Rabu, 22 Desember 2010

Masjid Agung Palembang (Bagian I)

Masjid Agung Palembang, didepannya adalah bundaran air mancur, titik nol kota Palembang

Masjid Agung Palembang ini dapat dijadikan contoh konservasi bangunan kuno peninggalan kejayaan masa lalu namun tetap mengakomodir kebutuhan ummat masa kini. Bangunan asli Masjid ini tetap dipertahankan dalam bentuk aslinya. Sementara kebutuhan ummat akan masjid yang lebih luas diakomodir dengan menambahkan bangunan baru bernuansa senada, namun lebih modern dan terhubung langsung dengan bangunan asli.
 
Usia nya yang sudah lebih dari dua abad justru menjadikan masjid ini begitu berkharisma dan dicintai. Berkunjung dan sholat di bagian asli Masjid Agung Palembang ini sedikit mengobati kerinduan akan kejayaan kesultanan Palembang di masa lalu. Masjid ini juga menjadi salah satu bangunan bersejarah yang tersisa dari penghancuran besar besaran peninggalan Sultan oleh pemerintah kolonial Belanda.
 
Bangunan asli Masjid Agung Palembang.

Lokasi Masjid Agung Palembang
 
Masjid Agung Palembang masuk dalam wilayah Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, Kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan. Tepat berada di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, gerbang utama Masjid Agung berhadapan langsung dengan Bundaran air mancur yang menjadi titik nol Kilometer Kota Palembang.
 
Dari arah Bandara (di bagian utara kota) menuju ke Jembatan Ampera anda harus berputar di bundaran air mancur ini ke arah Jalan Merdeka sebelum masuk ke halaman Masjid Agung dari Gerbang barat. Sementara dari arah selatan, anda dapat melihat keindahan bangunan masjid kebanggaan warga Palembang dan Sumatera Selatan ini dari atas Jembatan Ampera, jembatan yang diabadikan di lambang provinsi Sumatera Selatan sekaligus landmark Kota Palembang.
 
Letak Masjid yang berada di pusat kota ini sangat memudahkan untuk menemukan dan mencapainya, sekalipun bagi mereka yang pertama kali berkunjung ke ibukota Sriwijaya di masa lalu ini.
 
Masjid Agung Palembang
Jl Cik Agus Kiemas No 1 Palembang
Telp 0711-319767, 0711-350332, dan 0711-356233
Fax 0711-350332
 
 

Nama dan Status Masjid
 
Dibangun sebagai masjid kesultanan Palembang, masjid ini dikenal sebagai masjid Sultan Palembang. Dimasa penjajahan Belanda, pemerintah jajahan menyebut masjid ini sebagai De Grote Moskee atau Masjid Agung. Sebutan tersebut ditengarai sebagai bagian dari upaya Belanda memupus habis pengaruh Sultan.
 
Setelah perluasan besar besaran tahun 2003 Masjid ini diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai Masjid Nasional. Status Masjid Agung Palembang sendiri kemudian di alihkan ke Masjid Al Fathul Akbar di kawasan Jakabaring.
 
Ditahun 2019 nama “Masjid Agung Palembang” secara resmi berubah menjadi Masjid Agung Sultan Mahmud Badarrudin Jayo Wikramo. Nama tersebut merujuk kepada pendiri masjid ini yang juga dikenal sebagai Sultan Mahmud Badaruddin I.
 
Masjid Agung Palembang ditahun 1800-an. Sentuhan Eropa tampak pada bangunan beranda dan pilar pilar bundar berukuran besar.

Sejarah Masjid Agung Palembang
 
Masjid Agung Palembang didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo. Peletakan batu pertama pembangunan masjid dilakukan pada 1 Jumadil Akhir 1151 H (1738 M) berlokasi di belakang Benteng Kuto Besak, didalam komplek keraton Kesultanan Palembang Darussalam yang dikelilingi oleh Sungai Musi, Sungai Sekanak, Sungai Tengkuruk, dan Sungai Kapuran. Sungai Kapuran dan Sungai Tengkuruk kemudian di timbun oleh pemerintah Penjajahan Belanda.
 
Pembangunan Masjid ini selesai dan diresmikan pada tanggal 28 Jumadil awal 1161H atau 26 Mei 1748 M. Sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara, ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun berukuran 30 x 36 meter atau seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah, menjadikannya sebagai bangunan masjid terbesar di Nusantara pada saat itu.
 
Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) dibangun menara di sebelah barat, terpisah dari bangunan masjid. Bentuk menaranya seperti menara bangunan kelenteng dengan bentuk atap berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.
 
Begini bentuk Masjid Agung Palembang era 1990-an.

Tahun 1848 diadakan perbaikan Masjid Sultan dilakukan oleh pemerintah Penjajahan Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan hanya atapnya yang berganti atap sirap dan penambahan tinggi menara yang dilengkapi dengan beranda melingkar. Diadakan perubahan bentuk gerbang serambi masuk dari bentuk tradisional menjadi bentuk Dorik.
 
Pada tahun 1879 telah diadakan perubahan masjid, perluasan bentuk gerbang serambi masuk di bongkar ditambah serambi yang terbuka dengan tiang beton bulat sehingga bentuknya seperti Pendopo bergaya bangunan kolonial.
 
Renovasi dan Perluasan
 
Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab tahun 1897 dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
 
Perluasan kedua kali pada tahun 1930 dengan menambah jarak antara pilar dengan atap menjadi 4 meter. Perluasan ketiga dilakukan di masa kemerdekaan oleh Yayasan Masjid Agung di tahun 1952 dengan menambahkan bangunan berkubah yang tidak harmonis dengan bangunan asli.
 
Masjid Agung Palembang sebelum renovasi 2000-2003.

Di tahun 1966 -1969 Pengurus yayasan masjid agung meneruskan penambahan ruangan dengan menambah bangunan lantai dua. Pada tanggal 22 Januari 1970 dimulai Pembanguan menara baru bersegi 12 setinggi 45 meter, yang dibiayai oleh Pertamina Sumbagsel dan di resmikan pada Tanggal 1 Februari 1971.
 
Tahun 2000 Bangunan tambahan masjid ini di renovasi dan dan diperluas, Proses pembangunan selesai dan diresmikan oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri pada tanggal 16 Juni 2003. Bangunan masjid tambahan yang ukurannya berkali lipat dari bangunan asli yang kita lihat sekarang ini adalah bangunan yang diresmikan oleh Presiden Megawati tersebut.
 
Saksi Sejarah
 
Masjid Agung Palembang ini menjadi saksi bisu perjalanan panjang Kota Palembang sejak dari masa kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam, perjuangan melawan pasukan Inggris, menjadi saksi keberingasan penjajahan Belanda yang berusaha keras menghapuskan kharisma Sultan hingga melakukan penghancuran secara terstruktur dan sistematis bangunan bangunan peninggalan sultan termasuk menghancurkan keraton Kuto Besak, aset aset kesultanan hingga rumah rumah para bangsawan. Belanda bahkan merasa perlu membongkar bangunan peninggalan Sultan hingga mencabut pondasi bangunan bangunan tersebut, dalam upaya mereka melenyapkan pengaruh Sultan.
 
Perangko peringatan perang 5H5M Palembang, tahun emisi 1975.

Masjid ini juga telah melahirkan begitu banyak tokoh tokoh Tokoh-tokoh intelektual Islam nusantara antara lain Fakhruddin Al-Falimbani, Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani, dan Abdus Shomad Al-Falimbani yang ajarannya meluas hingga ke Thailand selatan, Kalimantan, dan Maluku Utara pada masa abad ke-18. Serta masih banyak lagi. 
 
Masjid Agung Palembang menjadi saksi perlawanan gigih rakyat Palembang dan Sumatera Selatan menentang penjajahan Belanda. Sebuah peristiwa bersejarah yang terkenal dengan perang lima hari lima malam di Kota Palembang berlokasi di depan masjid ini. Peristiwa tersebut kemudian di abadikan dalam perangko Republik Indonesia tahun 1975. Sedangkan lokasi pertempuran tersebut kini dibangun Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) Sumatera Selatan.
 
Pemerintah Penjajahan Belanda juga pernah menggunakan masjid Agung Palembang untuk upacara pelantikan Abdoel Malik sebagai Walinegara Sumatera Selatan pada tanggal 18 Desember 1948. Negara Sumatera Selatan adalah salah satu Negara boneka bentukan Belanda yang hanya bertahan selama 2 tahun dan dibubarkan pada tahun 1950, kemudian melebur kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Bersambung ke bagian II)

--------------------ooOOOoo-------------------

2 komentar:

Dilarang berkomentar berbau SARA