Selasa, 27 Maret 2012

Masjid An-Nawier di Pekojan

Masjid An-Nawier salah satu masjid tertua di Jakarta yang berada di kawasan Pekojan.

Pekojan, tempat Masjid ini berada, bersama tetangganya Glodok merupakan kampung tua di Jakarta yang dibangun pada abad ke 18. Sampai tahun 1950-an keturunan Arab merupakan mayoritas penduduk Pekojan. Sebelum dihuni etnis Arab yang datang dari Hadramaut (propinsi di Republik Yaman), Pekojan lebih dulu bermukim orang Benggali dari India. Kata Pekojan sendiri berasal dari kata “Koja” sebutan untuk muslim India yang datang dari Bengali. 

Meskipun keturunan arab kini minoritas di Pekojan tapi sejumlah mushola dan masjid yang mereka dirikan ratusan tahun lalu masih terlihat di kampung ini. Salah satunya adalah Masjid Jami' Annawier yang dididirkan tahun 1760, atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Pekojan. Dibagian belakang masjid ini terdapat makam Syarifah Fatimah yang menyumbangkan lahan untuk membangun masjid tersebut dan makam tokoh tokoh Islam lainnya. Masjid ini pada abad ke 18 diperluas oleh Sayid Abdullah Bin Hussein Alaydrus seorang muslim tuan tanah kaya raya yang namanya di abadikan menjadi jalan Alaydrus di tempat ia tinggal di Batavia. 

Di masjid inilah tempat Habibb Usman Bin Yahya, mufti Islam di Batavia mengajar. Habib kelahiran Pekojan 1238H dikenal produktif menulis buku buku agama. Diantara 50 buku karangannya masih digunakan di pengajian pengajian. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Habib Ali Alhabsyi atau lebih dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang, yang kurang lebih seabad lalu mendirikan majelis taklim Kwitang.

Lokasi Masjid An-Nawier

Masjid Annawier
Jalan Pekojan Raya No. 71 Gg. II
Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora
Jakarta Barat 11240 - INDONESIA





Sejarah Masjid An-Nawier

Nama An-Nawier yang menjadi nama Masjid ini memiliki makna “cahaya, Bisa jadi para pendirinya dulu berharap agar masjid yang berada ditengah perkampungan Pekojan ini  diharapkan bisa memberi cahaya bagi umat Islam di tanah air. Masjid tua dan bersejarah ini kini masuk dalam daftar bangunan bersejarah yang dilindungi dengan pengesahan berupa SK. Mendikbud R.I. No. 0128/M/1988

Berdasarkan catatan sejarah yang ada di Masjid Jami’ Annawier, disebutkan bahwa Masjid Jami’ Annawier pertama kali berdiri tahun 1760M bertepatan dengan tahun 1180H berupa sebuah surau kecil yang diketuai oleh Daeng Usman Bin Rohaeli sampai tahun 1825M. Kemudian diteruskan oleh Komandan Dahlan tahun 1825-1860M. Daeng Ustman, adalah salah seorang pedagang yang menggunakan sungai Pekojan sebagai jalur transportasi dagangnya. Kemudian beliau berinisiatif mendirikan masjid, sehingga dibangunlah masjid ini.

Menara masjid Jami’ Annawier yang khas
mirip sebuah mercusuar.)
Salah satu sumber menyebutkan bahwa Komandan Dahlan adalah seorang utusan Kesultanan Banten yang membantu Fatahillah menyerang Belanda di daerah Sunda Kelapa. Dari kebiasaannya menggunakan ikat kepala dari kain tenun Banten yang disebut Koja lahir nama PeKOJAn. Hal tersebut sepertinya memang masih perlu digali lebih lanjut, mengingat Kesultanan Banten justru baru berdiri setelah Fatahillah memimpin pasukan gabungan dari Cirebon dan Demak berhasil menghancurkan Belanda di Sunda Kelapa atas perintah dari Raden Fatah (Sultan Demak) & Sunan Gunung Jati (Sultan Cirebon).

Makam Komandan Dahlan kini bisa dilihat di sebelah utara masjid yang dikelilingi batu pahatan besar. Di sekitar masjid pun ada beberapa makam-makam tua para ulama besar Kampung Pekojan. Konon Masjid Jami Pekojan ini dahulunya menjadi induk dari masjid-masjid sekitar Batavia.

Tahun 1897M Syarifah Kecil atau Syarifah Fatimah binti Husein Al Idrus mewakafkan tanah miliknya untuk keperluan pembangunan Masjid. Dan pada tahun 1926 masjid ini diperluas dan diperindah oleh Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus, beliau merupakan seorang muslim kaya raya yang namanya diabadikan menjadi nama Jalan Alaydrus di Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat. Semasa hidupnya ia ikut menyelundupkan senjata untuk para pejuang Aceh saat melawan Belanda.

Mimbar tua di masjid Jami’ Annawier, 
hadiah dari Sultan Pontianak
Pengurusan Masjid ini berlanjut oleh beliau hingga tahun 1943 bersama Syech Abdurrahman bin Muhammad Baktsir, Sayid Alwi Bin Abdullah Alaydrus, H. Abdul Mu’thi bin H. Musyaffa’, Sayid Hasym bin Abdullah Alaydrus, H. Muhammad Tosim, Sayid Muhammad bin Achmad Alaydrus.

Pada periode tahun 1945-1967 kepengurusan masjid dipegang oleh H. Saleh Bajere, A. Somad Bachtiar, Muhana Bin Idan, H. Usman (Banjar), H. Abdul Karim dan Sa’iyan. Periode tahun 1967-1974 dipegang oleh H. Roji’un, Abdurrahman AlJufrie dan Mahmud Samandi. Periode tahun 1974-2000 dipegang oleh Sayid Abdurrahman Bin Idrus Al-Jufrie dan H. Mahmud Samandi. Sedangkan kepengurusan sejak tahun 2001 hingga saat ini dipegang oleh H. Torik Saleh, Ahmad Hasan, Abdul Azi Ahmad dan H. Solihin.

Sumber lain menyebutkan bahwa pada saat terjadi perang Dipenogoro pada tahun 1825-1830, seorang ulama bernama Habib Ustman Bin Yahya, bersama KH Nawawi, memperbaiki dan memerluas masjid, dari 400 meter persegi, sampai 800 meter persegi. Selain membangun dan memperluas masjid, Usman dan Nawawi kemudian memperbaiki arah kiblat masjid ini yang terjadi sedikit menjadi menyerong bukanlah lurus seperti bentuk bangunan gedung masjid atau sejajar dengan pilar yang terdapat di dalam gedung.

Mesjid An Nawier ini merupakan salah satu masjid tempat mengajar Habib Usman Bin Yahya, pengarang sekitar 50 buku (kitab kuning) berbahasa Melayu Arab gundul. Ia pernah diangkat sebagai mufti Betawi pada 1862 (1279 H). Salah seorang muridnya adalah Habib Ali Alhabsji (meninggal 1968) yang mendirikan Majelis Taklim Kwitang serta Masjid Arriyadh di Kwitang.

Elaborasi Sejarah Masjid An-Nawier & PeKOJAn

Penyerangan Sunda Kelapa oleh Fatahillah berahir gemilang pada tanggal 22 Juni tahun 1527, sementara Komandan Dahlan meneruskan pembangunan masjid An-Nawier pada tahun 1825-1860, terpaut waktu setidaknya 298 tahun diantara kedua peristiwa tersebut. Pembangunan masjid An-Nawier sendiri baru dimulai tahun 1760 atau terpaut sekitar 233 tahun setelah kemenangan Fatahillah atas Sunda Kelapa. Sepertinya pendapat yang mengatakan bahwa Komandan Dahlan adalah seorang utusan Kesultanan banten yang membantu Fatahillah menyerang Belanda di Sunda Kelapa adalah sangat lemah.

Interior Masjid An-Nawier

Ditambah lagi fakta sejarah bahwa Fatahillah berhadapan dengan Portugis di Sunda Kelapa, bukan berhadapan dengan Belanda. Fatahillah wafat pada usia 99 tahun di sekitar tahun 1570, atau kira kira 43 tahun setelah kemenangannya di Sunda Kelapa dan mendirikan Jayakarta, beliau dimakamkan di Astana Gunung Jati bersebelahan dengan sahabat sekaligus mertuanya, Sunan Gunung Jati. Maknanya bahwa Fatahillah telah wafat sekitar 190 tahun sebelum Masjid An-Nawier mulai dibangun Daeng Usman Bin Rohaeli sampai tahun 1825M, baru kemudian pembangunannya diteruskan oleh Komandan Dahlan.

Dari rangkaian sejarah tersebut menunjukkan bahwa Komandan Dahlan bukanlah utusan Fatahillah. Bisa jadi beliau memang berasal dari Kesultanan Banten yang memang tidak pernah mengakui kekuasaan Belanda atas Jayakarta (Batavia). Sejarah juga mencatat bagaimana orang orang Islam Banten memberikan perlindungan kepada orang Tionghoa yang melarikan diri dari pembunuhan Massal oleh pasukan VOC Belanda tahun 1740 atas perintah Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741) sampai kemudian bersama sama mendirikan Masjid Jami Al-Anwar Angke di tahun 1761.

Hal menarik lainnya tentang sejarah Pekojan, Fatahillah dan Benten. Disebutkan bahwa nama Pekojan berasal dari kata KHOJA yang merupakan nama kain ikat kepada orang orang Banten. Sejarah tutur tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa kawasan tersebut di masa penjajahan Belanda memang banyak orang orang muslim Banten yang beraktivitas disana. Dan lebih menarik lagi bahwa Fatahillah dikenal dengan banyak nama salah satunya adalah Laksamana KHOJA Hasan.

Tahun pembangunan masjid ini tertulis dengan jelas di atas pintu masuk Masjid (foto atas), kubahnya berbentuk bundar (lihat foto segoro, serta bgaian terasju.

Nama beliau lainnya adalah Tubagus Pasai, Wong Agung Pasai, Fadhilah Khan, bahkan ada juga yang menyebut beliau sebagai Sunan Gunung Jati II karena memang pernah menggantikan sementara waktu kedudukan Sunan Gunung Jati Sebagai Sultan Cirebon, serta karena faktor kedekatan beliau secara pribadi dengan Sunan Gunung Jati. Saking dekatnya bahkan kadangkala terjadi salah kaprah dengan menyebut beliau sebagai tokoh yang sama dengan Sunan Gunung Jati, padahal diantara keduanya adalah dua tokoh yang berbeda. Tentunya menjadi menarik untuk merunut lebih jauh lagi.

Arsitektural Masjid An-Nawier

Masjid An-Nawier mempunyai arsitektur indah dan khas. Kekhasan terlihat dari perpaduan gaya Timur Tengah, Cina, Eropa, dan Jawa. Tidak terdapatnya kubah merupakan bentuk pengaruh masjid di Timur Tengah, tepatnya Hadramaut (Yaman Selatan). Kita dapat menyaksikan ornamen khas Cina menempel di pintu-pintu masjid dan bentuk konstruksi daun jendela beraksen Jawa. Sangat menarik karena pembangunan masjid ini melibatkan kontraktor China dan Moor di Batavia.

Memasuki ruang utama, terlihat jelas pada tiang penyangga berbentuk silinder bercat putih khas Eropa. Dalam ruang utama berbentuk huruf L tersebut berdiri kokoh 33 pilar besar. Jumlah pilar sesuai jumlah dzikir yang biasa dibaca umat Islam setelah selesai shalat. Sebelum diperluas, masjid di pinggir kali Angke itu hanya memiliki 11 tiang. Jika dilihat dari dalam, masjid tua di perkampungan padat penduduk tersebut berbentuk huruf L. Yang diperluas itu bagian belakang dan samping untuk disesuaikan dengan bentuk tanah.

Pilar pilar besar di dalam masjid An-Nawier

Bagian depan ruang utama terdapat dua mimbar tempat berkotbah. Salah satunya hadiah dari Sultan Pontianak pada abad 18 Masehi. Di dinding dekat mimbar terdapat tulisan Arab dengan arti: “Inilah mimbar tempat menyampaikan penerangan-penerangan agama dan nasihat yang benar”.

Luas bangunannya sekitar 1.983 meter persegi berdiri di atas areal tanah seluas 2.520 m2, dan dapat menampung sekitar 2.000 jamaah. Hingga saat ini, Masjid An-Nawier merupakan masjid terbesar di Jakarta Barat. Karena terkenal paling besar dan tua di daerah Pekojan, maka masjid ini juga dikenal dengan sebutan Masjid Pekojan. Masjid mempunyai menara mirip mercusuar dengan tinggi 17 meter, berdiri kokoh di bagian luar. Konon, pada masa perjuangan kemerdekaan, menara ini sering dijadikan tempat bersembunyi para pejuang dari kejaran tentara penjajah.

Secara umum, hampir semua bangunan masjid mempunyai jumlah sesuai perhitungan dalam ibadah umat Islam. Misalnya, tiang di ruang serambi masjid berjumlah 17, melambangkan jumlah rakaat dalam shalat. Lima pintu dari arah barat ke timur melambangkan rukun Islam, sedangkan enam jendela pada bagian selatan melambangkan rukun Iman. Secara keseluruhan, masjid ini ditopang oleh 99 pilar, melambangkan jumlah asmaul husna (nama-nama baik) kepunyaan Allah SWT.***

1 komentar:

Dilarang berkomentar berbau SARA