Jumat, 24 Juni 2016

Aslanhane Masjid Sarang Singa, Tertua di Turki

Aslanhane begitu orang orang menyebut bangunan masjid ini, artinya gedung singa atau sarang singa, karena dulu ada banyak patung singa disekitar termpat ini namun kemudian semuanya dikubur disekitar tembok pagar masjid ini. nama asli masjid ini adalah Masjid Ahi Şerafettin

Masjid Aslanhane atau Aslanhane Mosque adalah salah satu masjid tertua yang masih eksis keberadaanya hingga saat ini di kota Ankara, Ibukota Turki, bahkan merupakan salah satu masjid tertua di Negara Turki. Dibangun tahun 1290 pada masa kekuasaan Dinasti Seljuk. Masjid ini menyimpan sejarah keindahan seni bina bangunan dari masa Seljuk, dan merupakan salah satu masjid tua di Turki yang menggunakan pilar pilar penopang dari kayu yang masih utuh hingga saat ini. Berdiri kokoh di kawasan kota tua Ankara dekat dengan bangunan Kastil Ankara sekitar 3 Km dari pusat kota Ankara, di wilayah dengan ketinggian 947 meter dari permukaan laut, dari tempat ini pengunjung dapat melihat panorama kota Ankara dari ketinggian.

Aslanhane Bila di-Indonesia-kan artinya cukup menyeramkan – Gedung atau Sarang Singa – nama yang terlalu sangar untuk sebuah nama masjid. Nama tersebut bukanlah nama sebenarnya dari masjid ini, disebut Masjid Sarang Singa semata mata karena banyaknya patung singa disekitar tempat itu, yang kemudian seluruhnya dikubur di bawah tembok pagarnya. Selain Aslanhane Masjid ini juga seringkali disebut dengan Masjid Lion Den. Aslinya Masjid ini bernama Masjid Ahi Şerafettin tokoh pemimpin muslim setempat yang pernah memperbaiki masjid ini, makam beliau berada di dekat Masjid ini.

Address: İzmir Caddesi Ihlamur Sokak No:9/19 Kızılay – Ankara
Phone: +90.312 419 9203
39°56′12″N 32°51′55″E



Ebubekir Mehmet selaku arsitek masjid ini merancang masjid ini dengan gaya Seljuk yang kental, selesai dibangun tahun 1290 dengan material utama berupa batu batu kali yang disusun sebagai dinding bangunan, bagian lantai dan ubin nya menggunakan batu kali yang diratakan, sesuatu yang sangat unik dan antik, ditambah lagi dengan pilar pilar penopang atapnya yang terbuat dari balok kayu utuh berukuran besar dengan sentuhan seni ukir batu di bagian atasnya. 

Sejarah Masjid Aslanhane

Masjid Aslanhane merupakan salah satu masjid tertua di Turki yang masih berdiri hingga saaat ini. Dibangun pada masa kekuasaan Sultan Mesud II dari kerajaan Seljuk Anatolia tahun 1290. Arsitek yang merancang masjid ini adalah Ebubekir Mehmet. Pembangunannya dilaksanakan oleh dua orang pemimpin suku Ahi bernama Hüsamettin dan Hasaneddin. Masjid ini sempat diperbaiki tahun 1330 oleh pemimpin suku Ahi lainnya bernama Ahi Şerafettin. Nama beliau lah yang kemudian di abadikan menjadi nama masjid ini.

Struktur kayu mendominasi bangunan masjid ini. dibagian dalamnya berjejer tiang tiang kayu utuh menopang struktur atapnya yang juga terbuat dari kayu. 

Setelah mengalami beberapa perbaikan kecil bangunan masjid ini ahirnya di restorasi secara keseluruhan oleh pemerintah Turki tahun 2010-2013. Direktorat purbakala Turki menurunkan tim khusus untuk restorasi masjid ini untuk melakukan restorasi total namun tetap mengkonservasi ke-asliannya. Hasilnya seperti terlihat saat ini bangunan masjid tersebut berhasil dipulihkan dari kerusakan tanpa merusak ke-asliannya, termasuk struktur atapnya yang terbuat dari kayu serta bangunan menaranya yang terbuat dari batu bata.

Bangunannya berdenah segi empat berukuran 400m2 dilengkapi dengan satu bangunan menara. Dindingnya menggunakan susunan batu batu koral berukuran besar, sedangkan struktur atapnya seluruhnya dari kayu. Ada 24 tiang besar dari kayu utuh menopang struktur  atap masjid tua ini. sedangkan aksesnya dilengkapi dengan 3 pintu utama dan 12 jendela. Bagian menarik dari masjid ini ada di mihrabnya yang kental dengan langgam seni masjid masa kejayaan Dinasti Seljuk Anatolia.

Mihrab masjid Aslanhane, indah dengan ukiran khas masa kejayaan dinasti Seljuk

Bangunan masjid masjid di Turki terkenal dengan bangunannya yang besar dilengkapi dengan kubah besar di atap masjid ditambah dengan satu atau lebih menara ramping yang lancip menjulang seperti pensil berdiri. dengan interior megah yang mengagumkan. tapi hal itu tidak berlaku di masjid ini dan masjid masjid peninggalan dinasti Seljuk lainnya. Masjid Aslanhane memang memiliki ukuran yang cukup besar dengan dinding yang kokoh, namun tanpa plester, temboknya dibiarkan memperlihatkan susunan batu batu koral yang berjejer rapi.

Tidak ada kubah besar di atap masjid, karena seluruh struktur atap masjid ini berbahan kayu. atapnya dibangun sama dengan atap bangunan lainnya. Seni pertukangan dan seni ukir kayu menjadi daya tarik tersendiri. Tiang tiang kayu berukuran besar dibiarkan polos tanpa sentuhan seni namun dibagian ujungnya yang menopang strtuktur atap dihias dengan ukiran stako bewarna putih, kontras dengan tiangnya. sementara plafon masjid ini terdiri dari susunan kayu  berukir indah.***

Pilar pilar kayu dan struktur atap masjid Aslanhane. 
Masjid Aslanhane dari kejauhan
Interior Masjid Aslanhane
Eksterior masjid Aslanhane

Minggu, 19 Juni 2016

Masjid Agung Keraton Liya Togo, Wakatobi

Masjid Mubarok di dalam Benteng Liya Togo

Masjid tua ini bernama masjid Mubarok namun lebih dikenal sebagai Masjid Agung Keraton Liya Togo atau Masjid tua Benteng Liya karena berada di dalam benteng Liya yang terbuat dari batu koral di pulau Wangi Wangi dalam lingkup wilayah desa Liya Togo, kecamatan Wangi wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, propinsi Sulawesi Tenggara. Masjid tua ini dibagun tahun 1546 atau delapan tahun setelah pelantikan Sultan Buton Pertama – Sultan Marhum di tahun 1538.  Masjid ini merupakan masjid tertua kedua di Kabupaten Waktobi yang masih berdiri hingga kini, setelah masjid Agung Keraton Wolio. Masjid Keraton Liya yang berjarak 8 Km atau 15 menit dari Ibukota Kabupaten, dapat ditempuh menggunakan alat transportasi roda dua dan empat.

Benteng Liya dibangun di atas bukit, jarak benteng dari pinggir laut adalah sekitar 1,5 km. Dengan bentuk jalan yang menyerupai angka 9. Dari benteng terlihat jelas wilayah laut utara, timur dan selatan. Benteng Liya terdiri dari empat lapis dengan 12 Lawa (Pintu), 12 lawa tersebut merupakan pintu keluar yang digunakan masyarakat kerajaan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.



Masjid Mubarok menjadi saksi penyebaran Islam di Pulau Wangi-Wangi, yang saat ini masuk menjadi bagian dari Kabupaten Wakatobi. Dinas Pariwisata Wakatobi, memasukannya sebagai salah satu destinasi wisata yang sedang dikembangkan. Salah satu program yang akan digelar adalah membuat sinopsis sejarah tentang Masjid Liya Togo. Pemda juga menyiapkan program pelatihan kepada masyarakat setempat agar dapat memandu para tamu yang datang.

Di hadapan sisi kiri masjid, sebuah tanah pemakaman terhampar. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah makam yang letaknya di dataran paling tinggi.  Bentuknya tidak seperti bangunan makam pada umumnya. Makam cukup lebar ditandai dengan barisan batu karang yang ditanam ke tanah. Sementara, area makam dikelilingi pagar batu. Menurut cerita legenda, makam tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir seorang pemuda bernama Talo-Talo,  pemuda sakti yang diberi daerah kekuasaan Liya Togo oleh Kesultanan Buton.

Sebagian besar bangunan masjid ini masih asli 

Talo-Talo diberi kekuasaan di Liya Togo karena dianggap berjasa terhadap Sultan Buton ketika diberi tugas menyelesaikan konflik di salah satu  negeri bagian. Liya Togo sendiri berdiri di dataran tinggi sebelah selatan Pulau Wangi-Wangi. Letaknya kira-kira 8 kilometer dari ibukota kabupaten. Selain bangunan masjid dan makam, Sebuah tempat pertemuan berbentuk rumah panggung yang disebut baruga juga berdiri tak jauh dari halaman depan masjid.

Versi lainnya disampaikan oleh Forum Komunikasi (Forkom) Kabali yang giat mengumpulkan data data sejarah di daerah tersebut menyatakan bahwa gundukan batu yang ditinggikan (Ditondoi) yang ada di depan Masjid 'Al Mubaraq' Keraton Liya seperti tersebut diatas adalah makam Mahisa Cempaka yang pernah bersama Rangga Wuni memimipin pemerintahan di Kerajaan Singosari di Pulau Jawa. Di bawah gundukan batu Ditindoi yang di sekelilingnya ditumbuhi banyak Pohon Kamboja yang telah berusia sekitar 800 tahun, diperkirakan terdapat sekitar 5 anggota dinasti Ken Arok, selain Mahisa Cempaka yang dimakamkan disitu. Model penguburan satu liang terdiri atas beberapa anggota keluarga, hingga saat ini masih terus terjadi di wilayah Liya, Wangiwangi.

Masih menurut hasil penelusuran sejarah yang dilakukan oleh Forkom Kabali, jauh sebelum dibangun Masjid 'Al-Mubaraq' Keraton Liya, sudah ada sebuah masjid di wilayah Liya Togo dikenal dengan nama Masjid Togo Lamantanari. Masjid itu diperkirakan dibangun tahun 1238 masehi oleh 8 orang Persia dipimpin Haji Muhammad yang terhempas gelombang ke Pulau Wangiwangi setelah kapalnya remuk melabrak karang dalam pelayaran menuju Filipina.

Kubah limas masjid, beduk dan batu makam

Kini masjid tersebut sudah tidak ada lagi, namun demikian, menurut keterangan yang dihimpun oleh Forkom Kabali pada saat waktu shalat dhuhur dan masuk waktu shalat ashar setiap hari masih selalu terdengar suara kumandang azan dari sekitar lokasi masjid tua ini. Kumandang azan yang sama sampai saat ini masih selalu terdengar dari sekitar makam H.Muhammad yang terletak di sekitar permandian Kohondao Liya Togo, Desa Woru, sekitar 800-an meter dari lokasi bekas masjid tua Togo Lamantanari.

Pemugaran

Dalam perjalanan sejarah Mesjid Mubaroq ini telah mengalami empat kali pemugaran, yakni tahun 1924, 1970, 1973 dan tahun 2005. Pemugaran Pertama tahun 1924 oleh Lakina Liya La Ode Taru yang melakukan perbaikan-perbaikan pada sebagian dinding dan bagian atap yang sudah lapuk. Pemugaran kedua dilakukan oleh Lakina Liya La Ode Bula yang mengganti dinding yang terdiri dari pasangan kayu yang sudah lapuk dengan pasangan batu, termasuk juga mengganti mimbar kayu yang kala itu sudah lapuk.

Pemugaran di tahun 1973 dilaksanakan pada masa camat Wangi-Wangi dijabat oleh Andi Sultan. Dilaksanakan perombakan Mimbar/Mihrab yang semula terbuat dari Kayu Ukir dari Jenis kayu Jati dengan model atap dari susunan atap nipah sebanyak 2 helai dipasang di bagian kisi luar atap penutup Mimbar/Mihrab, kemudian diganti lagi dengan Mimbar/Mihrab dari pasangan batu.

Pemugaran terahir pada tahun 2005 di masa Gubernur Sulawesi tenggara dijabat oleh Ali Mazi SH. Pemugaran dengan mengganti empat sokoguru ditengah mesjid dengan pilar cor beton karena sulitnya mendapatkan kayu berukuran besar sebagaimana tiang asli masjid yang sudah lapuk tersebut. Plafon masjid juga diganti dari sebelumnya terdiri dari pasangan papan yang disusun bertingkat.***

Sabtu, 18 Juni 2016

Masjid Hunto Sultan Amay, Mahar Untuk Sang Permaisuri

Masjid Hunto Sultan Amay Gorontalo

Di kota Gorontalo, ibukota propinsi Gorontalo berdiri sebuah masjid tua yang merupakan masjid tertua sekaligus menandai dimulai berkembang pesatnya Islam di Gorontalo. Masjid tua ini pertama kali dibangun pada tahun 1495M oleh Sultan Amay. Legenda masyarakat Gorontalo menyebutkan bahwa masjid ini merupakan hadiah perkawinan Sultan Amay kepada istrinya.

Sultan Amay sebelumnya adalah seorang raja penganut animisme begitupun seluruh rakyat dikerajaannya. Begitu beliau masuk Islam seluruh rakyatnya pun mengikuti langkah sang raja dan berbondong bondong masuk Islam. Kisah ini dituturkan turun temurun dari generasi ke generasi terutama setiap tahun di bulan ramadhan.

Lokasi Masjid Hunto Sultan Amay

Masjid Hunto Sultan Amay
Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota Selatan
Kota Gorontalo, Propinsi Gorontalo
Indonesia


Sejarah Masjid Hunto Sultan Amay

Mungkin anda merasa aneh dengan kata hunto pada nama masjid ini. Hunto merupakan singkatan dari kata Ilohuntungo berarti basis atau pusat perkumpulan agama Islam. Memang masjid ini merupakan basis perkembangan dan penyebaran Islam di Gorontalo ketika itu. Sedangkan nama Sultan Amay sendiri diambil dari nama pendirinya yang membangun masjid ini bersama rakyatnya ketika beliau resmi masuk Islam.

Menurut penuturan Haji Syamsuri Kaluku, Pengurus Badan Ta'mirul Mesjid Hunto Sultan Amay, Islam sebenarnya sudah masuk di Gorontalo semenjak tahun 1300-an Masehi. Hanya saja Islam berkembang pada tahun 1490-an pada saat masjid ini berdiri. Sejarah masjid ini bermula ketika raja Amay masuk Islam.

Interior bangunan asli Masjid Hunto Sultan Amay

Demi Cinta

Raja Amay adalah raja yang memerintah di Kerajaan Gorontalo pada tahun 1472-1550 M, beliau merupakan sosok seorang pemimpin muda, ganteng, dan masih lajang. Raja dan para pengikutnya, saat itu, menganut kepercayaan animisme. Patung, pohon, dan hal-hal yang dianggap mistik merupakan persembahan masyarakat saat itu. Sang raja kemudian jatuh cinta pada putri raja, Raja Palasay, Putri Boki Antungo, yang merupakan gadis cantik asal Mautong Sulawesi Tengah.

Raja Amay mendatangi langsung Raja Palasay untuk meminang Putri Boki Antungo. Dia menyampaikan ingin memimang putri raja dan Raja Palasay menerima baik niat Raja Amay. Raja Palasay yang ketika itu merupakan pengikut agama Islam yang taat, mengajukan satu syarat kepada Raja Amay. Jika persyaratan itu disetujui, Raja Palasay merestui anaknya dinikahi Raja Amay.

Satu syarat yang diajukan yaitu Raja Amay harus masuk Islam dengan bukti Raja Amay harus mendirikan masjid. Permintaan Raja Palasay disetujui Raja Amay. Pembangunan masjid pun dilakukan di Gorontalo pada tahun 899 Hijriah atau 1495 Masehi. Masjid tersebut kemudian diberi nama Hunto Sultan Amay. Hunto singkatan dari Ilohuntungo berarti basis atau pusat perkumpulan agama Islam ketika itu.

Detil interior masjid Hunto Sultan Amay

Masjid Hunto Sultan Amay, Mahar untuk mempelai Wanita

Sebelum menikah, Raja Amay mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amay dengan terang-terangan mendeklarasikan diri telah memeluk agama Islam. Raja meminta seluruh pengikutnya untuk menggelar pesta yang meriah. Pada pesta tersebut Raja Amay meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat.

Tepatnya di halaman masjid ini digelar pesta dan sumpah adat dengan hidangan babi. Darah babi kemudian dijadikan simbol sumpah adat yang diteteskan dibagian kepala (jidat) dengan isi sumpah pada hari tersebut merupakan hari terakhir rakyatnya memakan babi. Usai proses sumpah adat, Raja Amay kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat.

Pernikahan Raja Amay dan Putri Boki Antungo pun dilakukan di Mautong dan Masjid Hunto Sultan Amay menjadi hadiah pernikahan Raja Amay kepada istrinya. Syekh Syarif Abdul Aziz ahli agama Islam dari Arab Saudi didatangkan oleh Raja Amay untuk mengajar dan menyebarluaskan agama Islam di Gorontalo. Dan sampai saat ini masih terbukti sebagian besar masyarakat Gorontalo menganut agama Islam atas upaya dari Raja Amay, hingga kini masjid Hunto Sultan Amay ramai dikunjungi jemaah.

Gerbang baru Masjid Hunto Sultan Amay

Dikeramatkan Warga Gorontalo

Masjid Hunto Sultan Amay Gorontalo diyakini keramat oleh warga sekitar sehingga banyak yang datang berkunjung dan berziarah untuk mendapatkan berkah.Berdasarkan pengalaman peziarah, di mimbar masjid ini terkadang terdengar suara orang menangis dan ada juga peziarah yang melihat orang banyak yang lagi salat padahal tidak ada orang yang masuk masjid.

Bahkan ketika salat sendiri, tiba-tiba ada makmum yang mengeraskan suara dari belakang membalas kata amin atau salam. Cerita-cerita seperti itu dikisahkan oleh orang-orang yang berkunjung ke Mesjid Hunto Sultan Amay. Dikatakan setiap orang yang datang berkunjung ke masjid ini akan diuji tingkat keimanannya. Jika tujuannya ibadah akan terdengar suara-suara ibadah tetapi jika datang dengan tujuan untuk istirahat atau tidur maka akan diganggu dengan hal-hal aneh seperti gempa.

Di mihrab berbatasan dengan tempat posisi berdirinya imam, masjid tua ini terdapat makam Raja Amay. Ada batasnya dan sudah diatur antara kuburan Sultan Amay dan posisi berdirinya imam biar tidak terkesan kita menyembah Raja Amay. di mimbar masjid tua tersebut sering mengeluarkan aroma yang harum alami tanpa pewangi buatan. Sedangkan dibagian belakang masjid merupakan kuburan tua termasuk Syekh-Syekh zaman dulu yang turut serta menyebarkan agama Islam di Gorontalo.

Sumut tua di Masjid Hunto Sultan Amay

Di masjid ini juga ada sumur tua yang hingga kini masih digunakan oleh jemaah dan masyarakat sekitar. Posisinya terletak di samping kiri mesjid, berdekatan dengan tempat wudhu. Sumur tua tersebut terbuat dari kapur dan putih telur Maleo dengan diameter lebih dari satu meter dan kedalaman air mencapai tujuh meter. Kondisi cuaca Gorontalo yang sering dilanda musim panas berkepanjangan tidak mempengaruhi kondisi airnya yang terus melimpah dan jernih. Masyarakat setempat meyakini air sumur tua Mesjid Hunto Sultan Amay keramat dan sering digunakan untuk mengobati berbagai penyakit.

Renovasi dan Perluasan

Saat ini bentuk dan ukuran Mesjid Hunto Sultan Amay telah dipugar dan diperbesar tanpa menghilangkan keasliannya. Diantaranya mimbar yang biasa digunakan untuk berkhotbah dan tiang-tiang Mesjid yang masih kokoh berdiri serta ornamen-ornamen beraksen kaligrafi Arab. Adapula bedug yang terbuat dari kulit kambing yang sudah mulai menipis dengan kondisi telah dihiasi lubang-lubang kecil tetapi masih digunakan hingga saat ini. Posisinya terletak dibagian dalam, tepatnya di sudut kanan depan Mesjid. Semuanya asli.

Luas asli masjid ini adalah 144 meter persegi tapi sekarang sudah lebih besar. Ukuran aslinya itu merupakan wilayah pusatnya dan masih tetap asli sampai sekarang. Dilakukan perbaikan dikarenakan sudah rusak dan dipercantik kembali tanpa menghilangkan keasliannya. Area Mesjid yang telah diperlebar diantaranya dibagian depan dan sebelah kanan Mesjid yang dijadikan ruang shalat  wanita. Serta ada penambahan bangunan di lantai dua juga untuk wanita.***

Baca Juga

Jumat, 17 Juni 2016

Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah

Perpaduan tradisional dan modern di Masjid Menara Kudus

Salah Satu Masjid Tertua di Indonesia

Masjid Menara Kudus sebenarnya bernama Masjid Al-Aqso, merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Bangunan aslinya masih bisa dijumpai hingga kini meski sudah mengalami perbaikan dan perluasan berkali kali sejak pertama kali dibangun sekitar tahun 1549 oleh Sunan Kudus, sekitar sepuluh tahun lebih dulu dari Masjid Mantingan Jepara (1559) yang dibangun oleh Sultan Hadiri, atau sekitar 70 tahun setelah Masjid Agung Demak (1479) yang dibangun pada masa Raden Fatah, atau kira kira sezaman dengan Masjid Kesultanan Banjar di Banjarmasin yang dibangun oleh Sultan Suriansyah (1526-1550).

Kudus Berasal dari kata Al-Quds

Menurut antropolog dari Universitas Udayana - Bali, mendiang Prof. Purbacaraka, nama kota Kudus berasal dari bahasa Arab, “Al-Quds” (kini Jerusalem - Ibukota Palestina). Sedangkan para sejarawan Islam percaya bahwa pelaut muslim arab-lah yang memberikan nama tersebut untuk mengenang tanah kelahiran mereka di Al-Quds – Palestina. Tak mengherankan bila kemudian masjid tua di kota kudus yang terkenal dengan menara berbentuk candi-nya itu pun kemudian diberi nama Masjid Al-Aqso, sebagaimana nama masjid suci ketiga Ummat Islam di kota Al-Quds.

Foto tua masjid Menara Kudus
Masjid Al Aqsa dan Menara Kudus merupakan tempat bersejarah peninggalan salah satu Walisongo, Ja’far Shodiq atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus yang makamnya terdapat di komplek itu. Tempat tersebut kini menjadi destinasi andalan wisata reliji kota Kudus, terutama bagi para peziarah, disamping makam Sunan Muria yang berada di kawasan wisata Colo, Kecamatan Dawe Kudus, pegunungan Muria. Nama Jafar Shodiq terukir pada batu di atas mihrab masjid ini. konon batu bertulis tersebut berasal dari Al-Quds (Baitul Maqdis) di Palestina.

Lokasi Masjid Menara Kudus

Masjid menara kudus berada di pusat kota Kudus. Secara administratif masuk ke dalam wilayah Desa Kauman Kulon kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah. Lingkungan yang mengelililingi masjid menara kudus ini berupa rumah rumah penduduk desa Kauman kulon yang sudah tidak jelas lagi batas batas yang memisahkan antara rumah penduduk dengan komplek masjid karena antara dinding komplek masjid dengan rumah penduduk telah menjadi satu.



Sebelumnya Adalah Candi ?

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, Masjid ini sebenaranya bernama Masjid Al-Aqso sebagaimana tertulis di papan nama masjid yang diletakkan di gerbang utama masjid dengan aksara arab. Hanya saja masyarakat luas lebih mengenalnya sebagai Masjid Menara Kudus merujuk kepada bangunan menaranya yang unik itu. Pendapat umum dan cerita tutur yang beredar luas menyebutkan bahwa Masjid Menara Kudus sebelumnya adalah sebuah candi yang kemudian di konversi (di alih fungsi) menjadi sebuah masjid. Benarkah Masjid Menara Kudus ini merupakan konversi dari sebuah Candi ?, Apa nama candi itu sebelumnya ?. Menjadi menarik untuk sekedar bertanya.

Sudah di fahami secara umum bahwa metoda da’wah yang dijalankan para wali dalam menyebarkan Islam di Nusantara termasuk di tanah Jawa dengan melalui pendekatan budaya. Mereka tidak serta merta menentang atau menghapus budaya yang sudah berkembang di dalam masyarakat namun secara perlahan melakukan editing secara cermat dengan memasukkan ajaran Islam kedalam setiap pernik budaya yang sudah ada. Perubahan yang perlahan namun pasti mengubah wajah budaya menjadi sesuatu yang Islami.

KEBANGGAAN NASIONAL. Gambar Masjid Menara Kudus diabadikan di uang kertas pecahan lima ribu Rupiah.
Tidak hanya di masa para wali, di masa kini pun metoda yang memiliki kemiripan diterapkan oleh kaum muslimin minoritas yang tinggal di wilayah non muslim. Seperti contoh pada saat saudara saudara kita itu akan membangun masjid mereka tidak memaksakan diri untuk membangun masjid dengan bentuk masjid umumnya yang memiliki kubah dan menara serta kumandang azan dari menara. Misalnya saja Muslim di Estonia yang minoritas membangun masjid dengan bentuk yang serupa dengan gedung gedung bertingkat disekitarnya, dan sama sekali tidak seperti masjid yang biasa kita kenal yang memiliki kubah besar, simbol bulan sabit di ujung kubah dan menara serta kumandang azan berpengeras suara dari menara-nya. Tidak hanya di Estonia yang berada di Eropa sana, saudara saudara muslim di Tolikara pun membangun masjid mengikuti bentuk bangunan disekitarnya agar tidak terlalu mencolok demi toleransi.

Menilik hal hal yang demikian, bukan tidak mungkin toh, bila dulu Ja’far Shodiq dan kaum muslimin awal di Kudus membangun masjid dengan mengikuti bentuk / arsitektur tempat ibadah ummat mayoritas yang ada disana. Bukankah tata letak bangunannya pun sudah persis menghadap kiblat, termasuk tata letak bangunan menaranya. Bukankah sejarah mencatat bangunan yang awal sekali dibangun sudah mengalami beberapa kali perluasan, menunjukkan bahwa bangunan awalnya memang tidak terlalu besar, dan pembangunan masjid sudah barang tentu sesuai dengan kebutuhan jemaah nya, alias disesuaikan dengan jumlah jemaahnya. Wallohuwa’lam.

DA GAPURA DI DALAM MASJID. Ini salah satu keunikan yang ada di Masjid Menara Kudus, ada gapura / gerbang paduraksa di dalam masjid, tak ada di masjid lain.

Keunikan yang Menarik Perhatian

Ke-unikan arsitektural menjadi daya tarik utama masjid ini. Sejauh ini Masjid Menara Kudus merupakan satu satunya masjid dengan paduan arsitektural bangunan candi dengan bangunan masjid modern sebagaimana biasa dikenal. Telah difahami secara umum bahwa masjid ini sebelumnya memang merupakan bangunan candi yang kemudian di alih fungsi menjadi masjid seiring dengan telah muslim nya masyarakat disana. Menara setinggi 17 meter yang berada di sisi kiri gerbang utama masjid ini yang berbentuk bangunan candi dibangun dengan susunan bata merah tanpa semen, berdiri megah hingga kini dengan bentuk aslinya, dengan fungsi sebagai menara masjid lengkap dengan perangkat pengeras suara terpasang disana. Gaya arsitektur Menara masjid ini disebut sebut menyerupai candi-candi di Jawa Timur pada masa Majapahit dan juga memiliki kemiripan dengan Menara Kukul di Bali.

Menara ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, tubuh dan puncak. Kaki menara berbentuk bujur sangkar berukuran 6.3 meter. Sedangkan puncak menara berupa ruangan mirip pendopo berlantai papan. Di atas menara di beri atap tumpang bertingkat dua dari sirap. Menurut G.F. Pijpet dan A.J. Bernet Kemperes, menara masjid kudus ini mirip dengan menara Kul Kul di Bali dan pada awalnya bukanlah menara masjid melainan sebuah bangunan candi pada masa Hindu yang kemudian disesuaikan kegunaannya sebagai menara masjid ini. Beberapa peneliti lain seperti Soekmon, Syafwandi dan Parmono atmadi menghubungkan bentuk menara masjid Kudus dengan candi candi di Jawa Timur seperti candi jago dan candi singasari berkaitan dengan bentuk arsitektural dan ragam hiasnya.

Restorasi menara
Keunikan bangunan masjid ini tidak hanya pada menaranya. Beberapa bagian kuno dari bangunan masjid ini masih dapat ditemui dengan pola dan bahan bangunan yang sama, termasuk empat bangunan gapura (gerbang), terdiri dari dua gerbang berbentuk paduraksa dan dua gerbang berbentuk candi bentar. Gerbang gerbang tersebut tetap di konservasi keberadaan dan keasliannya meski kini sudah berada di dalam bangunan masjid. Bentuk dan keberadaannya yang tak biasa di dalam masjid membuat gerbang gerbang ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.

Gerbang gerbang tersebut sejatinya merupakan pembatas antar halaman di komplek masjid ini. komplek masjid menara kudus ini terbagi menjadi sebelas halaman yang dibatasi dengan pagar dan gapura dari bata yang berbentuk candi bentar maupun padureksa. Fitur dari masa lalu yang tak kalah menarik yang masih bisa dijumpai, terdapat disebelah selatan masjid, ada kolam berwudhu kuno yang cukup unik, ada delapan pancuran dihiasi ukiran batu berbentuk kepala kala. Sekarang pancuran tersebut ditambah dengan keran untuk memudahkan Jemaah berwudhu.

Terhimpit. Masjid Menara Kudus dari udara terlihat terjepit diantara padatnya rumah penduduk di sekitarnya.

Pembangunan dan Perluasan Masjid Menara Kudus

Sejak dibangun oleh Ja’far Shodiq alias Sunan Kudus pada tahun 956 Hijriah atau 1549 M. Masjid menara kudus sudah beberapakali mengalami perbaikan dan perluasan. Pada awal tahun 1918 sampai ahir tahun 1919 telah diadakan pembongkaran dibeberapa bagian masjid. Tahun 1925 bagian depan masjid ditambah dengan serambi untuk menampung jemaah khususnya di hari Jum'at yang semakin membludak. Tahun 1933 serambi tersebut diperluas dengan serambi tambahan menyebabkan gapura kori agung atau gapura lawang kembar menjadi ternaungi atap serambi depan masjid. Di atas serambi itupun dibangun kubah. Perubahan terahir tahun 1960 saat terjadi pergantian mustaka.

Bagian yang masih asli di masjid ini berupa tembok sisi timur, sebagian tembok sisi utara dan selatan, gapura paduraksa, tembok luar mihrab, delapan buah pancuran tempat wudhu serta menara. Seperti  bangunan lainnya di komplek masjid ini, tembok timur masjid juga dibangun dari batu bata tanpa perekat. Pada tembok sisi timur ini terdapat empat buah gapura, dua buah gapua berbentuk candi bentar dan dua gapura berbentuk paduraksa.

Pintu menuju menara

Legenda Masjid Menara Kudus

Dikisahkan bahwa pada waktu Sunan Kudus berhaji beliau terserang penyakit kudis. karena penyakitnya itu beliau di hina dan disingkirkan dari pergaulan sehari hari, Sunan kudus pun membalas dengan kesaktiannya dan timbullah wabah penyakit yang menimpa negeri arab. Berbagai upaya dilakukan oleh pera pemuka negeri arab untuk mengatasi wabah tersebut namun tak membuahkan hasil. Ahirnya sunan kudus diminta mengatasi wabah tersebut. Atas jasanya para pemuka negeri arab tersebut memberikan berbagai hadiah menarik tapi sunan kudus menolaknya dan justru memilih batu yang kemudian digunakan untuk memperingati pendirian masjid menara kudus. Batu tersebut kini ada di mihrab masjid bertuliskan nama Sunan Kudus.

Banyu Panguripan

Masih menurut cerita tutur, dahulu dibawah bangunan menara terdapat dua buah sumber air. oleh penduduk sumber air itu disebut sumber banyu panguripan. Disebut demikian karena apabila seseorang meminum air itu maka orang itu akan hidup abadi. Sunan Kudus sangat khawatir jika khasiat air sumber panguripan itu disalahgunakan oleh orang orang berwatak jahat. Oleh karenanya sumber air itu ahirnya ditutup dan di atasnya didirikan bangunan menara. Dari legenda ini jelas disebutkan bahwa bangunan menara tersebut dibuat atas perintah atau setidaknya atas prakarsa Sunan Kudus. Bisa jadi legenda itu sebenarnya adalah potongan cerita dari proyek pembangunan Masjid di tempat itu yang kini dikenal sebagai Masjid Menara Kudus.

Tradisi Beduk Dhandhang

Ada kebiasaan unik Sunan Kudus dalam berdakwah dengan mengadakan beduk dhandhang yakni tradisi memukul beduk bertalu talu menjelang ramadhan untuk mengundang jemaah datang ke masjid. Setelah jamaah berkumpul, Sunan Kudus pun mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa. Beduk sendiri merupakan salah satu pernik tradisi Nusantara, sama halnya dengan kentongan atau pun digunakan berpadanan. Namun kemudian diserap menjadi salah satu tradisi Islam Nusantara.***

----------ooo000ooo----------

Artikel Masjid Masjid Tertua Di Nusantara Lainnya
Masjid Saka Tunggal                                                                                     

Minggu, 12 Juni 2016

Masjid Baiken Dibangun Dibekas Tempat Judi

Masjid Baiken, salah satu masjid mewah yang baru dibangun di Republik Kazakhstan. Uniknya Masjid ini dibangun dibekas tempat judi atau Casino di kota Almaty. 
Islam di Kazakhstan makin menggeliat, bangunan masjid masjid megah dibangun dan bermunculan di salah satu negara bekas pecahan Uni Soviet ini. Sebuah fakta yang cukup menarik, manakala pada masa pendudukan Soviet di Kazakhstan, Masjid masjid dan bangunan tempat ibadah lainnya ditutup paksa atau di alihfungsi menjadi fasilitas militer atau keperluan lainnya, di masa merdeka di negara ini justru tempat judi alias casino yang ditutup dan dibongkar kemudian dibangun sebuah bangunan masjid megah. Bangunan masjid tersebut diberi nama Masjid Baiken (Мечеть Байкен), dibangun atas inisiatif presiden pertama sekaligus sebagai pemimpin nasional Kazakhstan, N.A. Nazarbayev di tahun 2014.

Masjid Baiken (Мечеть Байкен)
Rozybakiev Street 184, Bostandyk District
Almaty, Kazakhstan



Bangunan megah Masjid Baiken ini dulunya merupakan bangunan Casino Zodiac yang berdiri di atas lahan seluas 6000 meter persegi, di pertigaan jalan Zhandosov dan Rozybakiyev kota Almaty. Kota Almaty tadinya merupakan ibukota tua Kazakhstan sebelum kemudian dipindahkan ke Astana. Proses pembangunan masjid dimulai sejak bulan Agustus 2012 dan selesai 2014 yang lalu. Pembukaan masjid ini dilakukan pada bulan April 2014 yang lalu.

Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang berapa besar dana yang dikeluarkan oleh pemerintah Kazakhstan untuk membangun masjid ini begitupun dengan proses pengambil alihan lahan casino tersebut untuk kemudian di ubah menjadi masjid. Selama proses pembongkaran bangunan casino sebuah pemandangan kontradiktif terlihat di lokasi pada saat alat alat berat mulai membongkar bangunan casino lalu mulai menggali lubang untuk pondasi, sebuah baliho dalam ukuran besar yang memuat detil rencana pembangunan masjid ini dipasang tepat di bekas gerbang bangunan casino. Pembangunan masjid ini berada dibawah kendali otoritas agama Islam Kazakhstan berkoordinasi dengan departemen Arsitektur dan Tata Kota Almaty.

Masjid Baiken di musim salju
Selama berbulan-bulan, penduduk kota bisa melihat langkah demi langkah pembangunan masjid tersebut sejak dari pembangunan dinding, menara dan kubah masjid baru di salah satu daerah padat penduduk di pusat kota Almaty. Proses pembangunan yang tentu saja menarik perhatian dan ditunggu tunggu oleh muslim disana. Masjid ini diresmikan langsung oleh Pemrakarsanya sekaligus presiden Kazakhstan - Nursultan Nazarbayev, dan diberi nama Masjid Biken, mengambil nama dari salah satu Tokoh besar Kazakhstand semasa kekuasaan Uni Soviet, Dirt Bike Ashimova.

Acara peresmian tersebut juga dihadiri Mufti Agung Kazakhstan, Yerzhan kazhy Malgazhyuly, serta para tokoh penting muslim setempat termasuk Akhmetzhan Yesimov, Naib Mufti-Serikbai Oraz dan Kairat Zholdybai, Imam Kepala Almaty Nurbek Esmaganbetov dan tamu tamu penting lainnya.  Acara peresmian tersebut dimulai dengan pembacaan Al-Quran oleh Imam Kepala Masjid Central Almaty - Nurbek Esmaganbetov kemudian ditutup dengan sholat jum’at pertama di masjid tersebut.

Masjid ini terdiri dari beberapa lantai : bagian bawah merupakan tempat parkir 2 tingkat berdaya tampung 88 kendaraan roda empat, ruang sholat utama berada di lantai atas ditambah bagian mezanin yang merupakan ruang sholat khusus untuk jemaah wanita. Selain itu masjid ini juga dilengkapi dengan sistem tata cahaya yang sempurna baik malam maupun siang hari. Masjid Biken ini menjadi salah satu masji megah dan modern di Kazakhstan dan kota Almaty khususnya.

Interior Masjid Baiken dari lantai tiga dengan ramainya jemaah di hari peresmian masjid tersebut
Sebagai imam masjid, pemerintah setempat telah mengangkat Imam Kulmuhammed Makhanbet, mantan ketua pengurus Masjid Sentral Almaty yang telah mengabdi disana selama lebih dari 12 tahun. Selama ini beliau dikenal luas di Kazakhstan sebagai pribadi yang telah berjasa membangun banyak masjid dan madrasah serta mengajar di berbagai tempat di Kazakhstan. Selain itu juga ditunjuk Imam imam Rawatib, Imam Nurbolat, yang sampai saat ini masih merupakan imam rawatib di Masjid Central di Almaty.

Hkim dari Almaty - Akhmetzhan Yessimov, yang berbicara pada acara pembukaan tersebut, mengucapkan terima kasih kepada Presiden atas kontribusinya terhadap Islam, mengingat bahwa Islam telah hadir di Kazakhstan sejak lebih dari seribu tahun yang lalu mengkonfirmasi bahwa Kazakh adalah Muslim. Beliau juga mengatakan bahwa sejak kemerdekaan, orang-orang Kazakh akhirnya mulai kembali ke sumber spiritual dan nasionalme mereka, dan sekarang dapat bebas menjalankan agama mereka. Sementara walikota Almaty menyatakan bahwa jumlah masjid dan madrasah di Kazakhstan meningkat, yang merupakan anugerah mutlak untuk negara, dan dengan diresmikannya masjid tersebut merupakan masjid ke 39 di kota Almaty.***

HIJAU PASTEL mendominasi bagian dalam masjid mewah ini. tampak menyejukkan mata. 
---------- ooo000ooo ----------

Baca Juga