Sabtu, 29 September 2012

Masjid Gazi Husrev-Beg, Sarajevo (bagian-2)

Masjid Gazi Husrev Beg Sarajevo

Arsitektural Masjid Gazi Husrev Beg

Pembangunan Masjid Beg ini menggunakan batu batu besar yang kemudian dipotong potong, membentuk bangunan masjid berdenah segi empat dan atap utamanya ditutup dengan kubah besar bergaris tengah 13 meter dan berketinggian dua puluh enam meter.

Pintu utama menuju ruang sholat masjid ini diapit oleh dua sayap portiko (serambi). Pintu utamanya sendiri dilengkapi dengan Iwan Kiblat yakni bentuk gerbang seperti layaknya ornamen pada sebuah mihrab. Lima buah kupola (kubah) menutup portiko (serambi) ini yang ditopang dengan lima pilar dari batu pualam. Sisi dalam masing masing kupola ini dihias sangat apik dengan ornamen kaligrafi serta susunan muqarnas (bentuk seperti stalaktit / ukiran batu yang menggantung di langit langit) di setiap pojokannya.

Area Serambi Masjid Gazi Husrev Beg - Sarajevo

Uniknya di area portiko ini selain bentuk pintu utamanya yang berbentuk seperti sebuah mihrab, di serambi kiri dan kanan masjid ini juga dilengkapi masing masing sebuah mihrab dan sebuah balkoni di serambi kanan. Tahun pembangunan masjid ini terukir dengan indah dalam huruf arab bergaya tuluth bertarikh 1531M (937H). Fasad di postiko ini dilengkapi dengan empat jendela besar.

Masuk ke dalam masjid ::: Mihrab Masjid Beg dihias dengan ornamen berupa delapan susun muqarnas sedangkan dinding sisi kiblat disekitarnya di tutup dengan cat dekoratif. Sisi kiblat dengan semi kubah berada di bawah ukiran muqarnas mihrab masjid ini. mimbar dari bahan batu pualam di dalam masjid ini dihias dengan ukiran ukiran indah yang halus.

::: Detil Pintu utama Masjid Gazi Husrev Beg :: Kiri atas, pintu utama dilihat dari balik pancuran air, Kanan atas, menunjukkan detil dari muqarnas di atas pintu utama, kiri bawah : menampilkan keseleruhunan pintu utama, tengah bawah : pintu utama lebih dekat, dan kanan bawah : tampak detil dari pintuutama.

Di sisi kanan dari pintu masuk utama sepanjang dinding utara dari ruang sholat, ada dua lantai ruangan yang disebut mahfil. Mahfil berupa tempat seperti mezanin di dalam masjid lokasinya berseberangan dengan mimbar sebagai tempat bagi muazin untuk mengulang suara imam sholat dengan suara lebih keras agar terdengar oleh jemaah yang lokasinya jauh dari ruang mihrab tempat imam memimpin sholat.

Di sisi kiri pintu utama terdapat maqsurah, ruang khusus untuk umaro (Gubernur, Sultan atau Khalifah) yang sedang menunaikan sholat di masjid ini. Maqsurah juga dapat ditemui di masjid masjid tua milik kesultanan kesultanan di Indonesia sekedar contoh adalah maqsurah di Masjid Gedhe Yogyakarta. Dibuatkannya maqsurah di dalam masjid dengan tujuan untuk melindungi para pemimpin tersebut dari ancaman pembunuhan atau serangan fisik lainnya.

Eksterior Masjid Gazi Husrev Beg ::: Kiri atas, Madrasah di komplek Masjid Gazi Huzrev Beg, Kiri tengah, Area pancuran di halaman masjid, Kiri bawah, gedung bangunan sekolah mengengah yang baru mengitari bangunan asli di komplek masjid ini, kanan atas Menara Jam dan kanan bawah tampak depan masjid Gazi Husreb Beg.

Jendela jendela masjid ini tidak asli lagi. Selama Bosnia menjadi bagian dari federasi Austro-Hungarian, dekorasi dengan gaya neo klasik di aplikasikan pada sisi dalam masjid ini, halaman tengahnya (courtyard) telah dimodifikasi serta pancuran air untuk berwudhu juga dibangun ulang dengan gaya rococo yang sedang berkembang pesat pada abad ke 18 berpusat di Paris – Prancis, Istana Versailles di Paris merupakan contoh aplikasi gaya rococo yang sangat kental. Masjid Beg juga dilengkapi dengan sebuah menara tinggi dengan balkoni tunggal setinggi 36 meter dari permukaan tanah.

Madrasah Gazi Husrev-Beg

Di dalam komplek masjid Gazi Husrev-Beg juga dibangun bangunan madrasah. Pembangunan madrasah ini juga menggunakan potongan potongan batu alam. Pembangunannya dilaksanakan pada tahun 1537M / 944H, sebagaimana dijelaskan pada plakat pembangunan yang dipasang di pintu masuk ke areal madrasah ini. bangunan madrasah inipun dibangun begitu indah dengan karya seni yang serupa dengan bangunan masjid.

Jemaah Sholat di masjid Gazi Husrev Beg

Bangunan madrasah ini dibangun melingkari sebuah lapangan dengan jejeran arkade, terdiri dari 12 ruang kelas di tiga sisi dan sebuah ruang kelas dengan kubah besar (dersane) di sisi ke empat menghadap ke gerbang. Sebuah kolam kecil dibangun tengah tengah halaman madrasah, sedangkan sebuah lorong di sisi kanan ruang kelas sengaja dibangun menuju ke taman belakang. Madrasah juga dilengkapi dengan asrama bagi para santrinya. Jejeran bangunan baru mengitari bangunan asli madrasah ini sejak tahun 1960-an ketika madrasah ini di ubah menjadi Sekolah Menengah Atas.

Klinik, Sekolah dan Dapur Umum

Di sisi barat masjid ini dulunya berdiri berberapa bangunan termasuk pusat perawatan kesehatan dan dapur umum yang kemungkinan diruntuhkan kedua duanya di sekitar ahir abad ke sembilan belas, disini juga berdiri sekolah Al-Qur’an dan bangunan tempat berkumpulnya para pengikut sufi yang disebut gedung khankah. Termasuk juga gedung perpustakaan, meskipun kebanyakan dari koleksi buku buku, manuskrip dan dokumen dokumen wakaf dan lainnya sudah dipindahkan ke tempat baru di dekat Masjid Hunkar.

Interior Masjid Gazi Husrev beg

Europa Hotel yang kini berdiri merupakan tempat bangunan yang dibangun oleh Khan sederet dengan masjid namun kemudian diruntuhkan semasa penyerbuan oleh pasukan Austria di tahun 1912. Sedangkan pemandian umum (hamam) yang berdekatan dengannya kemudian di alih fungsi menjadi klub malam.

Makam Pendiri Masjid

Makam Gubernur Gazi Husrev-Beg berada di sebelah timur masjid, sebuah plakat dipasang di atas pintu masuk ke bangunan makamnya bertarikh 1541M / 948H, berdekatan dengan makam Murad Bey yang wafat di tahun 1545 / 952H. makam ini berbentuk oktagonal dan berdenah hexagonal. Sedangkan menara jam besar berdiri di lokasi ini disekitar abad ke 17 terhubung dengan dapur umum. Namun bangunan jam besar yang kini berdiri merupakan hasil pembangunan ulang semasa pendudukan Austria menggunakan Jam buatan Inggris.

Detil Interior Masjid Gazi Husrev Beg
Restorasi

Masjid Gazi Husrev beg mengalami kerusakan parah semasa perang etnis di semanjung Balkan antara tahun 1992 hingga tahun 1995, menyebabkan kerusakan parah pada masjid ini. di tahun 1996 dengan kucuran dana dari Saudi Arabia masjid ini di restorasi. Proses restorasi tersebut mengundang banyak kecaman internasional karena telah menghilangkan pernak pernik sejarah pada detil dekorasi bangunan masjid ini yang disesuaikan dengan ajaran faham wahabi Saudi Arabia. Itu sebabnya kemudian tim lokal Bosnia dibawah arahan Nihad Cengic berupaya melakukan restorasi kembali terhadap masjid ini untuk mengembalikannya kepada bentuk aslinya.***

Kembali ke Bagian-1


Kamis, 27 September 2012

Masjid Gazi Husrev-Beg, Sarajevo (bagian-1)

Masjid Gazi Husrev-Beg, Gazi Husref Bey Dzamija, Begova Dzamija, Gazi Husrev Bey Complex, Gazi Husrev-Begova Complex, Gazi Husrev Beg Mosque, Gazi Hüsrev Bey Complex

Gazi Husref Bey Dzamija, Begova Dzamija, Gazi Husrev Bey Complex, Gazi Husrev-Begova Complex, Gazi Husrev Beg Mosque, Gazi Hüsrev Bey Complex adalah nama nama yang merujuk kepada Masjid Gazi Husrev-Beg, seringkali disingkat dengan nama Masjid Beg's saja. Merupakan masjid tertua kedua di kota Sarajevo, Ibukota Bosnia & Herzegovina setelah Masjid “The Emperor Mosque”.

Sesuai dengan namanya Masjid Gazi Husrev-Beg dibangun oleh Gazi Husrev-Beg (1480-1541), Gubernur ke-2 Propinsi Bosnia di tahun 1530-1531M / 937H saat wilayah tersebut masih merupakan bagian dari wilayah Kekhalifahan Islam Emperium Usmaniyah yang berpusat di Istambul (Turki). Gubernur Gazi Husrev-Beg di ingat oleh warga Bosnia sebagai Gubernur Usmaniyah yang begitu berjasa mengubah “Kampung Sarajevo” menjadi “Kota Sarajevo” dengan segala kemegahannya.

Lokasi dan Alamat Masjid Gazi Husrev-Beg

Gazi Husref Bey Dzamija, Begova Dzamija
Saraci - Bacarsija
City of Sarajevo 71000, Bosnia and Herzegovina

 

 Berdiri di daerah Baščaršija dalam kota Sarajevo tak jauh dari The Emperor Mosque, masjid ini menjadi salah satu contoh sempurna dari kebesaran arsitektur Emperium Usmaniyah di wilayah semenanjung Balkan. Bangunan Masjid Gazi Husrev-Beg yang kini berdiri memang beberapa bagiannya adalah hasil restorasi di tahun 1996 setelah mengalami kerusakan parah paska serangan brutal terhadap Bosnia oleh etnis Serbia di tahun 1992-1995, namun keindahannya menjadikan masjid ini sebagai salah satu objek wisata-sejarah utama di kota Sarajevo. Pujian atas keindahannya mengalir dari para pengunjung non muslim sekalipun, beberapa diantara nya dapat anda baca di situs tripadvisor.com

Sejarah Masjid Gazi Husrev-Beg

Sejarah mencatat bahwa di keseluruhan propinsi Emperium Usmaniyah di semenanjung Balkan, penduduk Bosnia merupakan yang paling cepat menerima Islam secara total. Dan Bosnia menjadi pusat utama bekas wilayah Usmaniyah yang memiliki segudang peninggalan arsitektural bernilai tinggi termasuk masjid masjid, jembatan, perpustakaan, tempat pemandian umum (hamam) dan lain sebagainya. Masjid Gazi Husrev-Beg ini menjadi salah satu bagian penting dari satu periode masa ke-emasan Kekhalifahan Emperium Usmaniyah di Semenanjung Balkan.

Masjid Gazi Husrev-Beg, Gazi Husref Bey Dzamija, Begova Dzamija, Gazi Husrev Bey Complex, Gazi Husrev-Begova Complex, Gazi Husrev Beg Mosque, Gazi Hüsrev Bey Complex

Komplek Masjid Gazi Husrev Bey di kota Sarajevo ini merupakan salah satu kawasan utama Emperium Usmaniah di Semenanjung Balkan. Keseluruhan kompleknya terdiri dari bangunan masjid, Madrasah, Sekolah Al-Qur’an, khanqah, Dapur Sup, Klinik kesehatan, Perpustakaan, khan, bazaar, pemandian umum (hamam), dan pemakaman umum.

Gubernur Gazi Husrev-Beg selaku penguasa di Bosnia memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan perkotaan Sarajevo dengan perkembangan arsitekturalnya. Dari dokumen Yayasan Wakaf (pengelola komplek masjid ini) dijelaskan bahwa keseluruhan kegiatan dan perawatan masjid ini oleh para pengurusnya dan ditunjang dengan dana dari perusahaan pertanian regional setempat.

Masjid Gazi Husrev-Beg, Gazi Husref Bey Dzamija, Begova Dzamija, Gazi Husrev Bey Complex, Gazi Husrev-Begova Complex, Gazi Husrev Beg Mosque, Gazi Hüsrev Bey Complex

Masjid Gazi Husrev Beg dirancang oleh Ajem Esir Ali, arsitek lulusan sekolah arsitek Hajrudin Istambul, yang berasal dari Tabriz – Persia (kini Iran). Awalnya beliau adalah tawanan pasukan Usmaniyah saat menyerbu ke Persia yang dibawa ke Istambul sampai kemudian menjadi kepala arsitek kekhalifahan Emperium Usmaniyah sebelum Mimar Sinan yang merancang masjid Selimiye di Istambul. Pembangunan masjid ini merupakan satu dari sekian banyak proyek dari tim arsitek lulusan sekolah arsitek Hajrudin (Almamater-nya Ajem Esir Ali) diluar kota Istambul (dulu bernama Constantinople).

Masjid Gazi Husrev-Beg, Gazi Husref Bey Dzamija, Begova Dzamija, Gazi Husrev Bey Complex, Gazi Husrev-Begova Complex, Gazi Husrev Beg Mosque, Gazi Hüsrev Bey Complex

Bersambung

Minggu, 23 September 2012

The Emperors Mosque, Sarajevo – Bosnia and Herzegovina

Pertama dan Tertua di Sarajevo ::: Masjid Kaisar atau The Emperor's Mosque atau dalam Bahasa asli Bosnia disebut  Careva Džamija, dalam bahasa Turki disebut Hünkâr Camii, merupakan masjid pertama yang dibangun di kota Sarajevo segera setelah kota ini ditaklukkan oleh Jenderal  Isaković-Hranušić untuk Emperium Islam Usmaniyah yang berpusat di Istambul, Turki. 

Dikurun waktu tahun 1992 hingga 1995 adalah tahun paling hitam dalam sejarah kemanusiaan di semenanjung Balkan, khususnya bagi muslim Bosnia dan Herzegovina yang menjadi korban “pembersihan etnis” oleh pasukan ektrimis Serbia dibawah rezim Komunis Yugoslavia pimpinan Slobodan Milesovic dan Jenderal Radovan Karazic. Kisah memilukan yang menimpa muslim Bosnia dan Herzegovina itu menghentak dunia dan membuka mata muslim dunia termasuk di Indonesia akan keberadaan saudara sesama muslim di Eropa. Simpati dan dukungan muslim dari berbagai penjuru dunia memaksa badan dunia mengirimkan pasukan perdamaian ke kawasan ini

Islam telah masuk ke Semenanjung Balkan seiring dengan takluknya wilayah tersebut dibawah kekuasaan Emperium Usmaniah yang berpusat di Istambul (Turki) di pertengahan abad ke 15. Emperium Usmaniah menghadirkan peradaban terdepan di semanjung Balkan. Di Bosnia dan Herzegovina sendiri, Islam menjadi Agama mayoritas hingga kini, bertahan dari gerusan zaman termasuk dari teramat beratnya tekanan dari rezim komunis saat Bosnia dan Herzegovina menjadi bagian dari Federasi Yugoslavia.

Masjid Pertama dan Tertua di Kota Sarajevo

Kota Sarajevo memang bertabur masjid masjid indah baik masjid masjid yang dibangun pada era kejayaan Emperium Islam Usmaniyah maupun masjid masjid yang dibangun pada era pemerintahan Republik Federasi Bosnia & Herzegovina. Seperti tampak pada foto di atas dengan Emperor Mosque di latar depan.

Di kota Sarajevo dan kota kota Bosnia dan Herzegovina lainnya bertabur masjid masjid megah peninggalan emperium Usmani, Salah satu nya adalah The Emperor’s Mosque atau dalam bahasa Indonesia nya “Masjid Kaisar” di Kota Sarajevo, Ibukota Bosnia dan Herzegovina. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua dan masih eksis serta menjalankan fungsinya dengan baik hingga kini, melewati sejarah yang panjang termasuk pengrusakan semasa perang dunia maupun perang etnis di tahun 1992-1995. Jejak Indonesia juga dapat ditemukan di Sarajevo ditandai dengan berdirinya Masjid Istiklal Indonesia sebagai hadiah dari muslim Indonesia untuk saudara saudara muslim Bosnia dan Herzegovina.

Lokasi dan Alamat Masjid “The Emperors Mosque”

Sebagaimana dijelaskan situs resmi masjid ini, bila ingin berkunjung ke masjid ini, terutama bagi pengunjung dari luar bosnia yang tidak bisa berbahasa Bosnia, cara termudah untuk sampai ke masjid ini adalah dengan menuliskan nama masjid ini dalam nama aslinya "Careva džamija", lalu pergi ke Baščaršija tanyakan arah menuju ke masjid ini. disana ada banyak warga Bosnia yang fasih berbahasa Inggris terutama kaum mudanya. Tidak terlalu sulit untuk menemukan letak masjid ini. di anjurkan untuk membeli peta wisata Sarajevo untuk memudahkan perjalanan menjelajah kota Sarajevo. Peta perta tersebut dapat dengan mudah dibeli di berbagai toko buku ataupun di gerai gerai pedagang rokok di seantero kota.

Emperor's Mosque
Obala Isa-bega Ishakovića, 71 000
Sarajevo, Bosnia and Herzegovina 


The Emperor's Mosque atau Masjid Kaisar atau dalam bahasa Bosnia disebut Careva Džamija, atau dalam bahasa Turki disebut Hünkâr Camii merupakan landmark penting bagi kota Sarajevo, Ibukota Republik Federasi Bosnia & Herzegovina. Masjid ini pertama kali dibangun tahun 1457 segera setelah Emperium Usmaniah Turki menaklukan Bosnia. Masjid dengan kubah tunggal terbesar di Bosnia & Herzegovina, dibangun dalam gaya arsitektural klasik era Usmaniah. Sejarah menyebut bahwa masjid ini adalah masjid pertama yang dibangun di Sarajevo segera setelah kota itu takluk dibawah Emperium Islam Usmaniyah.

Pembangunan masjid ini dilaksanakan oleh Isaković-Hranušić yang mendedikasikan pembangunan masjid ini  bagi Sultan Muhammad Al-Fatih. Pahlawan besar sang penakluk kota Konstantinopel dan kemudian mengubahnya menjadi ibukota Emperium Islam Usmaniah serta mengganti nama Konstantinopel menjadi Istambul (ibukota Turki yang kini kita kenal). Keindahan masjid ini dianggap sebagai salah satu masjid dari era Usmaniah yang paling  indah di semenanjung Balkan. Masjid besar ini terdiri dari ruangan interior yang sangat nyaman dan di hias dengan detil dekorasi berkualitas tinggi  termasuk mihrabnya.

Exterior The Emperor's Mosque Sarajevo.

Isaković-Hranušić atau Isa-Beg Isaković atau dalam bahasa Turki dipanggil İshakoğlu İsa Bey, beliau adalah seorang Jenderal dari Emperium Usamaniah penakluk sekaligus gubernur Emperium Usmaniah pertama untuk Provinsi Bosnia, keberhasilannya menaklukan semanjung Balkan membuatnya menjadi Jenderal yang paling dipercaya oleh Khalifah Emperium Usmaniyah. Beliau menjabat sebagai Gubernur tahun 1450 hingga 1460. Penginggalannya masih dapat dinikmati oleh muslim Bosnia hingga kini. Setelah beliau wafat, jabatan gubernur dipegang oleh Gazi Husrev-beg yang kemudian membangun masjid Gazi Husrev-beg tak jauh dari Emperor Mosque ini namun di sisi sungai yang berbeda.

Sejarah Masjid Kaisar, Sarajevo

Bangunan asli masjid ini dibangun di pertengahan abad ke 15 dan telah melewati perjalanan panjang sepanjang sejarah hingga mengalami kerusakan dan hancur total di penghujung abad ke 15. Pembangunan kembali masjid ini dilaksanakan pada tahun 1565 dan didedikasikan kepada Sultan Sulayman yang terkenal dengan gelar The Law giver. Salah satu Sultan EMperium Usmaniah yang paling terkenal.

Interior The Emperor's Mosque - Sarajevo

Bangunan pertama yang dibangun di abad ke 15 merupakan bangunan masjid dari kayu dalam ukuran yang jauh lebih kecil dari bangunan masjid yang kini berdiri. Ruangan disamping masjid ini ditambahkan tahun 1800, dan dihubungkan langsung ke ruang sholat utama dengan sebuah pintu di tahun 1848. Ditahun 1980 dan 1983 cat dekorasi di interior masjid ini direstorasi dikonservasi termasuk restorasi dari kerusakan akibat perang dunia kedua. Namun lagi lagi mengalami kerusakan saat pecah perang di semanjung Balkan yang berujung pada pembantaian terhadap muslim di Bosnia & Herzegovina para periode 1992 hingga 1995.

Sebagai Masjid tertua dan pertama di Sarajevo, di komplek masjid ini juga dibangun kediaman bagi perwakilan Sultan di Sarajevo dan menjadi salah satu pemukim pertama di kota Sarajevo di sekitar lokasi masjid ini berdiri. Isa-bey kemudian juga membangun hammam (kolam pemandian umum khas Turki) serta sebuah jembatan yang menhubungkan langsung ke Masjid. Jembatan tua tersebut kemudian dibongkar semasa Bosnia menjadi bagian dari pemerintahan Austro-Hungarian dan kemudian dibangun kembali bergeser sedikit ke arah hulu sungai di lokasinya saat ini. di sisi lain sungai tersebut, Isa Bey juga membangun caravanserai.

Exterior The Empero'r Mosque Sarajevo

Untuk mendanai semua fasilitas tersbut Isa Bey rela melepaskan aset asset milik-nya berupa beberapa toko, lahan tanah dan property miliknya. Di sekitar masjid ini juga menjadi lahan pemakaman bagi para petinggi kesultanan termasuk para Wazir (vizer), Mulah, Mufti, Sheikh serta para pegawai kesultanan bersama dengan para mendiang tokoh tokoh penting dan publik figur kota Sarajevo.

Obyek Wisata

Masjid ini terbuka bagi kunjungan semua kalangan termasuk non muslim. Khusus untuk pengunjung non muslim disarankan untuk berkunjung sore hari bakda asyar sekitar pukul 5.00 petang. Layaknya berkunjung ke masjid, para pengunjung diminta untuk berpakaian sopan, dan bagi wanita diminta untuk menutup aurat termasuk menggunakan kerudung. Petugas masjid akan dengan senang hati menemani pengunjung yang datang ke masjid ini.***



Rabu, 12 September 2012

Masjid Hastana Keraton Kartasura

Masjid Hastana Karaton Kartasura, dibangun oleh Pakubuwono X, di lokasi petilasan bekas Keraton Mataram Kartasura. Keratonnya sendiri kini sudah tak berbekas, hanya tersisa tembok benteng yang mengelilingi kawasan ini dan dijadikan sebagai Benda Cagar Budaya.

Di Kartasura pernah berdiri keraton kesultanan Mataram lengkap dengan berbagai fasilitas pendukungnya termasuk sebuah bangunan masjid milik keraton yang diberi nama Masjid Hastana Karaton Kartasura. Komplek Karaton Kartasura Hadiningrat ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Mataram Pakubuwono X yang memindahkan pusat pemerintahan kesultanan Mataram dari Plered, Kotagede, Yogyakarta ke Keraton baru di Kartasura. Keseluruhan komplek keraton tersebut dikelilingi oleh benteng tebal dua lapis.

Bangunan Keraton Kartasura nya sendiri kini sudah tak bersisa, di bekas terataknya kini dibangun sebuah prasasti peringatan mengenang bahwa ditempat tersebut pernah berdiri sebuah keraton kerajaan Mataram. Kebesaran komplek keraton ini kini berubah menjadi komplek pemakaman keluarga keraton Kasunanan Surakarta. Namun bangunan masjid yang dibangun oleh Paku Buwono X masih kokoh berdiri hingga hari ini dan masih berfungsi dengan baik melayani masyarakat muslim di sekitar lokasinya berdiri.

Lokasi dan Alamat Masjid Hastana Karaton Kartasura

            Masjid Hastana Karaton Kartasura
Desa Siti Hinggil, Kelurahan Kartasura, Kecamatan Kartasura
Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah


Peninggalan PB X yang Menyejukkan Jiwa

Masjid Hastana Karaton Kartasura berada di dalam benteng Keraton Kartasura Hadiningrat di desa Sitihinggil, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, propinsi Jawa Tengah. Nama masjid ini terukir indah di gerbang masjid yang sangat khas. Bangunan masjid ini menjadi satu satunya bangunan yang masih utuh dari keseluruhan bekas komplek keraton Mataram Kartasura Hadiningrat.

Pembangunan masjid yang kini berdiri justru dilakukan setelah komplek keraton ini tidak lagi berfungsi sebagai keraton Kesultanan Mataram, bahkan jauh setelah seluruh aktivitas pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Surakarta. Masjid yang dibangun pada tahun 1826 oleh Pakubiwono X ini ini sampai sekarang masih dipergunakan oleh umat muslim di sekitarnya dan dipercaya dapat memberikan kesejukan dan ketenangan jiwa setelah shalat di sini.

Gerbang Masjid Hastana ini bersebelahan dengan gerbang Hastana Karaton Kartasura.

Arsitektural Masjid Hastana Karaton Kartasura

Sejak pertama kal dibangun pada tahun 1826. Sebagian besar bangunan masjid masih asli dari pertama kali dibangun, seperti pintu, jendela, tiang penyangga, mimbar dan juga bedug masih asli. Hanya bagian teras dan beberapa peralatan elektronik yang beberapa kali dilakukan penggantian dengan yang baru. Pihak takmir masjid maupun warga sekitar mengaku tidak berani merubah ataupun merenovasi bangunan utama karena dilarang oleh pihak Keraton Surakarta. Namun demikian takmir masjid telah menambahkan bangunan serambi untuk menampung jamaah yang semakin banyak.

Di  atas pintu masuk dan jendela masih nampak ciri khas keraton surakarta dengan ukiran kayu berwarna biru dan merah dengan ornamen bunga kantil. Di tengah ukiran terdapat lambang mahkota yang bertuliskan aksara jawa yang bisa diartikan angka 1826. Sedangkan di sisi kanan bangunan masih terdapat sebuah bedug dan kentongan yang masih asli sejak ratusan tahun meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini tidak pernah lagi dipakai.

Seperti Masjid Tradisional Jawa Lainnya Masjid Hastana juga beratap joglo dengan empat sokoguru di tengah masjid.

Meskipun sebagian besar bangunan sudah berumur ratusan tahun, namun masjid ini masih berdiri kokoh dan masih digunakan warga sekitar untuk keperluan beribadah. Seperti pada bulan puasa seperti ini, pihak takmir masjid mengaku saat shalat tarawih selalu dipenuhi jamaah. Namun pada siang hari tidak banyak yang melakukan shalat di masjid ini. Karena banyaknya jamaah yang ingin beribadah di masjid ini, pihak takmir masjid memasang beberapa peralatan elektronik tambahan seperti perangkat penyejuk ruangan.

Sejarah Masjid Hastana Karaton Kartasura

Keraton Kartasura didirikan oleh Sunan Amangkurat II pada September 1680. Sunan Amangkurat II adalah raja pengganti Sunan Amangkurat I, Raja Mataram di Keraton Plered, Kotagede, Yogyakarta yang melarikan diri dan meninggal di Tegal ketika terjadi serangan Trunajaya dari Sampang - Madura pada tahun 1677. Setelah Sunan Amangkurat II menjabat sebagai raja, beliau tidak mau menempati kraton di Plered karena menurut kepercayaan Jawa, Kerajaan yang sudah diduduki musuh berarti telah ternoda.

Benteng Kraton Kartosuro ini kini menjadi benda cagar budaya meski nyaris tak terlihat bekas perawatan dan perlindungan terhadap bangunan bersejarah ini. Di teratak keratonnya di bangun penanda berupa dua buah batu besar sebagai penanda ditempat tersebut pernah berdiri kraton Kartasura. sementara foto kiri bawah adalah prasasti peringatan lokasi ini dan foto kanan bawah adalah tembok benteng yang bobol saat terjadi peristiwa geger pecinan.

Sunan Amangkurat II kemudian memerintahkan kepada Senopati Urawan untuk membuat Keraton baru di kawasan Pajang. Perintah ini dituruti dan akhirnya Senopati Urawan dibantu Nerang Kusuma dan rakyat berhasil mendirikan Keraton di sebelah barat Pajang yakni Wonokerto. Amangkurat II beserta para pengikutnya lalu menempati Keraton Baru itu yang diberi nama Kraton kartasura Hadiningrat.

Buku Babad Tanah jawi menggambarkan komplek keraton ini sangat kokoh. Bentengnya saja dibuat dua lapis, yakni Baluwarti di bagian terluar dan Sri Manganti pada bagian dalam.Di sekeliling Benteng Baluwarti terdapat parit lebar berair dan tanaman semak berduri sebagai alat pertahanan.

Sunan Amangkurat II juga yang mengganti namanya dari Wonokerto menjadi Kartasura. Sekaligus memindahkan ibu kota Negara Mataram ke tempat ini. Lebih kurang 23 tahun lamanya Sunan Amangkurat II bertakhta di keraton ini. Se-peninggalnya, pemerintahan diteruskan putranya, Pangeran Adipati Anom (Amangkurat III).

foto atas adalah bagian dari tembok benteng yang sama sekali tak terlihat bekas perawatan ataupun usaha konservasi terhadap benteng bersejarah tersebut. kanan bawah adalah pendopo yang dibangun juga oleh Pakubuwono X bagi para peziarah yang datang ke lokasi benteng ini yang dijadikan komplek pemakaman keluarga kraton Surakarta.

Pada tahun 1741 terjadilah pemberontakan Cina yang berakibat fatal bagi Kartasura. Pemberontakan kali ini dipimpin oleh RM.Garendhi yang bergelar Sunan Kuning (Sunan Amangkurat III) sewaktu menjadi raja. Amangkurat III bernasib justru lebih tragis. Beliau hanya memerintah kurang lebih selama 2 tahun (1703–1705) karena terusir oleh pangeran Puger (adiknya sendiri) yang kemudian menjadi raja dan bergelar Sinuhun Pakubuwana I. Amangkurat III sampai kemudian ditangkap belanda dan dibuang ke Sri Lanka sampai wafat disana.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sinuhun Pakubuwana II (1726–1749), Keraton Kartasura dipindahkan ke Solo tepatnya pada tanggal 17 Februari 1745 Kraton baru di Solo itu diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat. Keraton Kartasura tak lagi ditempati dan kawasan istana tersebut dijadikan sebagai komplek pemakaman keluarga kerajaan. masyarakat umum menyebut kawasan bekas istana tersebut sebagai kawasan petilasan. Para peziarah silih berganti datang ke tempat ini untuk berziarah.

Pada jaman Keraton Kasunanan Surakarta dipimpin oleh raja Paku Buwono Sepuluh, dibagun sebuah masjid di petilasan Keraton Kartasura tersebut. Masjid yang diberi nama Hastana ini dibangun untuk keperluan beribadah warga Kartasura dan juga kerabat istana yang masih sering mengunjungi petilasan tersebut. Masjid yang dibangun pada tahun 1826 ini sampai sekarang masih dipergunakan oleh umat muslim di sekitarnya dan dipercaya dapat memberikan kesejukan dan ketenangan jiwa setelah shalat di sini.

Komplek Keraton Kartasura Saat ini

Salah satu sudut benteng Kraton Kartasura

Tak ada lagi bangunan istana megah di sana. Satu-satunya yang tersisa di lahan seluas 2 hektare di Kelurahan Kartasura, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu hanyalah Benteng Sri Manganti. Kendati relatif masih utuh, kondisi tembok batu bata setinggi 3 meter dengan tebal setengah meter itu memprihatinkan. Tanaman merambat dan lumut merayapi badannya. Beberapa bagian dinding bahkan ambrol termakan usia dan diterjang akar liar. Dulunya, Keraton Kartasura dibangun sangat megah.

benteng Baluwarti sudah hancur, hanya sekitar 100 meter yang masih berdiri, selebihnya telah menjelma jadi permukiman warga.Di dalam benteng Sri Manganti terdapat bangunan utama keraton, masjid agung, gedong obat tempat menyimpan mesiu, dan sejumlah bangunan pendukung lain. Di sisi utara benteng terdapat alun-alun dan taman kerajaan yang kini dikenal dengan nama Gunung Kunci.

Sejak wafatnya Pakubuwono X praktis tempat ini nyaris tak terawat lagi meski abdi dalem dari keraton Surakarta masih bertugas disini sebagai juru kunci namun karena terbatasnya pendanaan baik dari keraton maupun dari pemerintah Jawa Tengah membuat kawasan bekas keraton ini se akan akan meranan. Sejak 2005 pihak Keraton Surakarta tidak lagi mengizinkan ada aktivitas ziarah malam Jumat ke tempat ini.***

Senin, 10 September 2012

Masjid Ki Ageng Henis Laweyan – Surakarta (bagian 2)

Masjid Ki Ageng Henis Laweyan atau lebih dikenal dengan nama masjid Laweyan merupakan masjid tertua di Surakarta. pertama kali dibangun oleh Ki Ageng Henis, seorang ulama/imam di keraton kesultanan Pajang pada masa kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir 

Arsitektural Masjid Laweyan

Bentuk arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. Juga ada kentongan besar yang usianya ratusan tahun, tapi jarang dibunyikan, karena digantikan dengan bedug. Sisa bangunan yang usianya tua, adalah dua belas tiang utama masjid dari kayu jati. Terdapat tiga lorong jalur masuk di bagian depan masjid. Tiga lorong itu menandakan tiga jalan menuju kehidupan yang bijak yakni Islam, Iman dan Ihsan.

Wujud akulturasi budaya sangat terlihat pada arsitektur bangunannya beserta ornamen yang menghiasinya. Letak masjid berada di atas bahu jalan merupakan salah satu ciri dari pura Hindu. Pengaruh Hindu terlihat dari posisi masjid yang lebih tinggi dibandingkan bangunan di sekitarnya. Saat ini, sejumlah ornamen Hindu memang tak lagi menghiasi masjid. Tetapi, ornamen Hindu seperti hiasan ukiran batu masih menghiasi makam kuno yang ada di kompleks masjid.

Ekterior masjid Ki Ageng Henis atau Masjid Laweyan dari berbagai sumber ::: warisan budaya hindu terlihat dengan jelas diaplikasikan pada elevasi lantai masjid yang dibuat jauh lebih tinggi dari permukaan tanah disekitarnya, sementara peninggalan budaya hindu lainnya hanya dapat dinikmati di areal pemakaman kerajaan disebelah masjid ini.

Tata ruang Masjid Laweyan merupakan tipologi masjid Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yakni ruang induk (utama) seluas 162 meter persegi dan serambi yang dibagi menjadi serambi kanan dan serambi kiri. Pengaruh Kerajaan Surakarta terlihat dari berubahnya bentuk masjid menyerupai bangunan Jawa yang terdiri atas pendopo atau bangunan utama dan serambi. Ada dua serambi, yakni kanan dan kiri. Serambi kanan menjadi kempat khusus putri atau pewastren, sedangkan serambi kiri merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah.

Ciri arsitektur Jawa ditemukan pula pada bentuk atap masjid, dalam arsitektur Jawa, bentuk atap menggunakan tajuk atau bersusun. Atap Masjid Laweyan terdiri atas dua bagian yang bersusun. Dinding masjid Laweyan terbuat dari susunan batu bata dan semen. Penggunaan batu bata sebagai bahan dinding, baru digunakan masyarakat sekitar tahun 1800. Sebelum dibangun seperti sekarang, bahan-bahan bangunan masjid, sebagian menggunakan kayu. Bukti bahwa dinding awal Masjid Laweyan adalah kayu, ditunjukkan dengan adanya rumah pelindung makam kuno terbuat dari kayu. Cungkup (rumah) di makam kuno yang terbuat dari kayu semua membuktikan bahwa Masjid Laweyan semula berbahan kayu.

Interior masjid Ki Ageng Henis atau Masjid Laweyan ini sangat bernuansa Jawa. dengan empat sakaguru di bagian tengah, mihrab yang menjorok ke dalam buka ke bagian luar, mimbar ukir dari kayu, atap tinggi tanpa plafon dan tentu saja tak ketinggalan sebuah beduk ditambah dengan kentongan.

Di makam ini terdapat tumbuhan langka pohon nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari Batari Durga. Keberadaan makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Keraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Keraton Kartasura.

Kompleks Masjid Laweyan menjadi satu dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan Kasunanan Surakarta. Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat. Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu di antaranya adalah : Kyai Ageng Henis, Susuhunan Paku Buwono II yang memindahkan Keraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Keraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Keraton Kasunanan Surakarta dari serangan musuh.

Anggota TNI, POLRI, masyarakat dan pelajar membersihkan makam Ki Ageng Henis di kompleks MasjId Laweyan, Solo, Rabu (23/11/2011). Kegiatan Karya Bhakti TNI yang digelar rutin tersebut sekaligus menyambut ulang tahun Hari Juang Kartika yang jatuh pada tanggal 15 Desember. 

Lalu ada makam dari Permaisuri Paku Buwono V, Pangeran Widjil I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II & Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya Keraton dari Kartasura ke Surakarta, Nyai Ageng Pati, Nyai Pandanaran, Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX, Dalang Keraton Kasunanan Surakarta yang menurut legenda pernah diundang oleh Nyi Roro Kidul untuk mendalang di Laut Selatan dan Kyai Ageng Proboyekso, yang menurut legenda merupakan Jin Laut Utara yang bersama pasukan jin ikut membantu menjaga keamanan Kerajaan Kasunanan Surakarta.

Mata air Sunan Kalijaga

Salah satu peninggalan unik di Masjid Laweyan yang sering menjadi sasaran pengunjung adalah mata air sumur yang berada di sekitar kompleks masjid. Konon sumur tersebut muncul dari injakan kaki Sunan Kalijaga. Hingga saat ini airnya tidak pernah kering meskipun pada musim kemarau. Oleh sebab itu, banyak pengunjung yang memanfaatkan air tersebut untuk pengobatan.

Kompleks Masjid Laweyan menjadi satu dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan Kasunanan Surakarta. Gerbang ini khusus dibuat untuk Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat. 

Kepengurusan Masjid Laweyan

Meski Masjid Laweyan merupakan peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta, saat ini pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya keraton juga jarang digelar di Masjid Laweyan. Bila semasa pemerintahan Kesultanan Pajang, masjid ini menjadi pusat pembelajaran. Saat ini hanya menjadi tempat ibadah biasa, namun demikian pengunjung dan peneliti dari luar daerah tetap terus berdatangan.

Kembali ke Bagian 1

Masjid Ki Ageng Henis Laweyan – Surakarta (bagian 1)

Masjid Laweyan atau Masjid Ki Ageng Henis, dulunya merupakan sebuah pura miliki ke ageng Beluk , kemudian berubah fungsi menjadi masjid pertama di kawasan ini setelah Ki Ageng Beluk masuk Islam di masa ke emasan kesultanan Pajang dibawah pimpinan Sultan Hadiwijaya.

Berdiri di atas Bekas Pura

Akulturasi budaya budaya Islam dan Hindu merupakan fakta sejarah di Pulau Jawa, bukti multikulturalisme itu bisa dilihat pada Masjid Ki Ageng Henis atau lebih dikenal sebagai Masjid Laweyan. Di kota Solo, Jawa Tengah. Masjid Laweyan berada di Kampung Batik Laweyan Solo ini menjadi bukti sejarah akulturasi Budaya Islam-Hindu, masjid itu sebelumnya merupakan bangunan pura. Namun, saat ini bekas bangunan pura sulit ditemukan, karena Masjid Laweyan sudah mengalami pemugaran berulang kali. Masjid Laweyan merupakan masjid tertua di Solo. Pendiri masjid ini merupakan sosok cikal bakal penerus takhta di tiga kerajaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Nama masjid ini diambil dari nama pendirinya, Ki Ageng Henis yang merupakan penasihat spiritual kesultanan Pajang. Pada masa nya Masjid Ki Ageng Henis merupakan pusat pembelajaran agama Islam bagi Kesultanan Pajang. Meski masjid ini merupakan masjid bersejarah milik Keraton Kasunanan Surakarta, namun saat ini kepengurusan hingga pemanfaatan masjid ini lebih di dominasi oleh jemaah masjid. Ritual ritual keratonpun jarang diselenggarakan di masjid ini. mengingat sejarahnya sebagai Masjid pertama di wilayah Surakarta, tak salah bila disebut bahwa masjid ini merupakan pintu masuknya Islam ke Surakarta.

Lokasi dan Alamat Masjid Laweyan

Masjid Ki Ageng Henis
Jl. Liris No1. Pajang Laweyan, Kampung Batik Laweyan
Dusun Belukan RT 4 RW 4, Kelurahan Pajang
Kecamatan Laweyan, Surakarta
Jawa Tengah – Indonesia





Nama Kampung belukan itu sendiri berasal dari kata beluk yang berarti asap. Konon dengan banyaknya rakyat yang memeluk agama Islam berdirilah sebuah pesantren yang pengikutnya banyak, karena banyaknya santri yang menjadi pengikut, maka pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi dan selalu keluarlah asap dari dapur pesantren.

Kampung Batik Laweyang hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat kota Surakarta atau dari Jalan Slamet Riyadi. Lokasi yang mudah dijangkau dari arah manapun, menjadikan Kampung Laweyan mendapat tempat tersendiri dari para pengunjung. Sebutan Laweyan berasal dari kata "lawe", yang artinya benang dari pilinan kapas. Saat itu lawe banyak dihasilkan petani di daerah Pedan, Juwiring, dan Gawok. Daerah-daerah itu terletak di selatan Kerajaan Pajang.

Sebagai kawasan cagar budaya, dilokasi tersebut banyak ditemukan situs-situs bersejarah antara lain Masjid Laweyan, makan Laweyan, Langgar Merdeka, Langgar Makmoer, dan rumah H. Samanhudi (pendiri Serikat Dagang Islam). Kampung Laweyan didesain sedemikian rupa sebagai upaya untuk mempercantik kawasan dan nyaman bagi para pengunjung yang datang ke Kampung Laweyan.

Sejarah Masjid Laweyan

Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh  Ki Ageng Henis (kakek dari Pakubuwono II) yang bersahabat baik dengan Ki Beluk, seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu. Dari persahabatan itu, lambat laun Pemangku tersebut mulai tertarik mempelajari agama Islam yang ajarannya berasal dari Al Quran dan hadits. Ki Ageng Henis sendiri yang merupakan sahabat dari Sunan Kalijaga

foto ekterior dan interior masjid Laweyan atau Masjid Ki Ageng Henis, yang merupakan masjid pertama dan tertua di Surakarta sekaligus sebagai pintu masuknya Islam ke kota tersebut. 

Setelah itu, Sang Pemangku itu langsung tertarik belajar agama Islam dan mengikrarkan diri memeluk agama Islam mengikuti jejak Ki Ageng Henis. Bangunan pura yang sebelumnya menjadi tempat ibadah agama Hindu langsung diserahkan ke Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi bangunan langgar (mushola). Dalam perkembangannya, langgar itu kemudian berubah menjadi masjid.

Masjid Laweyan berdiri sejak tahun 1546, di masa Kerajaan Pajang jauh sebelum berdirinya Surakarta (1745M). Kerajaan tersebut merupakan cikal bakal kesultanan Mataram yang kemudian pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Ngayogyakarta. (sejarah singkat kesultanan Mataram dapat dibaca di posting Masjid Agung Mataram Kotagede).

Masjid Laweyan atau Masjid Ki Ageng Henis ::: Bangunan masjidnya bukanlah bangunan masjid mewah dan modern bukan pula masjid dengan ukuran besar. Masjid Laweyan memiliki sejarah yang tak ternilai harganya, peninggalan dari masa kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau biasa dikenal luas dengan nama Jaka Tingkir 

Ki Ageng Henis adalah Imam di keraton Kesultanan Pajang dimasa pemerintahan Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi raja-raja di kraton Kasunanan dan Mataram.

Kawasan Laweyan memang terkenal sebagai sentra batik sejak masa kesultanan Pajang. Ketika Sultan Hadiwijaya berkuasa beliau mengangkat Danang Sutawijaya sebagai Syahbandar. Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Sultan Hadiwijaya. Sungai Sungai Kabanaran yang hanya beberapa meter dari masjid ini, kala itu menjadi urat nadi perdagangan kesultanan Pajang. Dan Masjid Ki Ageng Henis ini merupakan masjid resmi kesultanan Pajang.

Bersambung ke bagian 2