Sabtu, 24 Juni 2017

Mengenal Masjid Masjid Tua Jakarta (Bagian 5)

Enam Masjid Tua Jakarta di awal abad ke 20.

Artikel ini adalah bagian ke lima dan bagian ahir dari sequel masjid masjid tua di Jakarta. Pada bagian ini ada enam masjid yang kami ulas secara singkat. Masing masing masjid tersebut semuanya dibangun di paruh awal abad ke 20 menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Tak mengherankan bila sejarah enam masjid berikut ini berkaitan erat dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

(21). Masjid Baitul Mughni (1901) Jakarta Selatan

Sejarah Masjid Baitul Mughni dimulai sejak tahun 1901. Ketika itu Guru Mughni baru pulang dari tanah Suci, kembali ke Batavia. Ia membeli lahan dan langsung mendirikan sebuah masjid kecil berukuran 13 x 13 meter yang pada awal pendiriannya belum memilki nama. Bahan bangunannya terdiri dari batu bata pada bagian dindingnya, lantainya berubin warna merah dengan beratapkan genteng. Bentuk masjid itu adalah empat persegi dengan mihrab di depan sebagai tempat imam memimpin shalat. Meski demikian, jika dibandingkan dengan bangunan yang ada di wilayah lain saat itu, bangunan masjid ini tergolong bangunan mewah.

Masjid Baitul Mughni menara tingginya kini terselip diantara gedung gedung yang jauh lebih jangkung di sekelilingnya.

Dengan bertambahnya jumlah jamaah, ukuran Masjid Baitul Mughni pun diperluas, bagian belakangnya ditambah dengan bahan bangunan dari anyaman bambu. Bagian belakang ini dimanfaatkan sebagai tempat mengaji dan bermalam bagi murid-murid Guru Mughni yang datang dari tempat tempat yang jauh. Belum ada menara masjid pada waktu itu. Baru menjelang Guru Mughni wafat dibuat menara. Setelah itu menyusul renovasi demi renovasi berikutnya. satu-satunya peninggalan masjid lamanya tersisa pilar masjid bekas tiang penyangga masjid di sebelah dalam.

Sejak pertama pendiriannya, Masjid Baitul Mughni berfungsi tak hanya sebagai tempat ibadah namun juga sebagai tempat pendidikan dan penyebaran ilmu-ilmu agama, bahkan saat itu Masjid Baitul Mughni juga sebagai pusat informasi Ru’yatul Hilal (penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal) bagi masyarakat Jakarta Selatan. Ketika itu, masjid ini melahirkan seorang tokoh ahli ilmu falak yakni K.H. Abdullah Suhaimi, yang juga menantu Guru Mughni sendiri. Ketika itu bisa dibilang Masjid Baitul Mughni merupakan masjid rujukan bagi masjid-masjid kecil di sekitarnya. Seperti untuk menentukan waktunya azan, biasanya masjid-masjid lainnya berpatokan pada masjid ini. Mereka tidak akan azan sebelum mendengar suara azan dari Masjid Baitul Mughni ini.

Masjid Ar-Raudah di kawasan pekojan, mirip dengan rumah penduduk

(22). Masjid Ar-Raudhah Pekojan (1905) Jakarta Barat

Masjid Ar Raudah, Pekojan (1905) adalah salah satu masjid tua di Jakarta yang berada di Jalan Pekojan II, kelurahan Pekojan, kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Masjid ini dahulunya merupakan tempat berkumpulnya anggota Jamiatul Khair (Perkumpulan Kebaikan) yang dibentuk oleh Ali dan Idrus yang berasal dari keluarga Shahab di masa penjajahan Belanda.

Perkumpulan itu berperan dalam penyebaran agama Islam pada masa Hindia Belanda. Namun, Belanda mencurigai kumpulan tersebut. Jamiatul Khair tetap ingin diakui sebagai organisasi dan mengajukan permohonan pada 1903. Baru pada 1905 mereka resmi diakui sebagai organisasi oleh pemerintah kolonial Belanda.

Ide dasar dari perkumpulan Jamiatul Khair adalah untuk memunculkan ide para pemuda Islam untuk membentuk organisasi organisasi kebangsaan lainnya seperti Budi Utomo yang berdiri pada 1908. Sejarah perkumpulan Jamiatul Khair dan adanya sumber mata air di dalam masjid ini yang tak pernah kering makin menghiasi sejarah dari Masjid Ar Raudah di Pekojan II ini.

Masjid Keramat Kampung Bandan atau Masjid Al-Mukarromah

(23). Masjid Al-Mukarromah Kampung Bandan (1917) Jakarta Utara

Masjid Al-MukarromahKampung Bandan adalah salah satu masjid tua di Jakarta yang dibangun pada abad ke 18. Lokasinya kini berada di Jalan Lodan, Kampung Bandan, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Dalam bahasa Arab, nama masjid ini memiliki arti mulia atau yang dimuliakan. Pertama kali dibangun sebagai sebuah Mushola di dekat dua makam Ulama Besar Batavia oleh Sayid Abdul Rachman bin Alwi As Syatiri pada tahun 1879. Beliau wafat tahun 1908 dan putra beliau Sayid Alwi bin Abdul Rachman bin Alwi As-Syatiri yang kemudian membangun mushola tersebut sebagai sebuah masjid.

Sejarah Masjid Al-Mukarromah ini terbilang cukup unik. Habib Abdurrahman bin Alwi Asy-Syahtiri adalah seorang saudagar yang pada suatu kesempatan sekitar tahun 1874 berkunjung ke kediaman Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas di Empang, Bogor. Awalnya Habib Abdurrahman hanya berniat mengadu masalah usaha dagangnya. Tapi, lalu Habib Abdullah menyuruh beliau menelusuri 2 makam ulama besar di Batavia. Jika ditemukan, Habib Abdullah berpesan agar Habib Abdurrahman memelihara dan mendirikan tempat ibadah di dekat makam tersebut.

Dijelaskannya, kedua makam itu adalah para wali Allah. Semasa hidupnya, mereka berdakwah dan menyebarkan syiar Islam di tengah-tengah perkampungan para budak dari Banda yang terzalimi ulah jahat penjajah. "Keduanya terlibat dalam pemberontakan kepada VOC di tahun 1682”. Setelah melakukan penelusuran ditemukan dua makam berdampingan yang terletak di Kampung Bandan. Habib Abdullah pun membenarkan bahwa kedua makam itu merupakan dua ulama yang dicarinya. Habib Abdurrahman mengikuti amanat Habib Abdullah dengan membeli tanah tempat keberadaan makam tersebut, mendirikan tempat singgah dan salat untuk peziarah di tahun 1879, dan meneruskan ajaran agama Islam di sana.

Habib Abdurrahman wafat pada 1908, kepengurusan tempat ibadah yang awalnya hanya berbentuk mushola ini, diteruskan oleh putranya, Habib Alwi bin Abdurrahman Asy-Syahthiri. Mushola baru berkembang jadi masjid sejak tahun 1913 dan selesai tahun 1917. Masjid Al-Mukarromah terletak di atas tanah seluas 95 x 50 m, dibatasi pagar beton dengan jeruji besi dilengkapi dengan pintu gerbang yang terletak di sisi selatan. Bangunan utamanya berukuran 15 x 13 m, dengan dua buah pintu masuk. Di dalamnya terdapat tiang, makam, mihrab, dan mimbar. Bagian selatan, timur, dan barat terdapat serambi.

Masjid Hidayatullah Setiabudi, ditepian kali krukut yang airnya kita menghitam legam karena polusi

(24). Masjid Hidayatullah Setiabudi (1921) Jakarta Selatan

Masjid Hidayatullah Setiabudi ini merupakan salah satu masjid dengan sentuhan budaya Thionghoa di Indonesia. Pertama kali dibangun pada tahun 1747 di atas lahan wakaf dari pengusaha Batik bernama Mohamad Yusuf yang tinggal didaerah Karet, lahan seluas tiga ribu meter persegi untuk masjid tersebut beliau dapat dari seorang Belanda bernama Safir Hands.

Masjid Hidayatullah sudah tiga kali direnovasi, yaitu tahun 1921, 1948, dan 1996. Namun renovasi sama sekali tidak mengubah wajah asli masjid. Pada tahun 1991 pengusaha swasta dan pejabat pemerintah pernah akan menggusur peninggalan sejarah ini, sehingga menimbulkan bentrokan antara warga setempat dengan aparat. Pengurus masjid dibantu Museum Nasional DKI Jakarta berhasil mempertahankannya.

Masjid Hidayatullah menjadi saksi bisu perjuangan para pahlawan saat melawan penjajah. Dimasa penjajahan dulu sering dipakai sebagai tempat mengatur strategi. Dua menara menjulang tinggi di kanan dan kiri pintu masuk masjid dulunya juga dipakai untuk mengintai musuh. Melalui masjid inilah pengiriman senjata ke daerah Karawang dan Cikampek dilakukan.

Bukti lain keterlibatan Masjid Hidayatullah dalam perebutan kemerdekaan adalah ditangkapnya salah seorang pengurus masjid, yaitu H. Saidi yang sempat dibuang ke Digul, sebelum akhirnya dikembalikan ke lingkungan tersebut. Pahlawan Betawi ini meninggal tahun 1950-an dan di makamkan di sekitar masjid.

(25). Masjid Maulana Hasanudin Cikoko, Pancoran (1928-1933) Jakarta Selatan

Masjid Maulana Hasanudin didirikan oleh H Mursan bin Thaifin atau Kiai Kucang pada tahun 1928 dan baru dinyatakan selesai pada tahun 1933. Pada awalnya, pembangunan masjid ini mendapat tentangan dari sekelompok ulama lain, karena pembangunannya dianggap belum perlu mengingat di sekitar lokasi sudah ada  Masjid Jami’ Al Atiq, Kampung Melayu.

Namun Kiai Kucang dengan dibantu rekan-rekannya, tetap bersikeras mendirika masjid baru, mengingat jarak kampung cikoko dengan Masjid Jami’ Al Atiq terbilang cukup jauh. Pada masa itu mushala-mushala di Jakarta belum sebanyak saat ini, masyarakat Cikoko, kala itu harus jalan kaki menuju Masjid Jami’ Al Atiq dengan waktu tempuh yang cukup lama untuk menunaikan sholat berjamaah.

Pada saat didirikan, oleh penduduk diberi nama "At Taghwan." Baru pada tahun 1967, atas permintaan pemerintah daerah dilakukan perubahan nama menjadi Masjid Jami Maulana Hasanudin, mengambil nama sultan pertama Banten. Warga setuju karena memang Kiai Kucang masih murid dari Sultan Maulana Hasanudin. Masjid Maulana Hasanudin pada zamannya merupakan salah satu masjid yang penting. Konon, banyak jemaah haji di zaman Hindia Belanda selalu menyempatkan diri untuk singgah ke masjid ini seusai pulang dari tanah suci dengan kapal laut.

Menara Masjid Al-Riyadh Kwitang

(26). Masjid Jami’ Al-Riyadh Kwitang (1938) Jakarta Pusat

Masjid Jami’ Al-Riyadh Kwitang didirikan oleh Ali Al Habsyi Sekitar tahun 1356H/1938M. Di tempat inilah Habib Ali bersama murid-muridnya dan penduduk setempat mendirikan sebuah majelis taklim di rumah pribadinya. Tempat tersebut lantas ia beri nama Baitul Makmur. Beberapa tahun berjalan majelis itu dia beri nama Unwanul Falakh. Sekitar tahun 1950, majelis tersebut resmi diberinama Masjid Al-Riyadh. Namun masyarakat sekitar lebih mengenalnya dengan nama Masjid Kwitang. Sedangkan Ali Al Habsyi dikenal masyarakat sebagai Habib Ali Alhabsji seorang tokoh ulama Betawi yang begitu berpengaruh di zamannya.

Sampai tahun 1960-an, Habib Ali selalu mengajar di Masjid Al-Riyadh ini. Beiau kemudian membangun Islamic Centre Indonesia di kediamannya, kira-kira 300 meter dari masjid. Masjid Al-Riyadh pada tahun 1963 pernah diresmikan Bung Karno. Oleh proklamator kemerdekaan Indonesia ini, masjid itu diberi nama Baitul Ummah atau kekuatan umat. Tapi kemudian diganti lagi dengan nama semula.

Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, selain digunakan untuk syiar agama Islam, Masjid Al-Riyadh dipakai untuk tempat pertemuan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ini tidak mengagetkan karena Ali Al Hasyi adalah salah satu penasehat dan orang kepercayaan Presiden Soekarno. Beliau bagian dari tentara Hisbullah. Suara Jakarta, pelopornya Beliau. Tanpa persetujuannya rakyat sulit bergerak.***

Selesai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA