. Berdoa untuk kedua orangtua, membaca fusul, lalu ditutup dengan tadarusan. Hidangannya bubur gandum surba (havermut) bumbu gulai dengan tebaran daging kambing halus yang direbus. Makanan ringannya kurma, rambutan, nangka, duren, dan mangga. Tergantung musim buahnya, tetapi anak-anak umumnya lebih suka nangka dan duren, Minumannya kopi jahe campur susu. masih menurut kepada penuturan para pengurus masjid terdahulu, di luar acara ritual, pesta diikuti orang non-Muslim juga. Ketika tiba pesta Pekcun dan Capgomeh-nya orang China, warga Muslim ikutan berebut terima angpau. Pesta biasanya berlangsung di tepi Kali Angke. Yang Muslim biasanya lebih suka nonton dari lantai dua langgar karena bisa tiduran di langgar.

Masjid Langgar Tinggi Pekojan berada di lantai dua bangunan ini. Dilantai dasarnya menjadi kios beraneka macam dagangan khas.

Arsitektural Masjid Langgar Tinggi

Seperti telah disinggung di muka, Langgar Tinggi memiliki unsur arsitektural perpaduan Melayu, Eropa klasik, Thionghoa dan Jawa. Unsur seni bina bangunan melayu tampak pada bentuk rumah panggung, Eropa klasik seperti tampak pada pilar pilar bundarnya yang kokoh, unsur seni bina bangunan China tampak pada penyangga balok-balok kayunya, dan unsure Jawa pada denah dasarnya. Sentuhan budaya melayu juga tampak pada Mimbar masjid diperkirakan berasal dari Palembang.

Said Naum yang berasal dari Palembang sedikit banyak membawa tradisi melayu Sumatera ke dalam reka bentuk dan seni bina Langgar Tinggi bila anda berkesempatan berkunjung ke wilayah Palembang atau bagian Sumatera lainnya, reka bentuk bangunan seperti langgar tinggi ini memang lumrah disana. Beberapa bangunan tua di pinggiran Sungai musi Palembang dapat dengan mudah ditemukan bangunan seperti ini baik dalam bentuk asli melayu ataupun bangunan dengan perpaduan beragam budaya seperti Langgar Tinggi.

Bangunan masjid Langgar Tinggi ini terdiri dari dua lantai, lantai atas dipakai sebagai masjid sedangkan lantai bawah nya kini seluruhnya dipergunakan sebagai ruang toko. Lokasinya yang berada di tepi jalan raya menjadikannya cukup strategis untuk digunakan sebagai area perdagangan. Di dekat Langgar Tinggi terdapat sebuah jembatan kecil yang dinamai Jembatan Kambing. Dinamakan demikian, karena sebelum dibawa untuk disembelih di pejagalan (sekarang bernama Jalan Pejagalan), kambing harus melewati jembatan yang melintasi Kali Angke ini terlebih dahulu. Para pedagang di sini telah berdagang secara turun-temurun selama hampir 200 tahun.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA