Minggu, 25 Juni 2017

Masjid Navahrudak, Belarussia

Masjid Navahrudak, satu dari dua Masjid Kayu yang sudah berusia lebih dari se-abad.

Navahrudak dalam Bahasa Russia ditulis Навагрудак, Новогрудок atau juga disebut Nowogródek, Navagradak, Novogroudok, adalah salah satu kota tua di Republik Belarussia di kawasan Baltik, Eropa Utara bagian timur. Seperti halnya seluruh wilayah Belarussia lainnya, kota ini juga pernah menjadi bagian dari wilayah Grand Duchy of Lithuania dan pernah juga menjadi bagian dari wilayah Persemakmuran Lithuania-Polandia.

Unik-nya kota yang kini menjadi bagian dari Republik Belarussia ini, dulunya pernah menjadi ibukota bagi Grand Duchy of Lithuania, lalu kemudian ketika Lithuania bersama Polandia membentuk negara Persemakmuran, Navahradak kembali terpilih menjadi ibukota negara persemakmuran tersebut sejak tahun 1569 sampai kemudian menjadi bagian dari emperium Russia setelah pecahnya persemakmuran tersebut di tahun 1795.

Navahrudak Mosque
vulica Lienina, Navahrudak, Belarus
koordinat: 53°35'37"N   25°49'34"E

 

Selanjutnya kota ini sempat berkali kali pindah tangan dari Jerman, Belarussia, Polandia, Russia, lalu kembali di kuasai Polandia dengan pernjanjian Riga sampai kemudian di kuasai oleh pasukan Soviet pada bulan Septermber 1939 dan menjadi bagian dari Byelorussian SSR sampai tahun 1941. Seiring dengan runtuhnya Uni Soviet, Parlemen Belarusia mendeklarasikan kedaulatan negara pada tanggal 27 Juli 1990 dan Deklarasi Kemerdekaan Belarusia dikumandangkan pada tanggal 25 Agusutus 1991 dan Navahrudah menjadi bagian dari Belarussia.

Islam masuk dan menyebar di Belarusia diantara abad ke empat belas dan enam belas, terutama dikarenakan Grand Duke of Lithuania yang memang dengan sengaja mengundang muslim etnis Tatar dari semenanjung Krimea dan Golder Horde untuk menjadi penjaga perbatasan negara. Dimulai dari abad ke empat belas, banyak muslim etnis Tatar yang mendapatkan kedudukan tinggi di kepangeranan Lithuania.

Pada penghujung abad ke enam belas, lebih dari 100 ribu muslim etnis Tatar tinggal di Belarusia dan Lithuania termasuk diantara mereka yang memang mendapatkan pekerjaan disana ataupun menetap karena berstatus sebagai tawanan perang. Saat ini muslim etnis Tatar yang sudah menjadi pemukim disana merupakan muslim suni.

Masjid Navahrudak saat musim salju

Di tahun 1994 untuk pertama kali diselenggarakan kongres nasional Muslim Belarusia. Hasilnya adalah terbentuknya Komunitas Islam Republik Belarusia dengan pimpinan pertamanya Dr. Ismail Aleksandrovich. Hingga tahun 1997 sudah terdapat 23 komunitas muslim disana termasuk 19 diantaranya berdiri di wilayah bagian barat negara tersebut. Dan jumlah tersebut telah bertambah menjadi 27 komunitas muslim pada tahun 2002.

Masjid Navahrudak

Sebagai sebuah kota tua, Navahrudak memiliki sebuah bangunan Masjid Besejarah yang dibangun oleh Komunitas Muslim  Tatar di Navahrudak. Bangunan masjid dari kayu yang sempat mengalami kerusakan dimasa Uni Soviet lalu kemudian direhabilitasi setelah negara tersebut memproklamirkan kemerdekaan.

Meskipun Navahrudak pernah menjadi Ibukota negara, namun masjid pertama yang dibangun di Belarussia justru berada di kota Ivje (sudah di ulas di artikel sebelumnya), yang dibangun oleh Muslim Tatar di tahun 1884. Bersama dengan Masjid Navahrudak, Masjid Ivye kini dianggap sebagai salah satu monumen arsitektur bangunan kayu di Belarusia.

Interior masjid Navahrudak

Masjid Navahrudak dibangun tahun 1885 menggantikan masjid sebelumnya yang dibangun tahun 1792. Pembangunan masjid ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tempat peribadatan bagi sekitar 300 muslim Tatar yang tinggal di Navahrudak saat itu. dan Masjid ini merupakan satu dari sekitar 20 Masjid yang dibangun diseluruh wilayah persemakmuran Lithuania-Polandia.

Masjid Navahrudak sempat di alihfungsi menjadi rumah tinggal dimasa kekuasaan Uni Soviet di Belarussia dan sebagian besar muslim Navahrudak pindah ke Polandia. Di masa itu, seluruh kegiatan keagamaan dilarang oleh pemerintah dan semua tempat ibadah ditutup permanen atau dialihfungsi bahkan dihancurkan. Baru setelah kemerdekaan Belarussia, masjid ini dibuka kembali di tahun 1993.

Dan pada bulan Juli 1997 dalam peringatan 600 tahun pemukiman Etnis Tatar di Belarusia yang mengambil tempat di masjid kota Novahrudak sekaligus peresmian pembukaan kembali masjid ini setelah renovasi. imam masjid saat ini dijabat oleh imam Ali Szegidewicz.

Arsitektur Masjid Navahrudak

Masjid Navahrudak hampir sama dengan masjid di kota Ivje dan masjid tua masjid di wilayah Baltik lainnya yang merupakan masjid dari kayu dengan bentuk yang sangat klasik khas bangunan tradisional setempat. Denah dasar bangunan masjid Navahrudak berupa bangunan berdenah segi empat ditambah dengan tiga beranda di tiga sisinya. Satu beranda di sisi timur dan utara sebagai beranda sebenarnya tempat pintu bangunan berada, sedangkan beranda di sisi selatan sejatinya merupakan ruangan mihrab tempat imam memimpin sholat berjamaah.

Menara Masjid Navahrudak.

Mihrab masjid ini seperti sebuah kamar dengan pintu tanpa daun. Bagian atas pintu mihrab di bentuk setengah lingkaran dengan ornamen bulan sabit di atasnya. Sedangkan di dalam ruang mihrab dilengkapi dengan jendela kaca sebagai penerangan cahaya matahari disiang hari.

Sebuah mihrab dari kayu berukir ditempatkan di sisi kanan ruang pintu mihrab. Mimbar dengan tiga undakan anak tangga tempat khatib menyampaikan khutbahnya. dibagian atas mihrab juga ditempatkan sebuah ornamen bulan sabit. Sebuah foto masjidil Haram dengan Ka’bah ditengahnya ditempatkan dibagian belakang mihrab ini.

Hampir sama dengan masjid di kota Iwye, Masjid Navahrudak juga dilengkapi dengan sebuah menara di puncak atapnya. hanya saja di masjid ini menaranya dilengkapi dengan kubah berdenah segi delapan dan tidak dilengkapi dengan balkon. Seluruh menara ini berdiri diatas tumpukan atap kedua dari masjid ini.***

Sabtu, 24 Juni 2017

Mengenal Masjid Masjid Tua Jakarta (Bagian 5)

Enam Masjid Tua Jakarta di awal abad ke 20.

Artikel ini adalah bagian ke lima dan bagian ahir dari sequel masjid masjid tua di Jakarta. Pada bagian ini ada enam masjid yang kami ulas secara singkat. Masing masing masjid tersebut semuanya dibangun di paruh awal abad ke 20 menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Tak mengherankan bila sejarah enam masjid berikut ini berkaitan erat dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

(21). Masjid Baitul Mughni (1901) Jakarta Selatan

Sejarah Masjid Baitul Mughni dimulai sejak tahun 1901. Ketika itu Guru Mughni baru pulang dari tanah Suci, kembali ke Batavia. Ia membeli lahan dan langsung mendirikan sebuah masjid kecil berukuran 13 x 13 meter yang pada awal pendiriannya belum memilki nama. Bahan bangunannya terdiri dari batu bata pada bagian dindingnya, lantainya berubin warna merah dengan beratapkan genteng. Bentuk masjid itu adalah empat persegi dengan mihrab di depan sebagai tempat imam memimpin shalat. Meski demikian, jika dibandingkan dengan bangunan yang ada di wilayah lain saat itu, bangunan masjid ini tergolong bangunan mewah.

Masjid Baitul Mughni menara tingginya kini terselip diantara gedung gedung yang jauh lebih jangkung di sekelilingnya.

Dengan bertambahnya jumlah jamaah, ukuran Masjid Baitul Mughni pun diperluas, bagian belakangnya ditambah dengan bahan bangunan dari anyaman bambu. Bagian belakang ini dimanfaatkan sebagai tempat mengaji dan bermalam bagi murid-murid Guru Mughni yang datang dari tempat tempat yang jauh. Belum ada menara masjid pada waktu itu. Baru menjelang Guru Mughni wafat dibuat menara. Setelah itu menyusul renovasi demi renovasi berikutnya. satu-satunya peninggalan masjid lamanya tersisa pilar masjid bekas tiang penyangga masjid di sebelah dalam.

Sejak pertama pendiriannya, Masjid Baitul Mughni berfungsi tak hanya sebagai tempat ibadah namun juga sebagai tempat pendidikan dan penyebaran ilmu-ilmu agama, bahkan saat itu Masjid Baitul Mughni juga sebagai pusat informasi Ru’yatul Hilal (penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal) bagi masyarakat Jakarta Selatan. Ketika itu, masjid ini melahirkan seorang tokoh ahli ilmu falak yakni K.H. Abdullah Suhaimi, yang juga menantu Guru Mughni sendiri. Ketika itu bisa dibilang Masjid Baitul Mughni merupakan masjid rujukan bagi masjid-masjid kecil di sekitarnya. Seperti untuk menentukan waktunya azan, biasanya masjid-masjid lainnya berpatokan pada masjid ini. Mereka tidak akan azan sebelum mendengar suara azan dari Masjid Baitul Mughni ini.

Masjid Ar-Raudah di kawasan pekojan, mirip dengan rumah penduduk

(22). Masjid Ar-Raudhah Pekojan (1905) Jakarta Barat

Masjid Ar Raudah, Pekojan (1905) adalah salah satu masjid tua di Jakarta yang berada di Jalan Pekojan II, kelurahan Pekojan, kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Masjid ini dahulunya merupakan tempat berkumpulnya anggota Jamiatul Khair (Perkumpulan Kebaikan) yang dibentuk oleh Ali dan Idrus yang berasal dari keluarga Shahab di masa penjajahan Belanda.

Perkumpulan itu berperan dalam penyebaran agama Islam pada masa Hindia Belanda. Namun, Belanda mencurigai kumpulan tersebut. Jamiatul Khair tetap ingin diakui sebagai organisasi dan mengajukan permohonan pada 1903. Baru pada 1905 mereka resmi diakui sebagai organisasi oleh pemerintah kolonial Belanda.

Ide dasar dari perkumpulan Jamiatul Khair adalah untuk memunculkan ide para pemuda Islam untuk membentuk organisasi organisasi kebangsaan lainnya seperti Budi Utomo yang berdiri pada 1908. Sejarah perkumpulan Jamiatul Khair dan adanya sumber mata air di dalam masjid ini yang tak pernah kering makin menghiasi sejarah dari Masjid Ar Raudah di Pekojan II ini.

Masjid Keramat Kampung Bandan atau Masjid Al-Mukarromah

(23). Masjid Al-Mukarromah Kampung Bandan (1917) Jakarta Utara

Masjid Al-MukarromahKampung Bandan adalah salah satu masjid tua di Jakarta yang dibangun pada abad ke 18. Lokasinya kini berada di Jalan Lodan, Kampung Bandan, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Dalam bahasa Arab, nama masjid ini memiliki arti mulia atau yang dimuliakan. Pertama kali dibangun sebagai sebuah Mushola di dekat dua makam Ulama Besar Batavia oleh Sayid Abdul Rachman bin Alwi As Syatiri pada tahun 1879. Beliau wafat tahun 1908 dan putra beliau Sayid Alwi bin Abdul Rachman bin Alwi As-Syatiri yang kemudian membangun mushola tersebut sebagai sebuah masjid.

Sejarah Masjid Al-Mukarromah ini terbilang cukup unik. Habib Abdurrahman bin Alwi Asy-Syahtiri adalah seorang saudagar yang pada suatu kesempatan sekitar tahun 1874 berkunjung ke kediaman Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas di Empang, Bogor. Awalnya Habib Abdurrahman hanya berniat mengadu masalah usaha dagangnya. Tapi, lalu Habib Abdullah menyuruh beliau menelusuri 2 makam ulama besar di Batavia. Jika ditemukan, Habib Abdullah berpesan agar Habib Abdurrahman memelihara dan mendirikan tempat ibadah di dekat makam tersebut.

Dijelaskannya, kedua makam itu adalah para wali Allah. Semasa hidupnya, mereka berdakwah dan menyebarkan syiar Islam di tengah-tengah perkampungan para budak dari Banda yang terzalimi ulah jahat penjajah. "Keduanya terlibat dalam pemberontakan kepada VOC di tahun 1682”. Setelah melakukan penelusuran ditemukan dua makam berdampingan yang terletak di Kampung Bandan. Habib Abdullah pun membenarkan bahwa kedua makam itu merupakan dua ulama yang dicarinya. Habib Abdurrahman mengikuti amanat Habib Abdullah dengan membeli tanah tempat keberadaan makam tersebut, mendirikan tempat singgah dan salat untuk peziarah di tahun 1879, dan meneruskan ajaran agama Islam di sana.

Habib Abdurrahman wafat pada 1908, kepengurusan tempat ibadah yang awalnya hanya berbentuk mushola ini, diteruskan oleh putranya, Habib Alwi bin Abdurrahman Asy-Syahthiri. Mushola baru berkembang jadi masjid sejak tahun 1913 dan selesai tahun 1917. Masjid Al-Mukarromah terletak di atas tanah seluas 95 x 50 m, dibatasi pagar beton dengan jeruji besi dilengkapi dengan pintu gerbang yang terletak di sisi selatan. Bangunan utamanya berukuran 15 x 13 m, dengan dua buah pintu masuk. Di dalamnya terdapat tiang, makam, mihrab, dan mimbar. Bagian selatan, timur, dan barat terdapat serambi.

Masjid Hidayatullah Setiabudi, ditepian kali krukut yang airnya kita menghitam legam karena polusi

(24). Masjid Hidayatullah Setiabudi (1921) Jakarta Selatan

Masjid Hidayatullah Setiabudi ini merupakan salah satu masjid dengan sentuhan budaya Thionghoa di Indonesia. Pertama kali dibangun pada tahun 1747 di atas lahan wakaf dari pengusaha Batik bernama Mohamad Yusuf yang tinggal didaerah Karet, lahan seluas tiga ribu meter persegi untuk masjid tersebut beliau dapat dari seorang Belanda bernama Safir Hands.

Masjid Hidayatullah sudah tiga kali direnovasi, yaitu tahun 1921, 1948, dan 1996. Namun renovasi sama sekali tidak mengubah wajah asli masjid. Pada tahun 1991 pengusaha swasta dan pejabat pemerintah pernah akan menggusur peninggalan sejarah ini, sehingga menimbulkan bentrokan antara warga setempat dengan aparat. Pengurus masjid dibantu Museum Nasional DKI Jakarta berhasil mempertahankannya.

Masjid Hidayatullah menjadi saksi bisu perjuangan para pahlawan saat melawan penjajah. Dimasa penjajahan dulu sering dipakai sebagai tempat mengatur strategi. Dua menara menjulang tinggi di kanan dan kiri pintu masuk masjid dulunya juga dipakai untuk mengintai musuh. Melalui masjid inilah pengiriman senjata ke daerah Karawang dan Cikampek dilakukan.

Bukti lain keterlibatan Masjid Hidayatullah dalam perebutan kemerdekaan adalah ditangkapnya salah seorang pengurus masjid, yaitu H. Saidi yang sempat dibuang ke Digul, sebelum akhirnya dikembalikan ke lingkungan tersebut. Pahlawan Betawi ini meninggal tahun 1950-an dan di makamkan di sekitar masjid.

(25). Masjid Maulana Hasanudin Cikoko, Pancoran (1928-1933) Jakarta Selatan

Masjid Maulana Hasanudin didirikan oleh H Mursan bin Thaifin atau Kiai Kucang pada tahun 1928 dan baru dinyatakan selesai pada tahun 1933. Pada awalnya, pembangunan masjid ini mendapat tentangan dari sekelompok ulama lain, karena pembangunannya dianggap belum perlu mengingat di sekitar lokasi sudah ada  Masjid Jami’ Al Atiq, Kampung Melayu.

Namun Kiai Kucang dengan dibantu rekan-rekannya, tetap bersikeras mendirika masjid baru, mengingat jarak kampung cikoko dengan Masjid Jami’ Al Atiq terbilang cukup jauh. Pada masa itu mushala-mushala di Jakarta belum sebanyak saat ini, masyarakat Cikoko, kala itu harus jalan kaki menuju Masjid Jami’ Al Atiq dengan waktu tempuh yang cukup lama untuk menunaikan sholat berjamaah.

Pada saat didirikan, oleh penduduk diberi nama "At Taghwan." Baru pada tahun 1967, atas permintaan pemerintah daerah dilakukan perubahan nama menjadi Masjid Jami Maulana Hasanudin, mengambil nama sultan pertama Banten. Warga setuju karena memang Kiai Kucang masih murid dari Sultan Maulana Hasanudin. Masjid Maulana Hasanudin pada zamannya merupakan salah satu masjid yang penting. Konon, banyak jemaah haji di zaman Hindia Belanda selalu menyempatkan diri untuk singgah ke masjid ini seusai pulang dari tanah suci dengan kapal laut.

Menara Masjid Al-Riyadh Kwitang

(26). Masjid Jami’ Al-Riyadh Kwitang (1938) Jakarta Pusat

Masjid Jami’ Al-Riyadh Kwitang didirikan oleh Ali Al Habsyi Sekitar tahun 1356H/1938M. Di tempat inilah Habib Ali bersama murid-muridnya dan penduduk setempat mendirikan sebuah majelis taklim di rumah pribadinya. Tempat tersebut lantas ia beri nama Baitul Makmur. Beberapa tahun berjalan majelis itu dia beri nama Unwanul Falakh. Sekitar tahun 1950, majelis tersebut resmi diberinama Masjid Al-Riyadh. Namun masyarakat sekitar lebih mengenalnya dengan nama Masjid Kwitang. Sedangkan Ali Al Habsyi dikenal masyarakat sebagai Habib Ali Alhabsji seorang tokoh ulama Betawi yang begitu berpengaruh di zamannya.

Sampai tahun 1960-an, Habib Ali selalu mengajar di Masjid Al-Riyadh ini. Beiau kemudian membangun Islamic Centre Indonesia di kediamannya, kira-kira 300 meter dari masjid. Masjid Al-Riyadh pada tahun 1963 pernah diresmikan Bung Karno. Oleh proklamator kemerdekaan Indonesia ini, masjid itu diberi nama Baitul Ummah atau kekuatan umat. Tapi kemudian diganti lagi dengan nama semula.

Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, selain digunakan untuk syiar agama Islam, Masjid Al-Riyadh dipakai untuk tempat pertemuan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ini tidak mengagetkan karena Ali Al Hasyi adalah salah satu penasehat dan orang kepercayaan Presiden Soekarno. Beliau bagian dari tentara Hisbullah. Suara Jakarta, pelopornya Beliau. Tanpa persetujuannya rakyat sulit bergerak.***

Selesai.


Kamis, 22 Juni 2017

Mengenal Masjid Masjid Tua Jakarta (Bagian 4)

Lima Masjid Tua Jakarta urutan ke 16 - 20 : (16). Masjid Az Zawiyah Pekojan, (17). Masjid Langgar Tinggi Pekojan. (18). Masjid Jami' At Taibin Senen. (19). Masjid Jami' Matraman. (20). Majid Jami' Cikini Al-Ma'mur

Masjid memanglah tidak sekedar tempat untuk beribadah bagi kaum muslimin, namun juga menjadi jejak sejarah sebuah peradaban. Lima masjid berikut ini menjadi saksi peradaban Muslim dari berbagai etnis yang tinggal di Batavia (kini Jakarta). Setiap masjid memiliki memiliki garis sejarahnya sendiri seperti sidik jari pada jari jari tangan kita yang tak sama satu dan lainnya.

(16). Masjid Az-Zawiyah Pekojan (1812) Jakarta Barat SKM

Masjid Az-Zawiyah Pekojan merupakan salah satu masjid tua Jakarta yang berada di kawasan Pekojan. Masjid ini pertama kali dibangun oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alatas pada tahun 1812M (26 tahun setelah Masjid Jami’ Kebon Jeruk), Beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Tarim, Hadramaut, Yaman. Dan juga dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan kitab "Fathul Mu'in" atau kitab kuning yang hingga saat ini masih dijadikan sebagai rujukan di kalangan pesantren tradisional.

Masjid Az Zawiyah Pekojan

Habib Ahmad bin Hamzah Alatas juga merupakan guru dari Habib Abdullah bin Muhsin Alatas, seorang ulama besar yang kemudian berdakwah di daerah Bogor. Ketika dibangun, masjid ini tidak saja merupakan sebuah bangunan untuk ibadah semata namun juga merupakan tempat penyelenggaraan pendidikan islam.  Kini bangunan masjid ini dikelola oleh Yayasan Wakaf Al-Habib Ahmad Bin Hamzah Alatas.

Masjid Az-Zawiyah berada tidak jauh dari jalan Pekojan Kecil, awalnya hanya berupa mushola kecil, Mushola ini kemudian diwakafkan hingga sekarang dan kemudian menjadi sebuah masjid. Kawasan Pekojan juga dikenal sebagai Kampung arab meskipun pada awalnya dihuni oleh Muslim dari India. Saat ini di Pekojan terdapat 4 Masjid Jami’ dan 26 mushola beberapa diantaranya sudah eksis sejak era kolonial.

Masjid Langgar Tinggi Pekojan

(17). Masjid Langgar Tinggi Pekojan (1829) Jakarta Barat

Portal Resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa Masjid Langgar Tinggi dibangun pada tahun 1249H bertepatan dengan tahun 1829M. pertama kali dibangun oleh seorang muslim dari Yaman bernama Abu Bakar Shihab diatas tanah wakaf dari Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi. Bangunan tersebut lalu diperluas oleh Said Naum. Masjid Langgar Tinggi ini tak jauh dari Masjid Jami’ Annawier, Pekojan yang juga merupakan salah satu Masjid tua di Jakarta,

Langgar Tinggi dibangun dengan luas lantai dasarnya 8 meter x 24 meter. Lantai atas digunakan sebagai masjid. Sebagian lantai bawah digunakan sebagai penginapan para pedagang yang mondar-mandir dengan perahu dan rakit. Termasuk penginapan untuk para kolega Abubakar Shihab dari luar kota. Sebagian lagi dijadikan tempat tinggal pengurus masjid. Kini, seluruh lantai bawah digunakan untuk toko perangkat shalat, termasuk tasbih, buku-buku agama, serta minyak wangi khas Timur Tengah dan India. Ada minyak misik, minyak buhur, sampai minyak ular. 

Masjid Jami' At Taibin Senen

(18). Masjid Jami Attaibin Senen (1815) Jakarta Pusat

Awalnya, masjid ini diberi nama Masjid Kampung Besar, didirikan oleh para pedagang muslim Pasar Senen sekitar tahun 1815, atas prakarsa mereka sendiri dan dengan dana swadaya. Dalam perjalanan sejarahnya masjid ini menjadi saksi dukungan dari para pedagang di pasar senen terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dengan memberi dukungan logistik kepada para pejuang yang dikumpulkan di masjid ini.

Masjid ini juga menjadi tempat menyusun strategi menghadapi kekuatan belanda. Khususnya dalam pertempuran Senen, Tanah Tinggi dan Keramat. Di masjid ini pula para pejuang berkumpul dan mendapat siraman rohani. Tak heran, setelah keluar dari masjid ini, semangat juang mereka semakin menyala-nyala.

Kini, ditengah gencar berubahnya wajah kota Jakarta, Mesjid Jami Attaibin seakan tenggelam oleh gemerlap gedung-gedung pencakar langit di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Meski begitu, kesejukan masjid ini kian terasa. Di sinilah para pegawai gedung-gedung itu sembahyang. Lingkungannya yang asri, menambah kekhusukan ibadah.

Masjid Jami' Matraman

(19). Masjid Agung Matraman (1837) Jakarta Pusat

Masjid Matraman di Jakarta Pusat dulunya merupakan musholla perkampungan pasukan Mataram dalam dua kali penyerbuan mereka yang tak berjaya terhadap Belanda di Batavia di tahun 1648 dan 1649 dan kemudian menjelma menjadi Masjid Agung Pertama di Jakarta. Nama Matraman untuk wilayah ini disinyalir berawal dari kata Mataraman yang kemudian berubah menjadi Matraman seperti yang dikenal saat ini.

Masjid Agung Matraman bukanlah satu satu nya masjid tua di Jakarta yang berkaitan dengan anggota pasukan Mataram, selain masjid ini sebelumnya telah berdiri Masjid Al-Ma’mur di Tanah Abang dibangun tahun 1704 atau sekitar 133 tahun lebih dulu dari Masjid Jami Matraman dan Masjid Jami’ Al-Mansyur di Kampung Sawah Lio Jembatan Lima dibangun tahun 1717 atau 120 tahun lebih dulu dari Masjid Agung Matraman.yang juga sama sama dibangun oleh para keturunan pasukan Mataram yang menetap di sekitar Batavia.

Di dalam Masjid Agung Matraman masih tersimpan kalender yang terbuat dari kayu bertuliskan  bahasa Arab dan hurup Latin. Kalender ini konon biasa digunakan oleh orang Mataram untuk mengetahui hari dan sampai sekarang pun masih digunakan sebagai ciri khas dari Masjid Agung Matraman.

Di depan Masjid Agung Matraman terdapat dua makam tua. Konon, kedua makam itu makam prajurit Mataram, mereka adalah Wanandari dan Wandansari. Namun masih simpangsiur apakah makam itu ada di situ sebelum dibangun masjid atau setelah masjid itu ada. Beberapa pihak yang mengetahui keberadaan makam tua itu, tak jarang menziarahi makam tersebut.

(20). Masjid Jami Cikini Al-Ma’mur (1860), Jakarta Pusat

Di tepi Kali Ciliwung, membelakangi Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta, Berdiri kokoh melewati waktu lebih dari 150 tahun, sebuah masjid tua yang sarat dengan sejarah. Namanya Masjid Jami Cikini Al-Ma’mur, namun lebih dikenal dengan nama Masjid Cikini. Masjid itu merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta, di bangun diatas tanah milik pelukis ternama Raden Saleh dalam tahun 1860. Masjid tua yang menyimpan kisah perjuangan panjang kaum muslimin mempertahankan hak atas masjid ini.

Masjid Jami' Cikini Al-Ma'mur

Di masa penjajahan Belanda Masjid Cikini sempat sempat dipindahkan ke pinggir kali Ciliwung, lalu dipindahkan lagi oleh ummat Islam ke tempatnya saat ini, kemudian terancam digusur oleh pemerintah Belanda dengan alasan akan dibangun Gereja dan justru membangkitkan perlawanan dari muslim disana dan membangkitkan ketersinggungan muslim pulau Jawa yang menggalang dukungan dibawah komando para tokoh pergerakan dari Syarekat Islam termasuk HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansyur, H Agus Salim, dan Abikoesno Tjokrosoeyoso. Gencarnya reaksi menentang dari umat Islam ternyata menciutkan nyali Belanda. Dan pertentangan mereda pada tahun 1926.

Di Masa kemerdekaan, di tahun 1964 saat situasi politik sedang genting gentingnya menjelang G30S/PKI Kementrian Agraria RI yang menerbitkan SK hak milik berupa sertifikat tanah atas nama Dewan Gereja Indonesia (DGI). Dalam sertifikat itu disebutkan bahwa tanah di sekitar Masjid Cikini ::: termasuk tanah yang di atasnya dibangun masjid itu ::: diklaim milik DGI. Kala itu menteri Agraria di jabat oleh Hermanses SH, sedangkan Perdana Menteri saat itu adalah Dr. J Leimena yang juga menjabat sebagai direktur RS. Cikini.

Sampai tahun 1970-1975, pihak rumah sakit tetap bersikeras menyatakan bahwa tanah Masjid Cikini adalah bagian dari kompleks rumah sakit. Upaya perundingan dilaksaksanakan tahun 1987 antara Gubernur KDH DKI, Pengurus Masjid dan DGI. Kemudian berlanjut di tahun 1989 hingga tahun 1990. Dan ahirnya pada hari Jumat  24 Mei 1991, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Admodarminto atas nama pemerintah RI dihadapan jamaah Masjid Cikini mengumumkan sertifikat tanah atas nama DGI yang mencakup tanah Masjid Cikini telah dicabut. Tanah masjid telah dikembalikan kepada umat Islam dengan sertifikat tersendiri atas nama Yayasan Masjid Al Ma'mur yang diketuai oleh Mayjen (purn) HM Joesoef Singedekane, mantan gubernur Jambi. Perjuangan sepanjang 27 tahun itu ahirnya berbuah manis.***

Bersambung ke bagian 5.

--------------------------------------

Masjid Detil Artikel-nya


Minggu, 18 Juni 2017

Mengenal Masjid Masjid Tua Jakarta (Bagian 3)

Lima Masjid Tua Jakarta bagian ke-tiga : (11). Masjid An-Nawier, (12). Masjid Angke, (13) Masjid Tambora. (14) Masjid Krukut dan (15). Masjid Kebun Jeruk. 

Di bagian ketiga ini akan mengulas selayang pandang lima masjid tertua di Jakarta yang semuanya dibangun pada abad ke 18, menariknya bahwa masjid tersebut dibangun oleh muslim Batavia yang berasal dari berbagai akar budaya. Seperti Masjid Annawier di Pekojan (1760) yang dibangun oleh Muslim Arab di Batavia, kemudian ada Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke (1761) atau Masjid Angke yang dibangun oleh muslim Thionghoa, sama seperti masjid Krukut dan Masjid Jami’ Kebon Jeruk (1786).

Di masa penjajahan Belanda muslim Thionghoa di Batavia juga dimasukkan ke dalam kelompuk pribumi karena agama Islam yang di anutnya, sehingga disamakan dengan orang Jawa, Sunda, Banten, Sumbawa dan sebagainya. Tambora yang kini menjadi nama kelurahan sekaligus kecamatan di Jakarta Barat, memang mengabadikan nama Gunung Tambora di pulau Sumbawa. Masjid Jami Tambora yang masih kekar berdiri hingga kini dibangun oleh seorang ulama yang berasal dari sekitar Gunung Tambora. Berikut sekilas tentang lima masjid tertua di Jakarta tersebut.

11. Masjid An-Nawier Pekojan (1760) Jakarta Barat

Masjid An Nawier dididirkan tahun 1180H / 1760M, dua belas tahun setelah berdirinya Masjid Kampung Baru Pekojan oleh komunitas India. Masjid An Nawier lebih dikenal dengan sebutan Masjid Pekojan, di dirikan oleh diatas lahan wakaf dari Syarifah Fatimah binti Husein Al Idrus, seorang muslimah dari jazirah Arabia yang tinggal di Pekojan, makam beliau kini berada di bagian belakang masjid ini. Konon Masjid An Nawier ini dahulunya menjadi induk dari masjid-masjid sekitar Batavia.

Masjid An-Nawier Pekojan

Pada mulanya masjid ini berupa surai kecil yang pembangunannya di ketuai oleh Daeng Usman Bin Rohaeli sampai tahun 1825M. Kemudian diteruskan oleh Komandan Dahlan tahun 1825-1860M. Makam Komandan Dahlan kini berada di sebelah utara masjid yang dikelilingi batu pahatan besar. Pada tahun 1926 masjid ini diperluas dan diperindah oleh Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus, beliau merupakan seorang muslim kaya raya yang semasa hidupnya ikut menyelundupkan senjata untuk para pejuang Aceh melawan Belanda.

Di masjid inilah tempat Habibb Usman Bin Yahya, mufti Islam di Batavia mengajar. Habib kelahiran Pekojan 1238H dikenal produktif menulis buku buku agama. Diantara 50 buku karangannya masih digunakan di pengajian pengajian. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Habib Ali Alhabsyi atau lebih dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang, yang kurang lebih seabad lalu mendirikan majelis taklim Kwitang.

12. Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke (1761) Jakarta Barat

Berdasarkan sumber Oud Batavia karya Dr F Dehan, Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke didirikan pada hari Kamis, tanggal 26 Sya’ban 1174 H yang bertepatan dengan tanggal 2 April 1761 M oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim bernama Ny. Tan Nio yang bersuamikan orang Banten, dan masih ada hubungannya dengan Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah (sunan Gunung Jati). Arsitek pembangunan masjid ini adalah Syaikh Liong Tan, dengan dukungan dana dari Ny. Tan Nio.

Masjid Jami' Angke

Sejarah Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke, ini memiliki benang merah dengan Masjid Jami An-Nawier di Pekojan, yakni sama sama memiliki keterkaitan dengan perisitiwa berdarah pembunuhan masal orang Tionghoa di Batavia tahun 1740 oleh bala tentara VOC atas perintah Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741). Orang Orang Tionghoa Batavia banyak yang melarikan diri dan bersembunyi dan mendapatkan perlindungan dari orang orang Islam dari Banten yang tinggal di Kampung Goesti, dan kemudian hidup bersama di kampung tersebut.

Kelompok inilah yang kemudian membangun Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon. Kampung Goesti ini merupakan kampong orang Bali di Batavia yang sudah berdiri sejak tahun 1709.

Keberadaan Muslim di Kampung Goesti ini lagi lagi di-generalisir oleh pemerintah Belanda dengan menyebut semua penduduk pribumi disana sebagai muslim. Sebagaimana disebutkan oleh Heuken, orang Belanda menganggap kaum pribumi adalah orang-orang yang tinggal di tanah Jawa. Karena tinggal di tanah Jawa, mereka disebut orang Jawa. Jadi, orang pribumi itu orang Jawa. Orang Jawa itu Islam, maka orang Bali yang beragama Hindu dan tinggal di Batavia yang notabene ada di pulau Jawa juga dianggapnya sebagai orang Islam. Karena orang Islam itu pribumi maka orang Tionghoa yang Muslim pun dianggap sebagai Pribumi.

Masjid Jami' Tambora

(13). Masjid Jami’ Tambora (1761)

Terletak di Jl. Tambora Masjid (dahulu Jl. Blandongan) Nomor 11, Kelurahan Tambora, Kec. Tambora, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Masjid Jami’ Tambora dibangun pada tahun 1181 H (1761 M) oleh Kiai Haji Moestoyib, Ki Daeng, dan kawan-kawan. Mereka berasal dari Ujung Pandang, dan lama tinggal di Sumbawa tepatnya di kaki Gunung Tambora. Kemudian dibuang ke Batavia oleh Kompeni Belanda dan dijatuhi hukuman kerja paksa. Setelah lima tahun ia dibebaskan lalu membangun masjid sebagai tanda syukur.

Sejak masjid selesai dibangun, peribadatan dipimpin oleh K.H. Moestoyib sampai wafat. Haji Mustoyib dikuburkan di halaman depan masjid ini. Masjid ini diperluas dan dipugar menyeluruh pada tahun 1980. Kemudian kepemimpinan dialihkan pada Imam Saiddin sampai wafat, setelah itu beberapa kali mengalami pergantian pimpinan, dan terakhir tahun 1370 H (1950 M) pimpinan dipegang oleh Mad Supi dan kawan-kawannya dari Gang Tambora. Pada tahun 1945 masjid dijadikan markas perjuangan melawan NICA, bulan Oktober 1945 diserang tentara NICA dan akhirnya Mad Supi dan kawan-kawan ditawan Belanda.

Masjid Jami Tambora tercatat sebagai benda cagar budaya pada tahun 1994, dan telah mengalarni pemugaran, yaitu tahun 1979 oleh Proyek Sasana Budaya dan tahun 1980 Dinas Museum dan Sejarah Daerah Khusus Ibukota Jakarta merenovasi dan menambah ruangan aula dan tempat sholat untuk kaum wanita (sisi selatan) serta penggantian warna cat dinding, dan tahun 1988/1989 oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Masjid Krukut, kini dikenal dengan nama Masjid Jami' Al-Mubarak Krukut. 

(14). Masjid (Jami’ Al-Mubarak) Krukut (1785)

Masjid Krukut adalah salah satu masjid tua di Jakarta, dibangun sesudah tahun 1785 di atas sebidang tanah luasnya 1.000 m2 yang disebut Cobong Baru. Dibangun oleh kaum peranakan Tionghoa di Batavia, setelah memperoleh izin dari Gubemur Jenderal Alting. Izin tersebut diberikan kepada kapitan Cina peranakan (Muslim) yang bernama Tamien Dosol Seeng. Pada abad ke-19 dan abad ke20 masjid ini mengalami perubahan besar. Sebuah mimbar kayu pantas dianggap karya besar seni ukir Tionghoa. Sayang sekali, bentuk ukiran mimbar itu tak tajam lagi akibat dilapisi cat perak tebal pada tahun 1975 dan kini mimbar tersebut raib tak jelas keberadaannya.

Perombakan dan pembangunan total masjid ini dilakukan tahun 1994 14 Januari 1994, diperluas oleh tanah wakaf yang diberikan Syech Abdul Khaliq A Bakhsh dan dilaksanakan oleh Abdul Malik Muhammad Aliun sebagai wakaf untuk umat Islam. Di kawasan Krukut kini sudah hampir tak ada lagi muslim Tionghoa yang bermukim disana dan justru lebih banyak di dominasi muslim keturunan arab.

Masjid Jami' Kebun Jeruk. 

15. Masjid Jami’ Kebon Jeruk (1786) Jakarta Barat

Menurut data dari Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi Jakarta, Masjid Jami’ Kebon Jeruk didirikan oleh seorang Muslim Tionghoa bernama, Chau Tsien Hwu atau Tschoa atau Kapten Tamien Dosol Seeng di tahun 1786 (25 Tahun setelah Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke) . Beliau adalah salah seorang pendatang dari Sin Kiang, Tiongkok yang kabur dari negerinya karena ditindas oleh pemerintah setempat. Sesampai di Batavia, ia menemukan sebuah surau yang tiangnya telah rusak serta tidak terpelihara lagi. Kemudian di tempat tersebut, ia dan teman-temannya, sesama pendatang dari Tiongkok mendirikan mesjid dan diberi nama Masjid Kebon Jeruk.

Masjid Jami’ Kebon Jeruk menjadi masjid pertama yang murni dibangun oleh muslim Thionghoa di Batavia dan menjadi masjid pertama di kawasan pusat bisnis Glodok. Di halaman sebelah timur masjid terdapat makam Fatimah Hwu yang merupakan istri Chau Tsien Hwu. Nisan dari makam yang bertarikh 1792M ini cukup unik dengan bentuk naga bertulisan huruf cina berbunyi “Hsienpi Men Tsu Mow” yang artinya “inilah makam China dari keluarga Chai”, dan menggunakan pertanggalan Arab. ****

(Bersambung ke bagian 4)