Jumat, 30 Maret 2012

Masjid Jami’ Al Ma'mur, Cikini

Masjid Jami' Al-Ma'mur Cikini, masjid tua Jakarta yang masih berdiri dalam bentuk aslinya.

Di tepi Kali Ciliwung, membelakangi Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta, Berdiri kokoh melewati waktu lebih dari 150 tahun, sebuah masjid tua yang sarat dengan sejarah. Namanya Masjid Jami' Cikini Al-Ma'mur, namun lebih dikenal dengan nama Masjid Cikini. Masjid itu merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta, di bangun diatas tanah milik pelukis ternama Raden Saleh dalam tahun 1860. Masjid tua yang menyimpan kisah perjuangan panjang kaum muslimin mempertahankan hak atas masjid ini.

Sederet tokoh tokoh pahlawan Nasional pernah menorehkan nama mereka dalam sejarah mempertahankan masjid ini sejak era penjajahan Belanda hingga ke masa kemerdekaan sampai ahirnya Masjid Al Ma’mur Cikini ahirnya benar benar kembali ke pangkuan ummat Islam hingga hari ini. Tak hanya sejarah mempertahankannya tapi sejarah pembangunannya pun tak lepas dari kegigihan dan tekad muslim Batavia dalam masjid ini, sejarah mencatat warga muslim setempat bahkan rela mengumpulkan beras demi mendanai pembangunan masjid ini.

Lokasi dan Alamat Masjid Al Ma’mur Cikini

Jl. Raden Saleh Raya RT.3/RW.3, Cikini, Menteng, 
Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10330





Siapakah Raden Saleh

Beliau adalah seorang pelukis ternama, bernama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman. Lahir di Terbaya dekat Semarang sekitar tahun 1814 dari keluarga aristokrat keturunan Arab. Ia mendapat beasiswa untuk belajar di negeri Belanda tahun 1829, di sana berkenalan dengan kalangan ningrat dari banyak istana di Eropa, khususnya dengan Grojbherzog von Sachsen-Corburg-Gotha. Raden Saleh menerima gelar ksatria Belanda, Austria dan Prusia. Dialah pelukis Indonesia yang paling berbakat dan berhasil pada abad ke 19. Sekembalinya di Jawa dari Eropa pada tahun 1851, ia menetap di Batavia, di sebuah rumah bergaya gotik yang dirancang sendiri dan dibangun di daerah Cikini. Ia banyak melukis dalam gaya romantis dengan komposisi dramatis. Banyak lukisannya diterima ke dalam aneka koleksi kerajaan maupun pribadi di Eropa, khususnya di berbagai Museum di Amsterdam. Lukisannya yang terkenal antara lain: Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) dan Berburu Banteng (1851) yang disimpan di Puri Bhakti (kompleks Istana).

Raden Saleh
Raden Saleh adalah pelukis Jawa pertama yang secara sistematis menggunakan cat minyak dan mengambil teknik-teknik Barat: realisme pada potret, pencarian gerak, perspektif dan komposisi berbentuk piramid dan sebagainya. Kini ia dikenal sebagai "bapak" ilmu seni lukis Indonesia. Sebagian masyarakat seni rupa (ahli sejarah, kritikus, praktisi, pecinta seni) menyebut bahwa seni lukis Indonesia modern diawali sejak Raden Saleh (1807-1880), yang berkiprah pada pertiga abad ke-19. Sebagai cicit Sayid Abdullah Bustam dan putra Sayid Husein bin Yahya, Raden Saleh selama di Maxem, Jerman mendirikan sebuah mushola bertuliskan basmalah dalam bahasa Jerman dan Jawa. Sementara di dekat kediamannya di Cikini ia juga membangun sebuah surau (1860). Setelah beberapa kali tergusur surau tersebutlah yang kini menjadi masjid Cikini Al-Ma’mur. Dari garis keturunannya Raden Saleh merupakan saudara sepupu dari Habib ‘Ali bin ‘Abdur Rahman bin ‘Abdullah bin Muhammad al-Habsyi Atau lebih dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang, Ulama kondang dan berpengaruh di Batavia, pendiri majelis taklim Kwitang, Masjid Ar-Riyadh Kwitang dan Islamic Center Indonesia di Kwitang.

Sebagai penyayang binatang, Raden Saleh mendirikan kebon binatang pertama di Cikini, yang masih merupakan bagian dari tanah kediamannya. Kebon Binatang ini pada masa gubernur Ali Sadikin akhir 1960-an dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan. Kediamannya di Cikini terbentang dari TIM, dua bioskop (Garden Hall dan Podium), kolam renang Cikini, hingga SMP I Cikini, yang dulunya merupakan pintu gerbang untuk masuk ke kediamannya. Ketika pindah ke Bogor, pelukis ini menjual rumah beserta tanahnya pada Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, pemilik gedung Museum Tekstil di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Kemudian rumah dan tanah yang luas itu dijual pada Koningen Emma Ziekerhuis (Yayasan Ratu Belanda Emma), dengan harga 100 ribu gulden. Mengetahui rumah dan tanah akan dijadikan rumah sakit, Abdullah Alatas memotong harga penjualan jadi 50 ribu gulden. Ketika Indonesia merdeka, yayasan ini menyerahkannya kepada RS PGI Cikini.

Masjid Jami Cikini setelah proses pemugaran oleh Belanda di tahun 1926. besarnya sokongan Syarikat Islam kepada Masjid ini membuat Parpol terbuat memasang lambang partainya berupa Bintang dan Bulan Sabit pada fasad depan masjid ini sebagai simbol perlawanan terhadap arogansi Belanda. (Cas Oorthuys-1947).


Ketika terjadi kerusuhan di Bekasi pada 1869 oleh kelompok Islam, Raden Saleh dituduh turut mendalanginya. Kediamannya digeledah, setelah dikepung 50 serdadu bersenjata lengkap. Pelukis ini meninggal di Bogor tahun 1880 dan dimakamkan di Jl. Bondongan (kini Jl Pahlawan). Bersebelahan dengan makam istrinya RA Danurejo, putri dari Keraton Kesultanan Mataram.

Sejarah Masjid Jami’ Cikini Alma’mur

Surau Raden Saleh

Sejarah Masjid Cikini dimulai pada tahun 1860, Raden Saleh dan masyarakat sekitar membangun sebuah surau disamping kediamannya (kini menjadi asrama perawat RS Cikini). Akibat kedekatan pelukis kondang ini dengan umat Islam setelah ia menikah kembali dengan wanita keturunan Kraton Yogyakarta ia dituduh terlibat dalam kerusuhan di Tambun (Kabupaten Bekasi). Kerusuhan tersebut digerakkan kelompok Islam yang menentang pemerintah kolonial Belanda. Meskipun tuduhan itu tidak terbukti, tapi Belanda tetap mengenakan tahanan rumah kepadanya.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Yayasan Masjid Al Ma'mur, sesudah Raden Saleh meninggal dunia (1906), tanah itu dimiliki Sayed Abdullah bin Alwi Alatas, yang pemilikannya diperkuat oleh Keputusan Pengadilan Negeri No 694 tanggal 25 Juni 1906, sebagai suatu kelanjutan dari Keputusan Pengadilan Negeri No 145 tanggal 7 Juli 1905.

Tanah itu dibeli melalui sebuah pelelangan. Tanah yang sangat luas ini kemudian oleh Sayed Abdullah Bin Alwi Alatas, salah satu tokoh gerakan Pan Islam dijual kepada 'Koningen Emma Stichingi' (Yayasan Ratu Emma - yang bernaung di bawah Pemerintah Kolonial Belanda) dengan harga 100 ribu gulden. Tapi karena yayasan ini ingin membangun rumah sakit, harganya dikurangi menjadi 50 ribu gulden dengan penegasan bahwa masjid (surau) yang ada di sana tidak boleh dibongkar.

Keaslian Masjid Jami CIkini masih terkonservasi hingga kini, sebagai benda cagar budaya, Masjid Jami Cikini memang dirawat ke-asliannya termasuk tulisan nama masjid dalam huruf arab berikut dengan lambang Syarikat Islam di fasad depannya

Selamat dari Penggusuran Oleh Pemerintah Belanda

Perjanjian jual beli antara Sayed Abdullah Bin Alwi Alatas dengan 'Koningen Emma Stichingi' diingkari pemerintah kolonial Belanda. Masjid yang dibangun Raden Saleh digusur dan dipindahkan ke pinggir kali Ciliwung. Akibatnya, tempat ibadah ini kerap kebanjiran. Tahun 1890 tercatat sebagai tahun ketika masjid itu dipindahkan secara gotong-royong dengan diusung beramai-ramai oleh masyarakat sekitar. Tanah yang dipilih sebagai lokasi baru adalah tanah milik Sayid Ismail Salam bin Alwi Alatas yang lain di lokasi masjid sekarang.

Kala itu masjid masih berbahan bambu. Pada tahun 1925, 'Koningen Emma Stichingi' yang masih saja merasa gerah dengan keberadaan masjid yang beberapa ratus meter saja jaraknya dari tempat mereka, dengan dukungan pemerintah kolonial Belanda, meminta agar masjid yang sudah dirasakan sebagai milik umat Islam Cikini harus dipindahkan (digusur) ketempat lain. Dengan alasan, di tempat masjid itu berada akan dibangun gereja.

Niat untuk memindahkan masjid ini menimbulkan reaksi yang keras bukan saja dari masyarakat di Betawi, tapi juga umat Islam di Pulau Jawa. Umat Islam merasa tertusuk hatinya, dengan perintah pembongkaran rumah Allah ini. Sebagai rasa setiakawan, maka kala itu mereka melakukan perlawanan. Tidak tanggung-tanggung, perlawanan ini dipelopori oleh sejumlah tokoh Islam, HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansyur, H Agus Salim, dan Abikoesno Tjokrosoeyoso. Mereka adalah tokoh-tokoh Syarikat Islam (SI), yang kala itu merupakan satu-satunya ormas Islam yang kemudian menjadi PSII. Inilah sebabnya pada gapura masjid terdapat lambang SI hingga saat ini.

Pemugaran Tahun 1926

Gencarnya reaksi menentang dari umat Islam ternyata menciutkan nyali Belanda. Sekiranya Belanda tetap ngotot niscaya terjadi pertumpahan darah. Sesudah pertentangan mereda, pada 1926 masjid Al Ma'mur dipugar oleh ummat Islam. Pemugaran ini dimotori oleh tokoh umat Islam diatas, sebagai manifestasi perlawanan umat Islam terhadap tindakan pemerintah kolonial, diketuai oleh H Agus Salim. Masyarakat muslim bergotong royong membangun masjid dengan mengandalkan sumbangan segenggam beras, Beras yang dikumpulkan itu dijual ke pasar dan hasilnya dibelikan bahan bangunan untuk membangun masjid ini. keseluruhan proses pembangunan itu selesai tahun 1935.

Interior bangunan asli, Masjid Jami' Al-Ma'mur Cikini.

Perjuangan 27 Tahun

Pada 1960-an, saat demokrasi terpimpin, situasi politik di tanah air memanas. Saat itu umat Islam (menjelang G30S/PKI), sibuk menghadapi move-move politik. Dalam situasi demikian, tanpa sepengetahuan umat Islam/pengurus masjid tanah masjid diambil/diakui oleh Dewan Geredja-geredja Indonesia menjadi miliknya dengan cara mensertifikatkan tanah masjid tersebut di atas namanya. Saat itu yang menjadi Menteri Agraria adalah Hermanses SH dan Perdana Menteri Dr. J Leimena.

Tahun 1964, ketenangan beribadah kaum muslimin di sekitar Masjid Al Makmur diganggu oleh Kementrian Agraria RI yang menerbitkan SK hak milik berupa sertifikat tanah atasnama Dewan Gereja Indonesia (DGI). Dalam sertifikat itu disebutkan bahwa tanah di sekitar masjid ::: termasuk tanah yang di atasnya dibangun masjid itu ::: diklaim milik DGI. Padahal di tahun yang sama, Masjid Al Makmur telah berbadan hukum berbentuk Yayasan Masjid Al Makmur bernomor akta notaris 13, tertanggal 8 Juli 1964 dengan notaris Adasiah Harahap. Badan pendirinya, disebutkan adalah Sukaryo Mustafa seorang pedagang yang bertempat tinggal di jalan Cisadane, serta Kamil Cokroaminoto (keturunan HOS Cokroaminoto), lalu H. Abdul Karim Naiman, seorang pegawai negeri (sekarang anaknya  ::: H. Sabihun Naiman::: menjadi ketua pengurus Masjid Al Makmur).

Aksi penyerobotan itu rupanya (lagi-lagi) dirancang oleh pihak Koningen Emma Stichting, yang mensertifikatkan tanah itu atasnama DGI secara diam-diam. Sertifikat itu didaftarkan kepada Kementrian Agraria---yang ketika itu dirangkap oleh PM J.Leimena yang juga sekaligus Direktur RS Cikini, dan dinyatkan secara sah milik DGI. Sampai tahun 1970-1975, pihak rumah sakit tetap bersikeras menyatakan bahwa tanah masjid adalah bagian dari kompleks rumah sakit.

Interior Masjid Jami' Cikini.

Pada tahun 1987 saat perundingan segi tiga antara gubernur, DGI dan pengurus masjid, pihak RS DGI Cikini menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan tanah tersebut. Namun pengurus masjid menegaskan, ''Kami tidak ada sangkut pautnya dengan DGI. Kami meminta agar tanah kami dikembalikan.'' Upaya upaya perundingan turut dibantu oleh Walikota Jak-Pus Abdul Munir di tahun 1989 hingga tahun 1990.

27 tahun lamanya perjuangan mengembalikan hak kaum muslimin atas tanah masjid Cikini dan ahirnya, pada hari Jumat  24 Mei 1991, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Admodarminto atas nama pemerintah RI dihadapan jamaah Masjid Cikini mengumumkan sertifikat tanah atas nama DGI yang mencakup tanah masjid Al-Ma'mur telah dicabut. Tanah masjid telah dikembalikan kepada umat Islam dengan sertifikat tersendiri atas nama Yayasan Masjid Al Ma'mur yang diketuai oleh Mayjen (purn) HM Joesoef Singedekane, mantan gubernur Jambi.

Pada 1993, setelah berbulan-bulan berusaha mendapatkan IMB untuk merenovasi/membangun masjid dan sekolah/madrasahnya, maka pada 4 Maret 1993 izin IMB keluar. Dan dimulailah membangun sekolah berlantai dua untuk menggantikan sekolah yang lama. Kini, di samping masjid Cikini ini berdiri cukup megah perguruan Islam. Mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai SLTA. Masyarakat sekitar Cikini merasa bangga akan keberadaan masjid ini, karena ia merupakan lambang perjuangan umat Islam menghadapi kolonialisme Belanda.

Masjid Jami’ Cikini Al-Ma’mur Saat ini

Saat ini masjid Cikini memiliki dua bangunan utama, bangunan pertama merupakan bangunan masjid asli yang dibangun dimasa penjajahan Belanda, kemudian pengurus masjid Cikini membangun duplikat masjid lama tepat dibelahnya dengan arsitektur bangunan yang lebih modern dan lebih luas. Bangunan baru ini tidak difungsikan setiap hari, pusat kegiatan tetap di bangunan asli, sedangkan di bangunan baru difungsikan untuk kegiatan tertentu termasuk sholat Jum’at, dua sholat hari raya maupun kegiatan keagamaan lainnya. Di samping Masjid Cikini juga berdiri gedung sekolah Islam milik Masjid CIkini yang terdiri dari TK Islam, Madrasah Ibtidaiyah, SMP Islam, Madrasah Diniyah hingga sekolah menengah kejuruan bisnis manajemen.***

Rujukan

mualaf.com – masjid alma’mur cikini jakarta
kompas.com via indowebster - bangun masjid al-ma'mur dari beras
wildanielearning.blogspot.com – masjid al-ma’mur cikini
salimalt.multiply.com - masjid-masjid bersejarah" masjid al-makmur (1840)
Jakarta.go.id – raden saleh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA