Sabtu, 08 Oktober 2016

Masjid Raya Mujahidin Kota Pontianak

Megah dan mewah. Kesan pertama melihat Masjid Raya Al-Mujahidin Pontianak ini.

Kota Pontianak, ibukota Provinsi Kalimantan Timur, kini memiliki sebuah masjid raya megah dan moderen dengan nama Masjid Raya Mujahidin. Dinamakan Masjid Raya Muhajidin karena ingin menandakan perjuangan. Banyak perjuangan yang dilakukan di Pontianak. Mulai dari perjuangan kemerdekaan RI sampai perjuangan menyebarkan agama Islam di pulau ini. Diharapkan masjid ini bisa selalu menjadi pengingat para Muslim untuk terus aktif di kegiatan agama. 

Kota Pontianak merupakan salah satu kota tua di Indonesia dengan sejarahnya yang teramat panjang, di kota ini pernah berdiri kesultanan Pontianak dengan salah satu warisan sejarahnya adalah Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman yang merupakan masjid tertua di Kota Pontianak dan Kalimantan Barat. Kesultanan Pontianak merupakan salah satu dari sekian banyak kerajaan di Nusantara yang mendukung penuh kemerdekaan Republik Indonesia dengan salah satu tokoh terkenalnya yang juga merupakan pahlawan nasional, adalah Sultan Hamid II yang turut berkontribusi dalam merumuskan “Garuda Pancasila” sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Alamat Masjid Agung Mujahidin
JL. A.Yani, Kec.Pontianak Selatan
Kota Pontianak, Prov.Kalimantan Barat



Masjid Raya Muhajidin pertama kali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Oktober 1978 (20 Zulkaidah 1398), bertepatan dengan ulang tahun Kota Pontianak ke 207. Dalam rangka perluasan dan peremajaan bangunan masjid, pada November 2011 dilakukan pemugaran Masjid Raya dan diresmikan oleh presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Januari 2015 (29 Rabiul Awal 1436 H).

Bangunan Megah Masjid Raya Mujahidin Pontianak berdiri di atas lahan seluas 4 hektar dan mampu menampung setidaknya 9 ribu Jemaah sekaligus. Secara umum terbagi menjadi tiga bagian yakni ; Bangunan utama Masjid berukuran 60 x 60 meter, kemudian bangunan menara utama yang dibangun terpisah dari bangunan utama, dan area plaza berdenah segi empat yang dikelilingi koridor panjang berada diantara bangunan utama masjid dan menara utama.

Masjid Raya Muhajidin dibangun dengan memadukan beragam unsur arsitektur Islami dari berbagai peradaban Islam dan dipadu dengan ornamen khas masyarakat pontianak. Bangunan utamanya dibangun dua lantai, ruang sholat utama berada di lantai dua sedangkan lantai dasar digunakan untuk berbagai aktivitas pendukung. Dari area plaza ada tangga besar langsung menghubungkan ke area sholat di lantai dua.

Aerial View Masjid Raya Mujahidin Pontianak

Kubah besar bewarna keemasan sarat dengan mozaik khas Kalimantan di seluruh permukaan kubah dengan motif yang indah. Dibagian ujung kubah diletakkan ornamen sederhana meruncing sebagaimana tegaknya hurup alif. Empat buah menara menjulang di keempat penjuru masjid dengan bentuk dan tinggi yang sama, ujung menara dilengkapi dengan kubah bewarna ke-emasan polos tanpa ornamen. Seperti halnya pada kubah utama, di puncak menara ini pun dilengkapi dengan ornamen yang senada dengan kubah masjid. Bangunan masjid seperti ini mengingatkan kita pada bangunan bangunan masjid dinasti Usmaniyah yang ditandai dengan menara menaranya yang menjulang dan kubah kubahnya yang berukuran besar.

Disekeliling bangunan utama dilengkapi dengan sederatan pilar pilar tinggi dan besar lengkap dengan lengkungan lengkungan dua warna khas masjid Masjid Cordova dan Istana Alhambra hingga masjidil Harom dan Masjid Nabawi. Motif Kalimantan sangat kental terasa di interior masjid dengan balutan warna emas dalam setiap mozaik yang menghias interior masjid ini. Pembangun masjid ini cukup jeli dalam memadukan beragam unsur peradaban Islam dalam membangun masjid ini.

Masjid Raya Mujahidin Pontianak sekarang dan dulu

Pembangunan Masjid Agung Mujahidin Kota Pontianak
  
Keinginan membangun masjid begitu besar dikalangan umat muslim pontianak berawal dari dibangunnya Masjid Syuhada di Jogjakarta [1949] dan ditahun yang sama dibangun Masjid Al-Azhar di Jakarta serta direncanakannya pembangunan Masjid Istiqlal oleh Bung Karno pada awal 1950-an. Delegasi Kalimantan mengirimkan utusannya, Achmad Mawardi Djafar, Abdur Rani Macmud, Mohamad Akib, Hasan Koeboe, Muzani A Rani dan Azhari Djamaluddin untuk mengikuti Kongres Muslimin Indonesia [KMI] dan bertemu dengan Mr Assat Sutan Mudo yang saat itu menjadi pengggas dalam pembangunan Masjid Syuhada di Jogjakarta.

Saat bertemu dengan beliau, Mawardi Djafar dan Mohamad Akib meminta petunjuk dan pengalaman tokoh nasional yang sempat sebagai Pejabat Presiden RI waktu itu untuk membangun Masjid serupa di Kota Pontianak karena pada saat itu Delegasi KMI Kalimantan Barat belum mempunyai konsep yang pasti tentang masjid besar yang akan dibangun. Kepulangan delegasi KMI ke Pontianak pada awal tahun 1950 menambah semangat dan kerja keras untuk mewujudkan pembangunan masjid besar di Kota Pontianak. Achmad Mawardi Djafar dan Mohamad Akib aktif bersilaturahmi dengan para pemuka masyarakat muslim Pontianak untuk mendapat dukungan dan doa.

Lima Menara

Berawal dari Seribu Rupiah

Empat tahun sudah pembangunan masjid besar direncanakan, dan pada hari Jumat, 2 Oktober 1953 tokoh muslim terkemuka seperti Mr Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Natsir, Syamsurizal, Buya Hamka dan Anwar Tjokroaminoto mengukuhkan dan Membentuk Yayasan Mujahidin dengan para pengurus H Achmad Mashur Thahir [pengusaha terkemuka], Mohamad Saad Karim [Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pontianak], Merah Kesuma Indra Mahyuddin [pengusaha terkemuka], Achmad Mawardi Djafar [Koordinator Penerangan Agama Daerah Kalimantan Barat], Gulam Abas [pengusaha] dan Mohamad H Husein [pengusaha] dikukuhkan dalam Akta Notaris.

Keenam Tokoh tersebut berbekal modal tunai 1000 [seribu rupiah] dalam merintis pembangunan rumah ibadah yang akan diberinama Masjid Mujahidin yang termaktub dalam Pasal 3 Akta Notaris tersebut dimana tujuan didirikannya Yayasan Mujahidin tersebut dalam Tujuan dan Usaha diuraikan bahwa: “…. Tujuan Mutlak Yayasan ini, ialah mendirikan sebuah Masjid di Kota Pontianak yang akan diberi nama Masjid Mujahidin…” Para pengurus berusaha mengembangkan modal 1000 yang tersimpan di BRI Pontianak dengan cara membuka kotak amal bagi masyarakat yang akan menyumbang dana, subsidi pemerintah dan penerimaan lainnya yang dianggap halal.

Ekterior Masjid Raya Mujahidin Pontianak

Kepengurusan Pertamakalinya Yayasan Mujahidin yang terbentuk pada tanggal 2 Oktober 1953 yang terdiri dari dua orang penasehat, masing-masing Residen Koordinator Kalimantan Barat dan Walikota Besar Pontianak. Komisi Pengawas terdiri dari Raden Djenal Asikin Judadibrata [Residen Koordinator Kalimantan Barat] dan Raden Soedjarwo [Bupati Kabupaten Pontianak di Pontianak]. Badan Pengurus terdiri dari H Achmad Manshur Thahir [Ketua Umum], Mayor TNI Aminuddin Hamzah [Ketua I], Mohammad Saad [Ketua II], Merah Kesuma Indra Mahjuddin [Penulis I], Achmad Mawardi Djafar [Penulis II], Gulam Abas [Bendahara I] dan Mohammad H Husein [Bendahara II]. Selaku penandatangan akta notaris, mewakili para penghadap lainnya, masing-masing H Achmad Manshur Thahir, Mohamad Saad Karim, Merah Kesuma Indra Mahyuddin, Achmad Mawardi Djafar, Gulam Abas dan Mohamad H Husein.

Dipilihnya nama Mujahidin

Dipilihnya nama Mujahidin untuk yayasan dan masjid yang dirintis tersebut, diusulkan oleh Achmad Mawardi Djafar, dengan pemikiran mengabadikan perjuangan kaum muslim dalam kancah kolektif mempersembahkan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat. Mereka maksudkan, Mujahidin sebagai monumen perjuangan ummat. Dan para penggagas yayasan ini sendiri notabene adalah pelaku sejarah di daerah ini, khususnya Achmad Mawardi Djafar dan H Achmad Manshur Thahir.

Interior Masjid Raya Mujahidin Pontianak

Setelah terbentuknya yayasan tersebut, tidklah berarti segala kesulitan teratasi dalam rangka membangun masjid yang diidamkan. Sebab, membangun masjid modern untuk ukuran zamannya di Pontianak ketika itu, bukan perkara yang mudah. Berbagai usaha segera dijalankan. Dengan faktor minimnya pendanaan, hingga dari waktu ke waktu, masjid yang digagas inipun belum juga kunjung didirikan. Namun, Yayasan Mujahidin berusaha semaksimal mungkin sesuai tujuan semulanya.

Perjalanan waktu, delapan tahun kemudian, pada 7 September 1961, diadakan pembaharuan kepengurusan Yayasan Mujahidin. Ini dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian tujuan semula, membangun masjid modern di tengah Kota Pontianak. Dalam kepengurusan yang diperbaharui itu, terdiri dari tiga Penasehat: Pangdam XII Tanjungpura Brigjen Soedarmo, Wakil Gubernur Kalimantan Barat Letkol Iwan Soepardi dan Walikota Kepala Daerah Kotapraja Pontianak HA Muis Amin. Komisi Pengawas masing-masing Raden Djenal Asikin Joedadibrata, Mohammad Akib dan H Abdussjukur Ketua DPR Daswati II Kalimantan Barat. Badan Pengurus masing-masing Ketua Umum H Achmad Manshur Thahir, Ketua I Andi Odang, Ketua II Ardan, Sekretaris I Muzani A Rani, Sekretaris II Achmad Mawardi Djafar, Bendahara I Merah Kesuma Indra Mahjudin dan Bendahara II Hasnul Kabri. Anggota terdiri dari Burhanuddin, Mohamad Saad Karim, HM Saleh HA Thalib, Andi Jusuf, Saiyan Tiong, M Soedarjo, Aliaswat Saleh dan Mohamad H Husein.

Dari sudut yang lain

Kepengurusan baru ini berusaha mensinergikan secara optimal keberadaan mereka untuk mencapai tujuan semula. Namun, malapetaka sejarah terjadi, beberapa di antara pengurus baru ini tertimpa musibah kezaliman Partai Komunis Indonesia [PKI], akibatnya mereka ini dinon-aktifkan. Kondisi itu, bersamaan dibubarkannya Partai Masyumi, di mana aktifis Yayasan Mujahidin serupa Achmad Mawardi Djafar dan Muzani A Rani adalah dua tokoh utama Masyumi di Kalimantan Barat. Mawardi Djafar anggota DPR Daswati I Kalimantan Barat dari Fraksi Masyumi dan Muzani A Rani anggota Konstituante wakil Masyumi dari Kalimantan Barat. Namun, kelahiran Orde Baru memberikan perubahan tatanan kenegaraan, dan mereka pun kembali beraktifitas di tengah masyarakat.

Selanjutnya, ketika Gubernur Kalimantan Barat dijabat Kol Kadarusno, kepengurusan yayasan mengalami perubahan untuk kedua kalinya. Dua orang tokoh pemuka masyarakat muslim Kalimantan Barat, Achmad Mawardi Djafar dan A Muin Idris, diberi mandat oleh yayasan pada 18 Januari 1975 untuk mewakili Yayasan Mujahidin untuk melakukan pembaharuan kepengurusan serta mempertegas maksud dan tujuan dari yayasan ini. Maka, pada Kamis 29 Februari 1975, dengan Akta Nomor 40 Notaris Mohamad Damiri di Pontianak, terbit Akta Perubahan Yayasan Mujahidin. Dan di bawah kepemimpinan Gubernur Kadarusno, pembangunan wujud fisik masjid dilaksanakan secara intensif.

Ribuan jemaah memadati masjid Raya Mujahidin Pontianak hingga ke plaza tengah.

Kepengurusan baru terdiri Ketua Umum Kadarusno, Ketua I Mohamad Barir SH, Ketua II H Achmad Manshur Thahir, Sekretaris I Achmad Mawardi Djafar, Sekretaris II Drs Noor Ismail, Bendahara Drs Nurdin. Pembantu Hasnul Kabri, HM Saleh H Thalib, Saiyan Tiong, Aliaswat Saleh, Muhamad Ali As SH, A Muis Amin, HM Jusuf Sjuib, A Muin Idris, HM Syah Bakie SE, Ir Daeng Arifin Hadi, Ir Said Djafar dan HA Hamid Lahir.

Pada tanggal 23 Oktober 1978 (20 Zulkaidah 1398), bertepatan dengan ulang tahun Kota Pontianak ke 207, Masjid Raya Mujahidin Pontianak diresmikan oleh Presiden Soeharto. Dan 37 tahun setelah itu Masjid Raya Mujahidin Pontianak dipugar total ke bentuknya yang megah mewah saat ini dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Januari 2015 (29 Rabiul Awal 1436 H), setelah mengalami pemugaran yang dilaksanakan sejak bulan November 2011.

Dalam acara tersebut, Presiden yang didampingi Ibu Negara melakukan peninjauan kesejumlah bagian Masjid Raya Mujahidin. Ikut hadir dalam peresmian tersebut, antara lain: Sekretaris Kabinet (Andi Wijayanto), Wakil Ketua MPR yang juga Ketua Umum Pembangunan (Oesman Sapta Odang), Wakil Ketua MPR (Hidayat Nurwahid), Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Sidharta Danusubroto), Kepala BIN (Maciano Norman), Gubernur Kalimantan Barat (Drs. Cornelis, M.H), Walikota Pontianak (H. Sutarmidji), Jajaran MUSPIDA serta masyarakat umum. Kedatangan Presiden di Kota Pontianak ini juga disambut dengan tradisi tepung tawar, yang merupakan tradisi khas masyarakat Melayu Pontianak.***

--------------

Baca Juga


2 komentar:

Dilarang berkomentar berbau SARA