Kamis, 12 Januari 2012

Masjid Shirothal Mustaqim, Masjid Tertua di Samarinda - Kaltim

Masjid Shirothal Mustaqim, Masjid Tertua di Samarinda - Kaltim

Kota Samarinda ibukota propinsi Kalimantan Timur, salah satu kota kaya minyak bumi dengan kemajuan yang cukup pesat. Di kota ini berdiri megah Stadion Utama Palaran yang hingga kini masih tercatat sebagai stadion sepakbola termewah di tanah air. Kota ini juga memiliki Islamic Center Samarinda yang menjadi salah satu Islamic Center termegah dan terbesar di kawasan Asia Tenggara.
 
Kota Samarinda dibelah oleh sungai Mahakam yang merupakan sungai terbesar di propinsi Kalimantan Timur. Dulunya kota Samarinda hanya terdiri dari 3 kecamatan yang namanya disandarkan pada letak kecamatan kecamatan tersebut terhadap sungai Mahakam, masing masing  adalah Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang. Saat ini kedua sisi kota Samarinda dihubungkan dengan dua jembatan yang sudah berfungsi yaitu Jembatan Mahakam (Mahkota I) dan Jembatan Mahakam Ulu, ditambah satu lagi jembatan yang sedang dalam proyek pengerjaan adalah jembatan Mahkota II yang nantinya akan menghubungkan kecamatan Sambutan dan Palaran.

Masjid Shirothal Mustaqim

Di Samarinda Seberang ada sebuah kampung yang bernama “Kampung Mesjid”. Kata “Mesjid” pada nama kampung ini memang merujuk pada sebuah masjid yang sudah berdiri ditengah kampung tersebut sejak abad ke 19. Masjid tersebut merupakan masjid tertua di kota Samarinda dibangun pada tahun 1881 dengan nama Masjid Jami’ dan sejak tahun 1960 namanya berganti menjadi Masjid Shirothal Mustaqim.
 
Lokasi Masjid Shirothal Mustaqim - Samarinda
 
Masjid Shirotal Mustaqim terletak di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, propinsi Kalimantan Timur. Untuk mencapainya dari pusat kota Samarinda, harus menyeberangi sungai Mahakam melalui Jembatan Mahakam.


Sejarah Masjid Shirothal Mustaqim Samarinda

Kota Samarinda dipercayai didirikan oleh orang Bugis dari Kerajaan Gowa setelah Kerajaan Gowa dikalahkan oleh Belanda sekitar abad 16. Sebagian pejuang Bugis yang menentang Belanda memilih untuk berhijrah ke daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Kutai kala itu. Kedatangan mereka ini disambut baik oleh Raja Kutai yang ditunjukkan dengan pemberian lokasi pemukiman di sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan.

Dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh. Orang-orang Bugis Wajo mulai menetap di lokasi tersebut pada bulan Januari 1668. Lama kelamaan kawasan ini berkembang dan dikenal dengan sebutan Samarinda, yang berasal dari kata “sama rendah” yang dimaksudkan untuk menunjukkan persamaan hak dan kedudukan masyarakatnya.

Sekitar tahun 1880, datang seorang pedagang muslim dari Pontianak, Kalimantan Barat bernama Said Abdurachman bin Assegaf ke Kerajaan Kutai untuk berdagang sembari menyiarkan Agama Islam, ia memilih kawasan Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya. Hal itu ditanggapi dengan baik oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman. Melihat ketekunan dan ketaatan Said Abdurachman dalam menjalaankan syariat agama Islam, sultan mengizinkan Said Abdurachman tinggal di kawasan Samarinda Seberang dan memberinya gelar sebagai Pengeran Bendahara. 

Masjid Shirothal Mustaqim

Sebagai tokoh masyarakat, Said Abdurachman mengemban tugas dan tanggungjawab yang besar. Berawal dari keprihatianannya terhadap kondisi masyarakat kala itu yang masih suka berjudi (disiang hari judi sabung ayam, malam hari judi dadu) dan memyembah berhala, beliau tergerak hati untuk membangun sebuah masjid yang lokasinya di pusat kegiatan tersebut dengan harapan dapat menghentikan kegiatan maksiat dan sesat tersebut.
 
Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 1881M dengan pemancangan 4 tiang utama (soko guru). Ke em[at soko guru tersebut merupakan sumbangan dari tokoh adat kala itu, 1 tiang utama dari Kapitan Jaya didatangkan dari loa Haur (Gunung Lipan), 1 tiang utama dari Pengeran Bendahara didatangkan dari Gunung Dondang, Samboja, 1 tiang utama dari Petta Loloncang di datangkan dari Gunung Salo Tireng (Sungai Tiram) dan 1 tiang utama lainnya dari didatangkan dari Suangai Karang. Pemancangan empat sokoguru ini memiliki cerita sendiri yang melegenda hingga kini ditengah masyarakat Samarinda.

Interior Masjid Shirothal Mustaqim.

Pembangunan masjid ini memakan waktu cukup lama untuk menyelesaikannya sampai sepuluh tahun. Pada tanggal 27 Rajab 1311 Hijriyah (1891M), pembangunan masjid akhirnya rampung dan diresmikan oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman yang sekaligus di daulat menjadi imam sholat untuk pertama kalinya yang diselenggarakan di Masjid Shirothal Mustaqim. 

Kawasan tempat masjid ini berada pun kemudian berubah total menjadi kawasan yang relijius bahkan kampung letak masjid ini berada kemudian dikenal dengan nama Kampung Mesjid, sedangkan ruas jalan di depan masjid ini dinamai dengan nama Jalan Pangeran Bendahara yang merupakan gelar dari Said Abdurachman bin Assegaf, sebagai bentuk penghargaan atas jasa jasanya.
 
Semaraknya syiar Islam di Masjid Shirothal Mustaqim ini telah menarik perhatian seorang Saudagar kaya Belanda yang bernama Henry Dasen untuk memeluk Islam pada tahun 1901. Setelah ber-Islam beliau turut menyumbangkan hartanya untuk masjid dengan mendanai pembangunan sebuah menara tempat muazin mengumandangkan azan di masjid ini. Menara ini juga masih berdiri kokoh hingga kini.
 
Interior Masjid Shirothal Mustaqim

Masjid ini kini menjadi salah satu tempat wisata religi pavorit di kota Samarinda. Ramai dikunjungi oleh berbagai kalangan. Bahkan menurut penuturan pengurus masjid Shirothal Mustaqim, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyempatkan diri singgah ke masjid ini untuk Salat Subuh bersama dengan warga Samarinda Seberang dalam sebuah lawatannya ke Samarinda.
 
Di bulan September 2003, Masjid Shirothal Mustaqim Samarinda ini meraih anugerah sebagai peserta terbaik ke-dua di Festival Masjid Masjid Bersejarah Se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Masjid Indonesia. Selain itu, Masjid Shirothal Mustaqim termasuk sebagai bangunan cagar budaya di kota Samarinda yang dilindungi UU No 5 tahun 1992.
 
Renovasi dan Perbaikan Masjid Shirothal Mustaqim
 
Masjid Shirothal Mustaqim pernah menjalani perbaikan perbaikan ringan dan penambahan fasilitas penunjang. Berturut pembangunan masjid dilakukan tahun 1970, 1989 dan terahir tahun 2001 oleh Wali Kota Samarinda Achmad Amins, tanpa merubah bentuk tapi menambah fasilitas prasarana masjid misalkan tempat wudhu, rumah kaum, perpustakaan, sekretariat Irma dan taman masjid.
 
Masjid Shirothal Mustaqim

Perubahan Nama Masjid Shirothal Mustaqim

 
Pada bulan Desember 2011, Ishak Ismail, Humas Masjid Sirathal Mustaqim mengungkapkan kepada publik bahwa hasil penelusuran yang dilakukan didapatkan bukti bahwa masjid Shirothal Mustaqim pada awalnya berdirinya hingga tahun 1960 bernama Masjid Jami. Nama Shirotal Mustaqim mulai disandang masjid ini sejak tahun 1960 setelah datangnya ulama dari Banjarmasin bernama KH Samuri Arsyad yang aktif mengajar di masjid ini. Perubahan nama masjid itu diawali beberapa musyawarah yang dilakukan KH Samsuri Arsyad bersama beberapa tokoh warga dan imam masjid. Setelah meminta petunjuk pada Allah SWT, akhirnya masjid itu berubah nama menjadi Masjid Shirothal Mustaqim hingga saat ini.
 
Legenda Sokoguru Masjid Shiratal Mustaqim
 
Sebagaimana di ungkapkan oleh Imam Masjid Shiratal Mustaqim, H Zainuddin Abdullah, Masjid Shiratal Mustaqim dibangun dengan cara bergotong royong, namun pada saat itu warga yang bergotong royong menghadapi masalah pada saat akan mendirikan empat tiang utama bangunan masjid. Ukuran tiang yang cukup  besar sepanjang ± 7 meter dari kayu ulin sangat sulit untuk didirikan sampai kemudian warga menyerah untuk mendirikan empat tiang besar tersebut.
 
Masjid Shirothal Mustaqim

Hingga akhirnya datang seorang nenek dengan menggunakan jubah putih ke hadapan mereka. Siapa dia tak ada yang tahu. Namun ia berpesan kepada Pengeran Bendahara dan sejumlah pengikutnya. Disebutkan, ia akan membantu mendirikan 4 tiang utama tersebut dengan syarat tak ada satu wargapun yang melihat prosesi pendiriannya. Keesokan harinya, sejumlah warga tertegun melihat 4 tiang utama sudah berdiri tegak. Bahkan saat warga mencoba mencari sosok seorang nenek tersebut, mereka tak kunjung menemukannya. Sehingga warga tak ada yang tahu pasti siapa dia.
 
Arsitektural Masjid Shiratal Mustaqim
 
Masjid Shirothal Mustaqim
Tempo dulu
Areal Masjid Shiratal Mustaqim seluas 2.028 M2 dengan luas bangunannya 718.32m2 terdiri dari ruang utama 418,18 M2, Ruang serambi depan 125,56 M2, dan Ruang serambi kanan kiri 174,58 M2. Dibangun menggunakan bahan kayu Ulin, membuatnya begitu antik. Kayu ulin memang kayu dengan kualitas terbaik selain keras, kuat dan anti rayap kayu ini juga sangat tahan terhadap cuaca. Wajar bila bangunan masjid ini masih berdiri kokoh hingga kini meski sudah berumur 120 tahun lebih.
 
Masjid Shirothal Mustaqim dibangun dalam arsitektural khas Indonesia, berdenah segi empat, dengan atap limas bersusun di topang empat sokoguru masing masing berdiameter lebih kurang 60cm di tengah ruang masjid. Pembeda utama masjid Shirothal Mustaqim dengan masjid masjid tua Indonesia lainnya adalah susunan atapnya yang terdiri dari 4 susun. Kebanyakan masjid masjid tua di tanah air terdiri dari 3 susun saja.
 
Di tiap sisi bangunan utama dilengkapi dengan serambi dan disetiap sisi serambi di lengkapi dengan pagar (railing) yang juga dibuat dari kayu ulin. Mihrab masjid ini dibuat tersendiri dengan atap yang berbentuk sama dengan atap bangunan utama. Menara masjid yang dibangun 20 tahun setelah masjid berdiri memang memiliki sedikit perbedaan arsitektural dari bangunan utama masjid, meski dibangun dengan bahan kayu yang sama. Keseluruhan Jendela pada bangunan masjid ini berbentuk segi empat dengan dua daun jendela begitupula dengan pintu pintunya, namun pada bangunan menara tidak menggunakan bentuk segi empat tapi menggunakan pola lengkungan pada setiap bukaannya.
 
Masjid Shirothal Mustaqim

Menara masjid Shirothal Mustaqim setinggi 21 meter dengan empat lantai masing masing lantai dilengkapi dengan balkoni terbuka. Bentuk puncak atap menara ini yang sangat unik dan menarik karena sangat berbeda dengan bentuk puncak puncak menara masjid tua lainnya yang ada di Indonesia, ditambah lagi dengan bahan bangunanannya yang menggunakan kayu besi juga menjadikannya begitu istimewa.
 
Aktifitas Masjid Shiratal Mustaqiem
 
Dalam perkembangannya Masjid Shirothal Mustaqim pun dilengkapi dengan sarana pendidikan. Pada tahun 1956 didirikan Madrasah Dinul Islamiyah (MDI) lalu dilanjutkan dengan pembangunan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di tahun 1972 dan pembangunan perpustakaan masjid. Kegiatan keagamaan di masjid ini begitu semarak dari siang hingga malam hari mulai dari taklim ba’da maghrib hingga pengajaran baca Al Qur’an.
 
Hal unik lain yang bisa ditemui di Masjid yang sudah berumur lebih dari 127 tahun ini adalah pembuatan bubur pecak (bubur khas Bugis) yang terbuat dari rempah-rempah dan santan kelapa yang dihidangkan setiap bulan suci sebagai menu untuk berbuka puasa bagi para musafir dan masyarakat sekitar. Sedikitnya 250 porsi bubur disediakan setiap hari selama bulan Ramadhan. Adanya tradisi Bugis di masjid ini tentu saja tak lepas dari peran masyarakat keturunan Bugis yang memang telah menempati kawasan Samarinda Seberang sejak masa kesultanan Kutai sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini.***

5 komentar:

  1. kalau yang ini, jujur aja belum pernah kesana. Harus keseberang sih. Padahal merupakan wisata samarinda yang mesti diketahui nih.

    BalasHapus
  2. Mau tanya... silsilah keturunan dari ahmad sirajo

    BalasHapus
  3. Good blog! I really love how it is easy on my eyds it
    is. Im wondering how I mighut be notified whenever a new post has been made.
    I havee subscribed to your RSS feed which may do the trick?
    Have a valid day!

    BalasHapus

Dilarang berkomentar berbau SARA