Sabtu, 31 Desember 2016

Masjid Mahe, Seychelles

Masjid Sheik Muhammad Bin Khalifa Al-Nahyan atau lebih dikenal dengan nama Masjid Mahe Karena berada di Pulau Mahe, Merupakan masjid terbesar di Seychelles, dibangun oleh keluarga penguasa Uni Emirat Arab.

Seychelles adalah sebuah negara yang terdiri dari gugus pulau pulau kecil di Samudera Hindia sekitar 1600 kilometer di lepas pantai timur benua Afrika. Bertetangga dengan negara pulau Republik Comoro, Mayotte (Prancis) dan Madagaskar di Selatan dan Republik Tanzania sebagai tetangga terdekatnya di daratan benua Afrika sejauh sekitar 1000 Kilometer. Seychelles beribukota di Victoria yang berada di Pulau Mahe. Penduduk Seychelles seluruhnya berjumlah 86.525 menjadikannya sebagai negara dengan populasi terkecil di Afrika.

Mayoritas penduduk Seychelles beragama Katolik Roma. Sekitar sembilan dari sepulun penduduk negara ini merupakan pemeluk agama Katolik Roma, sebagaimana disebutkan dalam hasil survey yang telah diselenggarakan sejak pertama kali di tahun 1992. Agama Katolik Roma masuk ke Seychelles dibawa oleh bangsa kulit putih yang merupakan penghuni pertama di Negara Pulau ini, wajar bila kemudian mayoritas penduduknya pun beragama Katolik meskipun Inggris sempat memperkenalkan agama Protestan selama kekuasannya disana.

Islam telah masuk ke Seychelles jauh sebelum bangsa Eropa tiba disana. Islam datang ke gugus kepulauan ini dibawa oleh para pedagang muslim yang berdagang beralayar melintasi samudera, meskipun mereka tak menetap disana secara permanen. Prancis yang menjadi penguasa pertama di Seychelles membawa ajaran Katolik Roma disusul kemudian oleh Inggris.

Foto Kiri atas adalah bangunan Masjid Mahe sebelum di renovasi, foto bawah : bangunan masjid Mahe saat diruntuhkan  tahun 2012 untuk dibangun ulang dan foto kanan atas adalah Masjid Mahe Setelah dibangun ulang tahun 2013.

Diantara mayoritas penduduk Seychelles yang beragama Katolik Roma terdapat pemeluk agama minoritas lainnya termasuk Hindu, Baha’i dan Islam. Beberapa media melaporkan bahwa Islam memiliki perkembangan yang cukup pesat di Seychelles, di tahun 1970-1960-an muslim disana hanya ada kurang dari seratus jiwa, berkembang hingga kini mencapai sekitar 2000 jiwa.

Merujuk kepada Biro Pusat Statistik Seychelles dilaporkan bahwa 76.2% penduduk Seychelles adalah penganut Katholik Roma, disusul kemudian penganut Anglikan sekitar 6.1%, lalu penganut Agama Hindu sekitar 2.4%, Pemeluk Islam 1.6% dan penganut agama dan keyakinan lainnya mencapai 13.7%. Meskipun jumlah muslim disana sangat kecil namun pemerintah setempat memberikan waktu 15 menit setiap hari Jum’at bagi ummat Islam disana untuk mensyiarkan Islam melalui saluran televisi nasional.

Masjid Mahe

Di kota Victoria terdapat sebuah masjid yang terkenal dengan nama Masjid Mahe, merujuk kepada nama pulau tempatnya berada. Meski nama masjid ini sebenarnya adalah Masjid Sheikh Muhammad Bin Khalifa Al-Nahyan. Keluarga Al-Nahyan adalah keluarga penguasa Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Karena memang komplek masjid ini dibangun dengan dana dari keluarga penguasa Abu Dhabi tersebut. Masjid ini begitu ramai di setiap hari Jum’at oleh jemaah yang akan melaksanakan sholat Jum’at berjamaah termasuk di dalamnya muslim muslim mualaf setempat. Masjid ini juga di izinkan untuk menyuarakan azan melalui pengeras suara di menaranya.

Victoria Mosque
Rue De La Poudrière


Masjid Mahe dibangun tahun 1982 dengan dana dari Sheikh Muhammad Bin Khalifa Al-Nahyan. Peletekan batu pertama pembangunannya dilaskanakan oleh Mr. Suleman Adam, selaku presiden dari Islamic Society of Seychelles pada tanggal 10 Zulhijah 1401, bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1981. Dan diresmikan setahun kemudian.

Setelah berdiri selama 30 tahun, pada hari Jum’at tanggal 24 Agustus 2012 yang lalu sudah dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid Mahe. Dan pada tanggal 20 Desember 2012 yang lalu bangunan masjid ini sudah di runtuhkan untuk dibangun ulang di lokasi yang sama dalam ukuran yang lebih besar. Proyek pembangunan masjid baru ini selesai tahun 2013. dan diresmikan pada hari Jum’at tanggal 25 Oktober 2013 oleh Shaikh Zayed Bin Sultan bin Khalifa atas nama Dr. Shaikh Sultan Bin Khalifa Al Nahyan, turut dihadiri oleh Jean-Paul Adam, selaku menteri luar negeri Seychelles, Dick Patrick Esparon yang merupakan duta besar Seychelles untuk Uni Emirat Arab.

Masjid Mahe ini dibangun ulang dengan bentuk yang tidak jauh berbeda dengan bentuknya semula dengan ukuran yang lebih besar dan lebih modern, dengan daya tampung 600 jemaah pria dan wanita. Menjadi tumpuan utama bagi muslim di Seychelles terutama di pulau Mahe termasuk pusat kegiatan pembelajaran Al-Qur’an, pembinaan mualaf, hingga ke acara buka puasa bersama di bulan suci Romadhan yang juga turut dihadiri oleh para pejabat tinggi Seychelless.***


Minggu, 25 Desember 2016

Islam Dan Masjid di Pulau Christmas

Lokasi Pulau Christmas berada sekitar 350 km di sebelah selatan pulau Jawa.

Dimanakah Pulau Christmas

Pulau Christmas atau pulau Natal adalah sebuah pulau kecil beriklim tropis di Samudera Hindia yang merupakan wilayah territorial Australia. Lokasinya terpisah sekitar 2600 kilometer ke arah barat dari lepas pantai Kota Perth di Australia Barat, dan 350 kilometer sebelah selatan pulau Jawa, Indonesia. Meski berjarak sampai 350 kilometer, pulau Jawa merupakan tetangga terdekat pulau Christmas.

Luas keseluruhan pulau Christmas hanya sekitar 135 km2 sedikit lebih kecil dari pulau Weh (156,3 km²) di kota Sabang, provinsi Aceh. Sekitar 63% wilayah pulau Christmas merupakan taman nasional dengan beraneka ragam flora dan fauna-nya yang unik, beberapa bagian dari hutan tropis di pulau ini merupakan wilayah hutan purba dan belum terjamah, menjadikan sebagai rumah yang nyaman bagi berbagai flora dan fauna endemik. Salah fauna-nya yang menarik wisatawan adalah Red Crab atau Kepiting Merah dengan populasi mencapai sekitar 100 juta ekor hidup di lantai hutan pulau ini. Aktivitas petambangan phosphate di pulau ini sudah berjalan selama bertahun tahun dan sejauh ini belum ada laporan kerusakan lingkungan dari aktivitas pertambangan tersebut.

Flaying Fish Cove atau Stellement atau Kampong Melayu di Pulau Christmas, dengan fasilitas pengapalan phosphate terlihat di bagian yang menjorok ke tengah laut.

Pulau Christmas seringkali muncul di media internasional dalam keterkaitan-nya dengan para imigran dan para pencari suaka dari Negara Negara yang sedang ternggelam dalam konflik berkepanjangan menjadikan pulau ini sebagai pulau tujuan dalam upaya mereka untuk mencapai daratan Australia. Penanganan pihak berwenang Australia seringkali menjadi sorotan dunia internasional dan sempat memicu kecamaman dan ketegangan dengan Indonesia.

Dengan penghuni tetap sekitar 1500 jiwa, pulau Christmas juga dikenal memiliki penduduk yang unik yang merupakan pembauran dari berbagai etnis, terdiri dari Etnis China, Melayu dan Eropa yang kebanyakan datang dari daratan Australia ke pulau terpencil tersebut. Keragaman kultur dan agama dipulau ini ditandai dengan berdirinya beragam tempat ibadah seperti Gereja Kristen, Kuil Ummat Budha dan Masjid bagi umat Islam. Mereka tinggal di ujung utara pulau terdiri dari beberapa pemukiman penduduk yakni; Settlement atau Flying Fish Cove atau Kampong, Silver City, Poon Saan, dan Drumsite. Mayoritas penduduk pulau ini adalah etnis China Australia.

Asal Muasal Nama Christmas

Pulau Christmas pertama kali ditemukan oleh pelaut Inggris, Captain William Mynors dalam pelayarannya dengan kapal Royal Mary milik British East India Company melintasi pulau ini pada hari Natal tahun 1643 tepat 373 tahun lalu pada saat artikel ini diterbitkan. Karenanya beliau kemudian menamakan pulau yang baru ditemukannya tersebut dengan nama Pulau Christmas (pulau Natal).

Masjid di Kampong Melayu Pulau Christmas pada tanggal 15 Nopember 1938

Pulau ini sudah dimasukkan ke dalam peta navigasi pelaut Inggris dan Belanda di awal abad ke 17 sebelum tahun 1666, karena di tahun tersebut seorang kartografi Belanda bernama Pieter Goos menerbitkan sebuah peta dan memasukkan pulau tersebut dengan nama pulau Mony, nama Mony sendiri tidak diketahui dengan pasti. Catatan kunjungan pertama ke pulau ini muncul dalam catatan Navigator Inggris William Dampier, yang lego jangkar di dekat pulau ini di tahun 1688 dan menyatakan bahwa pulau tersebut merupakan pulau kosong tak berpenghuni. Damier berlabuh di pantai barat pulau Christmas (kini sekitar di sekitar daerah Dales), dua orang kru-nya diperintahkan untuk turun dan memeriksa pulau itu menjadikan dua orang tersebut sebagai dua orang yang pertama kali menginjakkan kakinya di pulau Christmas.

Sejarah Singkat Pulau Christmas

Pulau Christmas di aneksasi oleh Kerajaan Inggris pada tanggal 6 Juni 1888 setelah Sir John Davis Murray menemukan kandungan phosphate murni di pulau itu. Segera seteah itu sebuah pemukiman kecil terbentuk di Flying Fish Cove oleh G. Clunies Ross, Sang pemilik pulau Cocos (Keeling) yang berada sekitar 900 kilometer barat daya pulau Christmas dalam upaya nya untuk mendapatkan kayu dan pasokan bagi pembangunan industry di pulau Cocos.

Masjid At-Taqwa di Pulau Christmas saat ini berdiri di tepian pantai di tengah Kampung Melayu, warga muslim pulau Christmas.

Pertambangan Phosphate dimulai di pulau Christmas tahun 1890 dengan menggunakan para pekerja paksa orang orang melayu dari pulau Singapura, Malaya dan China, itu sebabnya hingga kini penduduk pulau Christmas di dominasi oleh etnis China dan Melayu. Tidak ada penduduk asli atau pribumi di pulau Christmast.

John Davis Murray yang kemudian dikirim sebagai pengawas pertambangan mewakili perusahaan Phosphate Mining and Shipping Company. Dikemudian hari Murray dikenal sebagai "King of Christmas Island" atau Raja Pulau Christmas sampai tahun 1910, saat dia menikah dan menetap di London.

Masjid Pulau Christmas di perangko Australia

Secara administrasi Pulau Christmas dikontrol bersama oleh British Phosphate Commissioners dan District Officers Kerajaan Inggris untuk wilayah Koloni yang berkedudukan di Singapura. Sampai kemudian dikendalikan sepenuhnya oleh Pemerintah Inggris di Singapura, sebagai bagian dari wilayah administrasi kolonial Inggris Singapura.

Dimasa perang dunia ke-dua pulau Christmas senasib dengan Indonesia, sama sama jatuh ke tangan pasukan Jepang, pada bulan November 1943, lebih dari 60% penduduk pulau Christmas di evakuasi ke camp tahanan di Surabaya (Indonesia) menyisakan penduduk pulau ini kurang dari 500 orang China dan Melayu serta 15 orang Jepang. Pulau Christmas sempat menjadi pusat pengujian senjata nuklir oleh pemerintah Inggris diantara tahun 1956 dan 1958 sebagai bagian dari Operasi Grapple.

Satu tempat dua nama

Pada tahun 1957, pulau Christmas diserahkan kepada Pemerintah Australia oleh Kerajaan Inggris dengan konpensasi sebesar £2.9 Juta Pundsterling diserahkan pemerintah Australia kepada pemerintah Singapura berdasarkan perkiraan cadangan phosphate yang ada di pulau itu. Dan sejak tahun 1997, Pemerintah Federal Australia menyatukan administrasi Pulau Christmas dengan Pulau Cocos (Keeling) ke dalam kesatuan Administrasi dengan nama Australian Indian Ocean Territories (Wilayah Teritorial Australia di Samudera Hindia) dikepalai oleh seorang Administratur yang berkedudukan di Pulau Christmas.

Islam di Pulau Christmas

Berdasarkan data Biro pusat statistic Australia dari sensus tahun 2001 populasi penduduk pulau Christmas adalah 1,508 jiwa dan diperkiraan tahun 2006, populasi pulau Christmas adalah 1,493 jiwa, dengan komposisi etnis terdiri dari 70% China, 20% Eropa, dan 10% Melayu. Bila merujuk kepada data CIA World Factbook, agama agama yang dianut penduduk pulau Christmas terdiri dari Budha 36%, Kristen 18%, Islam 25% dan agama serta kepercayaan lainya 21%. Sedangkan Bahasa yang digunakan oleh penduduk pulau ini terdiri dari Bahasa Inggris sebagai Bahasa resmi, Bahasa China dan Bahasa Melayu.

Masjid Pulau Christmas, bangunan madrasah sedikit terlihat di belakang menara

Dari komposisi tersebut, islam merupakan agama terbesar kedua di pulau Christmas yang dianut oleh orang orang Melayu disana, setelah penganut agama Budha yang mayoritas di anut oleh warga etni China. Mayoritas etnis melayu muslim di pulau Christmas tinggal di Flying Fish Cove atau Kampong Melayu atau biasanya hanya disebut “Kampong” saja dan kadang kadang pula disebut dengan settlement.

Muslim di pulau Christmas ini merupakan keturunan dari para pekerja paksa dari Singapura dan Malaya yang dibawa ke pulau ini oleh pemerintah colonial Inggris sebagai pekerja di pertambangan phosphate. Selama beberapa generasi mereka mempertahankan ke-Islaman mereka hingga ke generasi saat ini.  

Masjid di Pulau Christmas

Masjid At-Taqwa
Cove Kampong, Christmas Island, Western Australia, 6798,
Flying Fish Cove, Christmas Island 6798, CHRISTMAS ISLAND


Kampung Melayu atau Kampong tempat mereka menetap kini sudah tertata sebagai hunian yang nyaman lengkap dengan masjid sejejer dengan rumah rumah susun penduduk disana yang semuanya menghadap ke pantai.  Masjid At-Taqwa namanya, selain sebagai tempat peribadatan, masjid ini juga mengelola Madrasah bagi anak anak yang dimulai pukul 3:30 sampai pukul 5:00 sore setiap harinya. Kampong memiliki sebuah pelabuhan kecil yang menjadi tempat berlabuh kapal-kapal wisatawan. Pemandangannya sangat cantik dengan garis pantai yang elok dipandang mata.

Muslimin di kawasan Christmas Island diizinkan untuk menggelar budaya Islam tradisional, sebagaimana di Indonesia dan Malaysia dalam memperingati hari kematian, pengajian, khitanan, syukuran, maulidan dan perayaan lainnya yang didukung warga dalam kerukunan yang damai dalam hidup, bersanding dan bersama.  Di tengah beragamnya etnis di pulau migran, masyarakat Muslim di sana tetap hidup damai. Bahkan, pemerintah setempat menerapkan libur untuk hari besar tiap etnis dan umat beragama, termasuk dua hari raya besar umat Islam (Idul fitri dan Idul adha).***

Baca Juga


Sabtu, 24 Desember 2016

Masjid Maidan Al-Jazair Square, Tripoli

Masjid Jamal Abdul Naseer atau Masjid Maidan Sl-Jazair Square, masjid megah di pusat kota Tripoli, Libya. dahulunya adalah sebuah bangunan Katedral.

Libya, Selayang Pandang

Mungkin anda pernah menyaksikan film ‘Lion of the Desert (1981)” yang menceritakan tentang tokoh bernama Omar Mukhtar. Sejatinya Omar Mukhtar memang tokoh nyata yang merupakan pejuang kemerdekaan Libya dari penjajahan Italia. Omar Mukhtar di hukum mati oleh tentara penjajahan Italia tahun 1931. Dua puluh tahun setelah itu Libya memproklamirkan kemerdekaannya, dan lukisan wajah Omar Mukhtar diabadikan di uang dinar Libya, sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh pahlawan nasional Libya tersebut.

Nama Libya adalah penamaan oleh orang Yunani untuk menyebut seluruh wilayah Afrika Utara. Italia-lah yang kemudian menggunakan Nama itu untuk menyebut wilayah jajahannya yang kini dikenal sebagai Negara Libya. Libya merupakan salah satu negara di wilayah magribi, berada di sebelah utara benua Afrika, menghadap ke laut mediterania, berseberangan dengan benua Eropa. Sepanjang sejarahnya wilayah ini silih berganti penguasa terutama oleh beberapa kerajaan Eropa.

Tahun 647 pasukan Islam menyerbu wilayah Libya dari tiga penjuru dibawah pimpinan para sahabat nabi yakni Amru Bin Ash, Abdullah bin Sa’ad dan Uqba bin Nafi merebut seluruh wilayah Libya dari kekuasaan Bizantium dan kekuatan lainnya. Setelah itu Libya secara tradisi menjadi wilayah beberapa dinasti kekhalifahan Islam hingga ke khalifahan Usmaniyah yang berpusat di Istambul, Turki.  Namun kemudian Libya jatuh ke tangan Italia di tahun 1912 setelah Turki mengalami kekalahan dalam perang dunia pertama.

Masjid Maidan di tahun 2012 dan ketika masih berupa katedral di tahun 1960-an

Dalam perang dunia kedua Italia mengalami kekalahan dari pasukan sekutu. Adalah Idris al-Mahdi as-Sanussi yang merupakan Emir di wilayah Cyrenaica, mewarisi kekuasaan sejak masa kekuasaan Islam, memimpin perjuangan kemerdekaan Libya dan memproklamasikan kemerdekaan Libya pada tanggal 24 Desember 1951 sebagai kerajaan merdeka. Idris al-Mahdi as-Sanussi menjadi Raja pertama Libya merdeka, berkuasa selama 18 tahun.

Di tahun 1969 Raja Idris di kudeta oleh Kolonel Muamar Khadafi yang ketika itu baru berusia 27 tahun. Namun kemudian sejarah kembali berulang, setelah 42 tahun berkuasa giliran Khadafi yang di kudeta oleh berbagai faksi di Libya di dukung oleh pasukan NATO dan Uni Eropa. Muammar Khadafi terbunuh di kota Sirte tanggal 20 Oktober 2011. Sirte adalah kota kelahiran Muammar Khadafi dan di kota itu pula beliau wafat.

Paska tumbangnya pemerintahan Khadafi, Libya tak lagi benar benar utuh sebagai sebuah negara dengan satu pemerintahan. Pemerintahan yang terbentuk setelah itu tidak pernah benar benar berkuasa dan mengendalikan negara. Dari berbagai laporan media menyebutkan bahwa hingga hari ini Libya terpecah pecah dalam berbagai faksi dengan kekuatan dan wilayah kekuasaan mereka masing masing.

Sudah berdiri sejak zaman kolonial Italia dan masih bertahan hingga kini di pusat kota Tripoli.

Pemerintahan pusat Libya yang diakui PBB dan negara negara dunia, tidak memiliki pengalaman dan kekuatan untuk menegakkan kewibawaan pemerintahan negara karena tidak memiliki angkatan bersenjata nasional yang dapat diandalkan untuk mengendalikan kondisi negaranya sendiri. Sementara kekuatan asing yang tadinya disambut hangat untuk menggulingkan rezim khadafi “lepas tangan” dengan buruknya situasi setelah itu.

Islam telah memerintah di wilayah Libya selama hampir 13 abad meski dengan silih berganti dinasti. Dengan sejarah pemerintahan yang begitu panjang maka wajar bila mayoritas penduduk Libya beragama Islam, dan paska runtuhnya pemerintahan Khadafi beberapa faksi Islam pun bersikukuh untuk menegakkan syariat Islam di negara tersebut, ide yang tak sejalan dengan faksi lainnya dan menjadi salah satu amunisi ke-engganan masing masing faksi untuk tunduk kepada pemerintahan Negara yang berpusat di Tripoli.

Tentang kota Tripoli Sepintas Lalu

Tripoli merupakan ibukota negara Libya sekaligus kota terbesar di negara tersebut, dulunya merupakan pusat dari wilayah Tripolitania, salah satu nama yang dinisbatkan kepada wilayah Libya. Nama Libya baru digunakan tahun 1934 oleh Italia yang menjajah wilayah itu.  Di pusat kota Tripoli terdapat sebuah lapangan yang disebut Al-Jazair Square, tempat salah satu bangunan penanda kota ini berdiri, yakni Masjid Maidan Al-Jazair Square atau Masjid Jamal Abdel Nasser.

Tampak samping Masjid Maidan

Dilapangan yang berada di depan masjid ini seringkali dijadikan tempat pavorit warga Libya untuk berkumpul dan berorasi menyuarakan kebebasan berpendapat di muka umum paska keruntuhan pemerintahan Libya dibawah Presiden Muammar Khadafi.  Masjid Maidan ini juga merupakan bangunan dari masa pemerintahan mendiang Muammar Khadafi. Awalnya bangunan ini adalah sebuah katedral katholik yang terkenal dengan nama Tripoli Cathedral atau dalam Bahasa Italia disebut La Cattedrale di Tripoli.

Sejarah Masjid Maidan

Bangunan masjid Maidan ini awalnya merupakan sebuah katedral katholik Roma yang pertama kali dibuka secara resmi pada tahun 1928. Proses pembangunannya juga melibatkan seorang interior designer dari Libya yang bernama Othman Nejem. Pembangunannya di arsiteki oleh arsitek Italia Saffo Panteri, dengan rancangan gaya Romanesque dilengkapi dengan kubah besar di atapnya. Sedangkan Menara loncengnya dihias dengan ukiran gaya Venetian. Kala itu Katedral ini merupakan gereja katholik kedua yang dibangun di Tripoli setelah gereja Santa Maria degli Angeli, yang dibangun oleh komunitas orang orang Malta di Tripoli pada tahun 1870.


Ada sekitar 50,000 umat katholik di Libya sebagian besar tinggal di wilayah Tripoli dan sekitarnya atau kurang dari satu persen dibandingkan dengan penduduk Libya secara keseluruhan. Kebanyakan dari penganut Katholik di Libya merupakan orang berdarah Itali, Malta, Imigran dari Philipina dan para warga migran lainnya. Sebagian besar dari mereka bahkan sudah meninggalkan Libya tahun 2010-2015 saat pecah perang saudara di Libya.

Di Ubah menjadi Masjid Maidan

Di Masa kekuasan Muammad Khadafi, sekitar tahun 1970 atau tahun 1990-an bangunan katedral tersebut di konversi menjadi bangunan masjid dengan nama Masjid Maidan Al-Jazair Square. Perubahan fungsi dari katedral menjadi masjid telah merubah bangunan ini secara total meski pola bangunan lama masih tampak pada bangunan masjid ini. Hampir keseluruhan pernak Pernik dari bangunan lama dibongkar dan diganti dengan rancangan baru bergaya arabia. Bangunan tersebut masih difungsikan sebagai masjid hingga hari ini. ***

Minggu, 18 Desember 2016

Islam di Pantai Gading

Masjid Agung di kota Yamoussoukro, ibukota pemerintahan Pantai Gading.

Republik Pantai Gading, dalam bahasa Prancis disebut Republique de Cote D'Ivote dan Ivory Coast dalam bahasa Inggris, merupakan sebuah negara di pantai barat benua Afrika, berbatasan langsung dengan Liberia dan Guyana disebelah timur, Burkina Faso di Utara dan Republik Ghana di sebelah timur, sedangkan sisi selatannya menghadap langsung ke Samudera Atlantik. Pantai Gading mulanya ber-ibukota di Abidjan kemudian dipindahkan ke Yamoussoukro di tahun 1983. Menjadikan negara ini sebagai salah satu negara yang memindahkan pusat pemerintahannya. Namun demikian banyak negara, termasuk Amerika Serikat, yang menempatkan kedutaan besarnya di Abidjan, bukan di Yamoussoukro.

Pantai Gading dikenal oleh para pecinta liga sepakbola Inggris dari pemain sepakbolanya yang merumput di liga Inggris dan liga Eropa lainnya, salah satunya yang cukup terkenal adalah Kolo Toure atau bernama lengkap Kolo Habib Toure[i], pesepakbola muslim asli Pantai Gading ini mengundang decak kagum ketika dia berhasil mengantarkan Manchester City sebagai juara liga Inggris.

Bahasa nasional Pantai Gading adalah bahasa Perancis, di samping bahasa Dioula, yang merupakan bahasa asli setempat. Dengan wilayah seluas 322.460 km2, dihuni sekitar 17.327.724 orang, terdiri dari suku asli Afrika 97% (Akan 42%, Gur/Voltaiques 17%, Mende 27%, Krous 11%, lain-lain 3%).


Islam di Pantai Gading

Menurut situs Islamonline, dari 16 juta penduduk Pantai Gading, 60% beragama Islam disusul oleh pemeluk Katolik 22% dan 18% animis. Situs world fact book menyebutkan Agama Islam dianut sekitar 38,6%, Kristen 32,8%, penganut kepercayaan asli setempat 11.9% dan tak beragama 16,7%. world fact book juga menyebutkan bahwa 70% tenaga kerja asing disana beragama Islam dan 20% beragama Kristen[iii]. Sementara penelitian Library of Congress Country Studies, menyatakan bahwa 1 dari 4 penduduk Pantai Gading adalah Muslim, sedangkan Kristen 1 berbanding 8.

PEW yang menyebutkan bahwa muslim di Pantai Gading mencapai angka 36.7% dari jumlah total penduduk atau setara dengan 7.745.000 jiwa berdasarkan data tahun 2009 lalu[iv]. Data tersebut menjadikan Pantai Gading sebagai salah satu negara dengan minoritas muslim yang cukup besar.

Masuknya Islam ke Benua Afrika    

Islam sudah masuk ke benua Afrika sejak abad ke tujuh, pada masa khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan. Beliau mengutus Uqba Bin Nafi menjadi gubernur di Afrika pada 666 M dengan ibukota di Fustat. Uqba Bin Nafi memimpin pasukan menghadapi tentara musuh yang mengacau di Fezzaan (sekarang daerah Libya Selatan) dan Wardan. Uqba Bin Nafi juga lah yang pertama kali menembus padang pasir Sahara, menembus wilayah-wilayah Sudan termasuk Ghana. Pada masa pemerintahan Yazid I, Uqba Bin Nafi memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Maroko di Afrika utara dan sekitarnya[v].

Sebuah Masjid Megah di pusat kota Metropolitan Abidjan

Islam datang ke wilayah Afrika Bagian Barat dalam tiga gelombang. Pertama pada abad ke-9 ketika bangsa Berber (Maroko dan sekitarnya di Afrika Utara) menyebarkan Islam di Ghana. Gelombang kedua terjadi pada abad ke-13, ketika Kesultanan Mali terbentuk dan menyebarkan Islam ke seluruh Sabana di Afrika Barat sampai dengan abad ke-18. Terakhir pada abad ke-19 ketika seorang pahlawan Muslim Mali, yaitu Samore Toure menyebarkan ke arah selatan Afrika.

Masuknya Islam Ke Pantai Gading

Islam masuk ke Pantai Gading pada gelombang ke-2, yaitu pada abad ke-13 ketika Kesultanan Mali berjaya dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru Afrika Barat. Sedangkan Kristen baru datang ke kawasan itu pada abad ke-17. Mayoritas pemeluk Islam di Pantai Gading beraliran Sunni, dan mengikuti Madzhab Maliki. Aliran sufi juga dianut oleh sebagian komunitas Muslim Pantai Gading. Aliran sufi yang dianut adalah Qadiriyah dan Tijaniyah.

Pada awalnya, Pantai Gading adalah suatu perkampungan yang sangat terisolasi, didiami tak kurang dari 60 suku, ditemukan oleh para pedagang Portugis dan Perancis pada abad ke-15. Mereka mencari gading dan budak, dan pada akhirnya Perancis menduduki Pantai Gading hingga abad ke-20. Mungkin Pantai Gading adalah sebuah negara di antara sedikit negara yang dibangun penuh dengan pertikaian agama sampai saat ini, yaitu Islam dan Kristen. Islam di utara dan Kristen di selatan, yang saling berebut kekuasaan.

Pertikaian Muslim – Kristen

Pantai Gading sebenarnya adalah sebuah negara kaya, penghasil coklat terbesar di dunia, disamping kopi dan minyak nabati, namun rakyatnya tak kunjung makmur akibat pertikaian berdarah yang tak kunjung usai di negeri tersebut. Konflik berdarah di Pantai Gading telah berlangsung lama terutama pertikaian antara komunitas Muslim dan Kristen disana, yang berurat berakar sejak pembentukan

Pantai Gading adalah Negara bekas jajahan Perancis, pertama kali terbentuk sebagai sebuah sebuah Rpublik otonom dibawah kendali Prancis pada tahun 1893. Tahun 1959 dibentuk kesatuan adat antara Pantai Gading, Benin, Niger dan Burkina Faso, barulah pada tanggal 7 Agustus 1960 Pantai Gading memperoleh kemerdekaan dari Perancis, dan Felix Houphouet-Boigny terpilih sebagai Presiden pertama di Negara Pantai Gading yang baru terbentuk dengan azaz demokrasi. Felix Houphouet-Boigny terpilih kembali secara demokratis pada pemilu presiden tahun 1990, dan beliau wafat pada tahun 1993. Henri Konan Bedie menggantikan beliau sampai dengan tahun 1999.

jemaah di halaman Masjid di Kota Abidjan

Berbeda dengan Felix Houphouet-Boigny yang memerintah secara demokratis dan berupaya mempersatukan Pantai Gading, Henri Konan Bedie justru mengeluarkan kebijakan sectarian yang bertajuk “program kebanggaan atas kemurnian bangsa Pantai Gading”, yang berimplikasi kepada penyingkiran terhadap etnis yang disebut sebagai pendatang dari Mali dan Burkina Faso yang mendiami kawasan utara Pantai Gading dan notabene merupakan wilayah yang meyoritas penduduknya beragama Islam.

Tak pelak upaya tersebut memicu kontroversi dan ketegangan karena dianggap sebagai upaya pencegalan terhadap calon Preiden muslim, Alassane Ouattara yang berasal dari utara yang juga merupakan mantan Perdana Menteri antata tahun 1990-1993 pada era pemerintahan mendian presiden Felix Houphouet-Boigny, beliau juga merupakan mantan pejabat senior di organisasi internasional IMF. Alassane Ouattara termasuk tokoh muslim dari utara yang dianggap bukan penduduk asli, namun berasal dari Burkina Faso.

Alassane Ouattara mundur dari jabatan Perdana Menteri di tahun 1993 pada saat Henri Konan Bedie naik sebagai presiden dan meluncurkan kebijakan rasis tersebut dan menuduh beliau sebagai bukan trah asli Pantai Gading. Kebijakan pemerintah tersebut tak pelak memicu pertentangan politik yang pada ahirnya berujung kepada perang saudara tak berkesudahan.

Pemilu presiden yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober 2000 pun nyaris gagal dilaksanakan akibat kudeta yang dilakukan oleh Jendral Robert Guei pada bulan Desember 1999. Meski ahirnya tetap terlaksana dan dimenangkan Laurent Gbagbo, namun dianggap sebagai kemenangan yang penuh tipu daya. Alassane Ouattara memboikot hasil pemilu, sedangkan Jenderal Robert Guei hengkang keluar negeri dan memobilisasi pemberontakan, dan akhirnya terbunuh pada tanggal 19 September 2002.

Dengan dukungan penuh dari penduduk muslim bagian utara Alassane Ouattara memilih menjadi opposan terhadap Laurent Gbagbo sebagai presiden yang penuh kontroversi dan mendapat dukungan penduduk bagian selatan yang mayoritas Kristen. Tekanan yang begitu kuat yang melibatkan suku dan agama, yang menewaskan ribuan penduduk, memaksa Presiden Laurent Gbagbo mengadakan rekonsoliasi dengan pihak oposisi.

Megahnya Masjid Agung Yamoussoukro 

Perundingan di Paris pada bulan Januari 2003 menghasilkan kesepakatan Laurent Gbagbo bersedia membagi kekuasaan kepada pihak oposisi. Bulan Maret 2003 Seydou Diarra, seorang tokoh muslim dari utara, diangkat sebagai Perdana Menteri Pantai Gading. Sedangkan Alassane Ouattara yang diragukan kewarganegaraannya, pada bulan Juni 2002 telah diakui penuh sebagai warga Negara Pantai Gading.

Namun masalah dan perang saudara tak usai sampai disitu, Presiden Laurent Gbagbo membuat blunder politik paling berat dalam sejarah pemerintahannya, ketika pada tanggal 6 Nopember 2004 pasukan militer-nya mengebom kamp militer Perancis yang menewaskan 31 tentara. Perancis membalas dengan menembak 2 pesawat Sukhoi dan 5 helikopter milik Pantai Gading. Ketegangan pun merebak, baik antara Perancis dan Pantai Gading, maupun sebagian rakyat Pantai Gading yang berkeinginan kuat untuk mengusir warga Perancis keluar dari Pantai Gading. Kehadiran militer Prancis di Pantai Gading merupakan bagian dari pasukan perdamaian internasional di bawah komando PBB.

Tentu saja situasi ini tidak menguntungkan Laurent Gbagbo, di satu pihak memimpin pemerintahan yang sangat tidak stabil, didera pertikaian sectarian antara Kristen dan Muslim, di lain pihak berhadapan dengan Perancis yang pernah menjajah negaranya, dan kecaman dunia intenasional. Perang saudara kembali berkecamuk di Negara tersebut manakala Laurent Gbago enggan menyerahkan kekuasaannya, meski telah kalah dalam pemilu demokratis tahun 2010 oleh lawan politiknya Ouattara, dengan perolehan suara 54,1 persen, unggul dibanding Gbago yang mendapat 45,9 persen.

Alih alih mengakui kemenangan pihak oposisi, Laurent Gbago kemudian malah membatalkan ribuan perolehan suara Ouatarra dan mengumumkan dirinya sebagai pemenang pemilu. Keputusan yang tentu saja ditentang oleh pihak oposisi dan dunia internasional. Pertikaian bersenjata antara dua pihak tak terelakkan, diperkirakan 800 orang tewas dalam pertempuran sepekan tersebut dan sekitar satu juta orang mengungsi hingga ke Negara Negara tetangga.

The Smiling President, Mr. Allasane Ouattara

 Konflik agak mereda setelah Laurent Gbago akhirnya tertangkap oleh pasukan loyalis presiden terpilih yang mendapatkan dukungan internasional, di bunker persembunyiannya pada bulan April 2011, bersama istri dan ibu mertuanya yang ditengarai selama ini memiliki pengaruh begitu kuat atas keputusan dan kebijakannya selama menjabat[vi]

Presiden Muslim Pertama Pantai Gading

Jum’at, 6 Mei 2011, merupakan hari bersejarah bagi muslim Pantai Gading, Mahkamah Agung (MA) Pantai Gading, menetapkan Alassane Ouattara sebagai presiden, lima bulan setelah ia memenangkan pemilu. Alassane Ouattara, menjadi presiden ke empat di Pantai Gading, sekaligus menjadi presiden muslim pertama di Pantai Gading, membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional sebagai sebuah Negara damai seperti yang pernah terjadi di era awal kemerdekaan Negara tersebut.

Alassane Ouattara, pria kelahiran Dimbokro pada tanggal 1 Januari 1942, merupakan salah satu tokoh intelektual Muslim Pantai Gading, Doktor pakar ekonomi lulusanUniversity of Pennsylvania. Sangat disegani baik dalam politik maupun karir internasionalnya. Menjabat sebagai Perdana Menteri tahun 1990-1993, kemudian sebagai wakil direktur manajemen di IMF, 1 Juli 1994- 31 Juli 1999, dan kemudian menjadi presiden dari Partai Rally of the Republicans (RDR) 1 Agustus 1999.*** 

Artikel Terkait
                                                                                                       

Sabtu, 17 Desember 2016

Mesjid Kasunyatan Banten

Masjid Kasunyatan Banten

Masjid Kasunyatan adalah salah satu masjid tua di kawasan Banten Lama, lokasinya pun tidak terlalu jauh dari Masjid Agung Banten, berada di kampong Kasunyatan sekitar satu kilometer sebelah selatan Masjid Agung Banten. Lokasinya yang tidak berada di sisi jalan raya utama menjadikan masjid ini seolah tersembunyi di tengah tengah pemukiman penduduk, pun juga tidak ada papan nama dan rambu petunjuk keberadaan masjid ini. Lokasinya yang berada di dalam lingkungan pemukiman membuat masjid ini tidak atau setidaknya belum muncul di dalam citra google street view.

Dulunya masjid dan kawasan ini dikenal sebagai tempat yang angker. Konon  bila ada orang tidur di masjid pada malam hari, dapat berpindah menjadi ke tengah hutan saat pagi harinya. Selain itu, dulu banyak burung hantu dan pohon-pohon besar di sekitar masjid, sehingga jarang ada masyarakat yang berani mendekati masjid.

Mesjid Kasunyatan
Kampung Kasunyatan RT 009/03 Desa Kasunyatan
Kecamatan Kasemen, Kota Serang
Provinsi Banten 42191 Indonesia


Kesan sebagai masjid tua memang sangat terlihat di masjid ini. Foto tua masjid ini juga menjadi salah satu koleksi Museum Tropen Belanda. Disebut masjid Kasunyatan karena memang berada di kampong Kasunyatan, namun demikian masjid ini juga dikenal dengan Masjid Al-Fatihah karena dianggap sebagai masjid pembuka dan juga fakta bahwa luas masjid ini adalah 144 meter persegi dan angka 144 tersebut sesuai dengan jumlah huruf yang ada di surah Al-Fatihah, surat pembuka di dalam susunan surah kitab Suci Al-Qur’an.

Masjid Kasunyatan berdiri di atas lahan sekitar satu hektar, terbagi dalam 3 bangunan, yakni dua pendopo dan satu bangunan utama, yang berada di tengah-tengah pendopo. Ruangan utama masjid Kasunyatan tak terlalu besar itu, di dalam masjid ini masih berdiri dengan kokoh “singgasana” raja milik Sultan Maulana Yusuf. Tak hanya “singgasana” yang terbuat dari kayu jati yang dilapisi cat berwarna putih dan emas, di atas “singgasana” itu juga masih bertengger Pedang Cis, pedang milik Sultan Maulana Yusuf yang berbelah dua pada bagian bawahnya. Kini, tempat tersebut dijadikan tempat khutbah ketika salat Jumat digelar, dan pedang itu dijadikan pegangan khotib.

Masjid Kasunyatan memang memiliki banyak simbolis, Masjid ini mempunyai 4 perkara, semuanya serba 4, mempunyai 4 pintu gerbang, 4 pintu masjid, 4 tiang besar, menara yang berbentuk persegi 4, kolam yang berbentuk bintang 4, serta kubah yang berbentuk 4 burung. 4 perkara juga yang harus disebarkan, yakni keislaman, keimanan, keikhsanan, serta keikhlasan. Kasunyatan sendiri, mempunyai 4 makna, yaitu kesucian, kenyataan, kesunyian serta kesepian.

Di sekitar masjid juga terdapat kolam pemandian yang mempunyai kedalaman sekitar 4 meter. Konon, kolam tersebut digunakan sebagai pemandian bagi para mualaf. Kini, menurut Ardabili, kolam pemandian itu kerap dijadikan tempat ritual setiap Kamis malam. Biasanya, orang yang datang untuk mandi, sehabis itu, biasanya mereka berziarah, Di masjid ini juga terdapat tempat untuk menyepi di menara masjid.

Di sekitar masjid, terdapat komplek Panembangan Sulaiman yang merupakan komplek makam yang terbagi dalam dua bagian, bagian utara dan selatan. Di bagian utara, terdapat makam Syekh Abdul Syukur Sepuh, Syekh Ahmad Almadani, Tb Urip, Syekh Habul, Pangeran Arya Kasunyatan, Tb Sulaiman, Syekh Hasan Khan, Buyut Cempa, Patih Jaya Kusuma, dan Tb Zulkarnain. Sementara di bagian selatan terdapat makam Nyi Ratu Asiyah, Nyi Karimah, Nyi Ratu Ayu Sari Banon, Tb Muhidin, Ki Rajil, Ki Ijel, dan Ki Bujel..

Masjid Kasunyatan di Zaman Belanda, dengan kolam air wudhunya yang masih terbuka tanpa atap seperti saat ini.
Beberapa benda peninggalan masih tersimpan di masjid Kasunyatan, terdiri dari Pedang Cis milik Sultan Maulana Yusuf, gentong Aceh, dan rongsokan ranjang milik Nyi Ratu Asiyah. Beduk asli masjid ini ditukar dengan beduk milik Masjid Agung Banten. Di bulan Ramadhan selain menggelar salat tarawih bersama, dimasjid ini memiliki tradisi taqobalan, yakni puji-pujian kepada Allah SWT.

Sejarah Masjid Kasunyatan

Sedikit sekali sumber sumber sejarah yang menyebutkan tentang masjid ini. Sumber tertulis yang ada di masjid ini berupa prasasti yang ditandatangani Bupati Serang RTA Soeria Nata Atmadja, pada Desember 1932 yang terletak pada pendopo bagian kanan masjid. Tentang renovasi / perbaikan masjid Kasunyatan bukan pembangunan awal masjid ini. Sejauh ini ada dua pendapat tentang sejarah pembangunan masjid ini. Berbagai sumber di dunia maya menyebutkan masjid ini merupakan masjid tertua di Banten, dibangun tahun 1533 oleh Maulana Hasanuddin yang merupakan Sultan Pertama di Kesultanan Banten. Meski ada juga sumber sumber yang menyebutkan masjid ini dibangun oleh Maulana Yusuf, putra dari Maulana Hasanuddin. 

Bila menilik angka tahun 1533 sebagai tahun pembangunan masjid ini lalu di sandingkan dengan catatan sejarah lainnya, menunjukkan bahwa; Masjid Kasunyatan dibangun jauh lebih dulu sekitar 19 tahun dibandingkan dengan pembangunan Masjid Agung Banten (1522) atau 6 tahun setelah jatuhnya Sunda Kelapa (1527) ke tangan Pasukan Islam Gabungan dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak di bawah pimpinan Fatahillah yang kemudian mendirikan Kesultanan Jayakarta.

Merujuk kepada angka tahun tersebut dan pendapat bahwa masjid Kasunyatan adalah Masjid pertama di Banten memang menimbulkan pertanyaan: mengapa Maulana Hasanuddin membangun masjid pertama di Banten justru di kampung Kasunyatan yang terpaut cukup jauh dari Keraton. Rata rata Kesultanan di Jawa memulai pembangunan komplek Keraton ataupun tempat tinggal raja bersamaan dengan pembangunan Masjid dan Alun Alun. Belum diketahui dengan pasti apakah Maulana Hasanuddin tadinya memang tinggal di kawasan tersebut sebelum kemudian membangun Keraton dan Masjid Agung Banten, atau memang karena latar belakang tertentu.

Seperti disebutkan tadi bahwa tahun 1533 terpaut enam tahun paska jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan pasukan Islam gabungan dari Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon yang faktanya juga di dukung oleh pasukan Banten, menunjukkan bahwa Islam sudah memilki pengaruh cukup kuat di wilayah Banten jauh sebelum kemudian secara tegas membebaskan diri dari pengaruh Padjajaran.

Interior Masjid Kasunyatan

Maknanya bahwa Islam telah disampaikan secara terang terangan di kawasan Banten dan sudah di anut kalangan Ningrat Istana tanpa rasa khawatir, dan tentunya kurang tepat untuk menyebut bahwa pembangunan masjid ini jauh dari istana sebagai bentuk penghindaran masalah yang akan muncul karena ketersinggungan kerajaan Pajajaran selaku induk wilayah Banten kala itu, terlebih lagi bahwa paska runtuhnya Sunda Kelapa, Pajajaran sudah kehilangan kekuasaannya atas wilayah Banten.

Lain halnya bila ternyata masjid Kasunyatan memang dibangun oleh Maulana Yusuf, putra partama Maulana Hasanuddin, sekaligus merupakan Sultan Kedua di Kesultanan Banten. Semasa berkuasa beliau memang terkenal sangat merakyat dan sangat mencintai pertanian, sampai sampai ketika wafat pun beliau dimakamkan di tengah pesawahan bukan di komplek pemakaman kerajaan, sesuai dengan wasiat beliau. Bila hal itu benar maka dengan sendirinya akan menggugurkan pendapat bahwa masjid Kasunyatan merupakan masjid pertama di wilayah (Kesultanan) Banten.

Adalah situs kebudayaan.kemdikbud salah satu yang menyebutkan bahwa masjid ini dibangun pada era Sultan Maulana Yusuf yang berkuasa antara tahun 1552-1570, dimana tokoh masyarakat (ulama) yang sangat berperan pada masa itu adalah Syekh Abdul Syukur, dan kini makam beliau di dalam cungkup kompleks masjid, yang oleh masyarakat setempat sangat dihormati dan dikeramatkan.

Masih di situs yang sama, disebutkan bahwa penamaan Kasunyatan bagi kampung tempat masjid ini berdiri bermula sejak era pemerintahan Maulana Muhammad (putra dari Maulana Yusuf). Dikisahkan bahwa untuk menunjukkan rasa hormatnya kepada sang guru yang bernama Kyai Dukuh, ia memberi gelar kepada sang guru, Pangeran Kasunyatan yang kini makamnya juga berada di kompleks masjid ini.

Bagaimanapun dibutuhkan penggalian data lebih dalam dan lebih komprehensif untuk mengetahui sejarah sebenarnya dari Masjid Kasunyatan ini. Dan telepas dari semua itu, Masjid Kasunyatan tetaplah masjid tua yang patut dijaga kelestariannya sebagai masjid tua dan bersejarah.

Gapura Masjid Agung Kasunyatan dan kolam tempat berwudhu yang kini sudah diberikan atap pelindung.

Sekilas Sejarah Islam di Banten

Catatan sejarah menyebutkan bahwa Islam telah masuk dan berkembang di wilayah Banten sejak wilayah itu masih bernama Banten Girang dan masih merupakan bagian dari kerajaan Padjajaran yang berpusat di Pakuan (Bogor). Perkembangan Islam di Banten sendiri sebenarnya justru dilakukan oleh anggota keluarga Istana Padjajaran sendiri. Syarif Hidayatullah yang dikemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati tak lain adalah cucu dari Prabu Siliwangi, Maharaja Padjajaran.

Syarif Hidatullah adalah putra tertua dari Dewi Rara Santang, dan Dewi Rara Santang adalah Anak Prabu Siliwangi dari pernikahannya dengan Subang Larang dari Pengguron Syech Quro (Syech Hasanuddin) di Karawang. Syarif Hidatullah menjadi sosok penting perkembangan Islam tanah Jawa sejak kedatangannya ke Cirebon dari tanah kelahirannya di Jazirah Arab, Di Cirebon beliau tinggal bersama Uwaknya, Pangeran Cakrabuwana, yang kala itu menjadi penguasa di  Cirebon  sebagai bagian dari kerajaan Padjajaran.

Kedudukannya sebagai “orang dalam istana” menjadi keuntungan tersendiri bagi beliau termasuk memberi-nya keleluasaan untuk berpergian kemanapun di dalam wilayah Padjajaran untuk berdakwah termasuk ke wilayah Banten, sampai kemudian beliau menikah dengan Dewi Kawunganten, putri dari Adipati Banten. Dari pernikahan itu lahirlah putra beliau yang diberi nama Maulana Hasanuddin.

Manakala Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan  Cirebon lepas dari Padjajaran, tentunya memberikan hak waris tahta dan keningratan berganda Kepada Maulana Hasanuddin, Hak dari Ayahandanya di Keraton Cirebon dan hak dari Ibunda-nya di Keraton Banten. Maka sangat wajar bila dikemudian hari beliau turut mengerahkan pasukan Banten membantu pasukan gabungan Demak dan Cirebon dalam penaklukan Sunda Kelapa tahun 1527. Dan sangat wajar pula bila setelah itu beliau dikukuhkan sebagai Sultan Pertama di Kesultanan Banten.

Keturunan Maulana Hasanuddin juga yang dikemudian hari menaklukkan kekuasaan Padjajaran sekaligus menggondol Palangka Sriman Sriwacana yang merupakan batu penobatan raja raja Padjajaran ke Kraton Banten sebagai bentuk penghapusan kerajaan Padjajaran secara politik, dan secara de-facto sebagai penguasa wilayah wilayah bekas kerajaan Padjajaran, sekaligus juga menandai eksistensi Islam di tatar Pasundan.*** (dari berbagai sumber, data di olah)

Artikel Terkait