Sabtu, 25 Maret 2017

Islam di Burundi

Masjid Al-Markaz Burundi, berdiri megah di kawasan Nyakabiga, kota Bujumbura, Ibukota Negara Burundi.

Negara satu ini mungkin jarang terdengar di telinga orang Indonesia. Burundi adalah sebuah Negara kecil yang berada di tengah tengah daratan benua Afrika tanpa akses ke laut.  Negara ini berbatasan dengan Rwanda di utara, Tanzania di selatan dan timur, serta Republik Demokratik Kongo di barat. Meskipun negara ini tidak mempunyai batas laut, perbatasan di sebelah barat-nya hampir separuh berada di Danau Tanganyika yang menjulur dari utara ke selatan di perbatasan antara Burundi dengan Kongo, juga menjadi batas alami antara Tanzania dengan Konggo dan Malawi.

Burundi merupakan salah satu Negara termiskin di dunia dengan pendapatan perkapitanya sekitar 400 kali lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia. Kondisi geografisnya yang tanpa akses ke laut, penduduknya yang padat di wilayah yang sempit ditambah lagi dengan sumber alamnya yang terbatas, diperburuk dengan kondisi negaranya yang tak pernah sepi dari konflik yang berkepanjangan.  Burundi menjadi salah satu Negara di dunia yang paling banyak konflik terutama perseteruan antara Etnis Tutsi yang minoritas namun berkuasa di elit politik terhadap Etnis Hutu yang mayoritas dalam jumlah namun terpinggir.

Luas wilayahnya 27.834 km2, sedikit lebih kecil dibandingkan dengan luas provinsi Maluku Utara (31.982,5 km2) dengan perkiraan populasi 10.216.190 jiwa. Meski berada di wilayah Afrika Timur, posisinya di Benua Afrika membuatnya kerap dianggap sebagai bagian dari Afrika Tengah. Burundi merupakan sebuah kerajaan merdeka sejak abad ke-16. Hingga jatuhnya kerajaan pada tahun 1966. Pada tahun 1903, Burundi menjadi jajahan Jerman dan diserahkan kepada Belgia pada Perang Dunia II. Ia kemudian menjadi bagian dari mandat Liga Bangsa-Bangsa Belgia, Ruanda-Urundi pada tahun 1923, dan kemudian Wilayah Kepercayaan PBB di bawah otoritas Belgia setelah Perang Dunia II dan Merdeka dari kolonialisasi Belgia pada 1 Juli 1962.


Namun sejak kemerdekaannya hingga tahun pemilu pada tahun 1993, Burundi dikuasai serangkaian diktator militer, seluruhnya dari kelompok minoritas Tutsi. Periode tersebut dipenuhi kerusuhan etnis termasuk peristiwa peristiwa besar pada tahun 1964, 1972 dan akhir 1980-an. Pada tahun 1993, Burundi mengadakan pemilu demokratis pertamanya, yang dimenangi Front untuk Demokrasi di Burundi (FRODEBU) yang didominasi suku Hutu. Pemimpin FRODEBU Melchior Ndadaye menjadi presiden Burundi pertama yang berasal dari suku Hutu, namun beberapa bulan kemudian dia dibunuh sekelompok tentara suku Tutsi yang kemudian mengakibatkan pecahnya perang saudara antara kedua suku ini.

Perang saudara antar suku Hutu dan Tustsi terus berlanjut hingga tahun 1996, saat mantan presiden Pierre Buyoya mengambil alih kekuasaan dalam suatu kudeta. Antara tahun 1993 dan 1999, perang antar suku Tutsi dan Hutu telah merenggut 250.000 korban jiwa. Pada Agustus 2000, persetujuan damai ditandatangani dilanjutkan kemudian pada tahun 2003, gencatan senjata disetujui antara pemerintah Buyoya dan kelompok pemberontak Hutu terbesar, CNDD-FDD. Meski telah ada persetujuan damai, hingga kini konflik masih berlanjut. Dalam pemilu yang diadakan bulan Juli 2005, mantan pemberontak Hutu, CNDD-FDD berhasil memenangkan pemilu.

Islam di Burundi

Islam merupakan agama minoritas di Burundi.  Merujuk kepada data kementerian luar negeri Amerika Serikat tahun 2010, diperkirakan sekitar 2-5% penduduk Burundi beragama Islam. Menurut data pada Pew Research Center, pada 2009 jumlah Muslim di Burundi sekitar 180 ribu jiwa atau dua persen dari total populasi. Namun, berdasarkan data The World Factbook dalam situs CIA yang diperbarui setiap pekan, populasi Muslim di Burundi mencapai 10 persen dari total penduduk. Agama mayoritas di negara itu adalah Kristen yang mencapai  67 persen. Sisanya adalah agama pribumi, yang dipeluk oleh 23 persen penduduknya.

Muslim Burundi berasal dari suku dan bangsa yang beragam. Selain penduduk asli Burundi (Hutu dan Tutsi, konon telah berada di Burundi sejak abad 15), Muslim Burundi juga berasal dari Rwanda. Selain itu, ada pula Warabu (sebutan bagi pedagang Arab dan Oman yang telah tinggal di Burundi), serta Bahindi (orang-orang India dan Pakistan yang juga telah lama bermukim di Burundi).

Masjid dan Islamic Center Bujumbura

Selain mereka, orang-orang Afrika Barat juga memasuki Burundi dalam beberapa dekade terakhir. Mereka adalah para pedagang dari Mali, Senegal, dan Pantai Gading yang datang untuk mengimpor pakaian dan kain atau bertransaksi emas yang ditambang dari Kongo. Banyak dari mereka kemudian meninggalkan Burundi saat konflik pecah pada 1993. Sisanya tetap tinggal dan membuka toko-toko kecil di pasar pusat atau di Bwiza.

Satu hal yang menarik dari muslim pribumi Burundi, meskipun mereka berasal dari dua suku yang dalam sejarahnya tak pernah akur, namun setelah memeluk Islam mereka hidup bersaudara dan tak lagi terlibat dalam pertikaian antar etnis yang begitu keras sejak Negara tersebut merdeka. Muslim Burundi memainkan peran teramat penting dalam proses rekonsiliasi kedua belak pihak yang berteru di negara tersebut di era 1990-an.

Libur Nasional

Konstitusi Burundi menganut sistem Sekuler, namun demikian beberapa peringatan hari hari besar Islam ditetapkan sebagai hari libur Nasional, yakni perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sejak Idul Fitri 1426 H bertepatan dengan 2005, hari raya umat Islam itu untuk pertama kalinya ditetapkan sebagai hari libur nasional Burundi. Dan meskipun secara jumlah, muslim Burundi terbilang sedikit namun eksistensi mereka cukup terwakili hingga posisi pejabat senior di kancah politik dan kemasayarakatan, terutama sejak berahirnya perang Sipil disana tokoh tokoh Islam di Burundi memutuskan untuk terjun ke kancah politik.

Sejarah Islam di Burundi

Islam pertama kali masuk ke Burundi dari kawasan pantai Afrika Timur semasa perdagangan budak yang terjadi di awal abad ke 19. Perlawanan oleh kerajaan Burundi dipimpin oleh mwami (Raja) Mwezi IV Gisabo,  berhasil menangkal pendudukan kerajaan Burundi oleh bangsa Arab, namun demikian Bangsa Arab berhasil menguasai kawasan di Ujiji dan Uvira berdekatan dengan perbatasan Negara Burundi saat ini.

Masjid Bujumbura di selembar kartu pos

Islam mula-mula diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan Swahili yang tiba di Burundi sejak awal abad 19, melalui Samudera Hindia melewati Ujiji (sekarang wilayah di Tanzania) untuk mencari gading dan juga budak. Sekitar tahun 1850, mereka membuat koloni di Uvira. Ujiji dan Uvira kemudian menjadi titik pertemuan para kafilah dan para pedagang (orang-orang Arab dan Afrika). Dari sana, mereka lalu mulai bertukar produk atau barang dagangan dengan Nyanza dan Rumonge, dua kota tepi danau di Burundi.

Sedikit demi sedikit, Islam mulai masuk ke Burundi. Tahun 1885, gubernur Ujiji, Mohammed bin Khalfan memutuskan untuk memperluas kekuasaannya ke selatan dengan tujuan memperoleh lebih banyak gading dan budak belian. Bin Khalfan merupakan bagian dari Barwani, sebuah keluarga Oman yang masyhur dan telah bermukim di Afrika Timur.

Ia berkali-kali mengirim serangan ke wilayah tepian danau di Burundi. Namun pertahanan Raja Mwami Mwezi IV Gisabo Bikata-Bijoga (raja Burundi yang berkuasa pada 1852-1908) berhasil menahan serangan-serangan tersebut sehingga Bin Khalfan gagal menguasai Burundi.

Pada 1890, rombongan misionaris pertama tiba di daerah yang sekarang menjadi Kota Burundi. Di sana, mereka menemukan Wangwana, nama yang diberikan pada Muslim Afrika di Afrika Tengah. Dengan kata lain, Muslim telah tiba lebih dahulu daripada Kristen. Saat Perang Dunia I pecah pada 1914, mayoritas populasi Bujumbura merupakan pemeluk Islam.

Peta pembagian wilayah administrasi negara Burundi. Bujumbura selaku ibukota negara, terbagi menjadi dua wilayah yakni Bujumbura Mairie yang merupakan wilayah perkotaan dan Bujumbura Rural yang lebih sebagai daerah penyanggah ibukota. kedua wilayah ini berada di tepian danau Tangayika, berseberangan langsung dengan wilayah Republik Demokratik Kongo (d/h Zaire).

Selanjutnya, Islam di Bujumbura meningkat dengan kolonisasi yang dilakukan oleh Jerman yang sebagian tentara kolonialnya beragama Islam. Pada waktu yang sama, para pedagang India dan Arab berduyun-duyun memasuki Bujumbura demi meraup keuntungan berdagang yang lebih besar dari kota yang sedang berkembang tersebut.

Kala itu, Jerman memasukkan orang-orang Swahili dan Banyamwezi dalam satuan polisi dan administrasi, dan Kiswahili menjadi bahasa resmi Jerman Afrika Timur (nama untuk wilayah kolonial Jerman di Afrika Timur).

Pada masa kolonisasi Belgia yang dimulai pada 1919, penduduk Burundi mulai tinggal di Bujumbura. Namun hingga 1957, orang-orang Burundi tidak lebih dari 27 persen dari total penduduk Bujumbura. Selain mereka, terdapat lebih dari 80 suku yang berbicara dalam 34 bahasa berbeda. Saat itu, Muslim berjumlah 35,6 persen dari seluruh populasi yang beragam itu.

Pada saat ini komunitas muslim Burundi terpusat di kawasan perkotaan terutama di ibukota negara, Kota Bujumbura, khususnya di distrik Buyenzi dan Bwiza, Gitega, Rumonge, Nyanza, Muyinga dan Makamba. Di kota Bujumbura telah berdiri masjid utama Burundi dan Islamic Cultural Center yang dibangun pemerintah Libia di masa kepresidenan Bagaza (1976-1987). Sebagian besar muslim Burundi merupakan muslim Suni, hanya sebagian kecil saja yang menganut faham syi’ah.

Salah satu masjid di Bujumbura 

Muslim Burundi rata rata menggunakan bahasa Swahili dalam kehidupan sehari hari, yang merupakan salah satu bahasa Nasional Burundi, Jarang ditemukan Muslim Burundi yang tidak bisa berbicara bahasa ini, karena itu, istilah "Swahili" sering digunakan untuk menyebut Muslim di Burundi. Meskipun mereka juga menggunakan bahasa resmi nasional lainnya termasuk bahasa Kirundi yang merupakan bahasa resmi Burundi.

Berhaji

Di tengah berbagai keterbatasan itu, umat Islam Burundi masih berupaya untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Musim Haji 1432 H / 2012M, ada 44 Muslim dari Burundi yang berkesempatan menunaikan Ibadah Haji. Bandingkan dengan Jemaah haji Indonesia yang mencapai 220 ribu Jemaah. Para jamaah haji dari Burundi itu mengaku sangat bahagia bisa menunaikan rukun Islam yang kelima. Betapa tidak. Untuk bisa melakukan perjalanan yang menghabiskan biaya 2.950 dolar AS atau 26,5 juta itu mereka harus menunggu cukup lama.
  
Masalah Pendidikan

Sayangnya, kaum Muslim di Burundi tidak memiliki dukungan yang signifikan dari dunia Islam di bidang pendidikan. Karena itu, keberadaan sekolah Islam di sana teramat sedikit. Itupun dengan kondisi yang serba terbatas, seperti bangunan sekolah yang setengah jadi atau dibangun sekadarnya, serta jumlah buku ajar dan Alquran yang terbatas.

Di Burundi, doa dan bacaan shalat dilafalkan dalam bahasa Arab sebagaimana pembacaan Alquran, meski banyak pula Muslim yang membaca Alquran terjemahan dengan bahasa Kiswahili.  Pada akhir abad 20, Alquran juga diterjemahkan ke dalam bahasa Kirundi. Alquran berbahasa Kirundi itu juga dipublikasikan di Kenya atas dana dari Arab Saudi.

Tokoh Tokoh Muslim Burundi

Beberapa tokoh muslim Burundi yang menduduki posisi penting di negara tersebut diantaranya adalah (mendiang) Zedi Feruzi yang merupakan tokoh muslim sangat berpengaruh di Burundi, beliau merupakan pemimpin partai oposisi Burundi, Union for Peace and Development. Zedi Feruzi terbunuh bersama para pengawalnya oleh sekelompok bersenjata pada 23 Mei 2015. insiden tersebut mengakibatkan panasnya suhu politik di negara tersebut.

TOKOH MUSLIM BURUNDI : atas : (mendiang) Zedi Feruzi, Kanan bawah : Leontine Nzeyimana, dan Kiri bawah : (mendiang) Hafsa Mossi.

Insiden pembunuhan tersebut terjadi di tengah pergolakan politik yang dipicu oleh protes yang sedang berlangsung terhadap keputusan kontroversial Presiden Pierre Nkurunziza berupaya kembali berkuasa sebagai presiden untuk ketiga kalinya.

Nama (mendiang) Zedi Feruzi mencuat kepermukaan di kancah perpolitikan Burundi terutama setelah pemecatan tokoh Islam lainnya, Hussein Radjabu di tahun 2007, dari partai CNDD-FDD yang berkuasa dibawah presiden Nkurunziza dari suku Hutu. padahal Hussein Radjabu sendiri merupakan salah satu pendiri partai tersebut.

Sosok tokoh muslim Burundi lainnya adalah Sheikh Mohammed Rukara, anggota parlemen negara tersebut dari pemilu tahun 2011. Beliau merupakan seorang dosen Bahasa Swahili di Universitas Burundi, sosok yang begitu disegani, sekaligus juga tokoh sentral dalam penandatanganan perjanjian damai antara dua etnis bertikai dinegara itu. Perjanjian damai ditandatangani di Ibukota negara Tanzania pada tahun 2000 dan dikenal dengan Arusha Accords. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang mampu menyelesaikan berbagai sengketa kepemilikan tanah antara masyarakat dan pemerintah Burundi. Beliau juga dikenal dekat dengan Mufti Burundi, Abdallah Kajandi Sadiki.

Muslimah Burundi pun masuk ke kancah politik negara terebut, diantaranya adalah Hafsa Mossi, beliau pernah menduduki jabatan setingkat Menteri yang bertanggung jawab menangani hubungan Burundi dengan Komunitas Afrika Timur (East African Community – EAC). beliau sebelumnya merupakan seorang wartawati dan menduduki jabatan dikementrian tersebut selama tiga tahun, sejak tahun 2009 sekaligus memangku jabatan sebagai anggota legislatif di parlemen East African Community. Beliau juga wafat akibat ditembak oleh sekelompok orang tak dikenal pada tanggal 13 Juli 2016. 

Muslimah berikutnya adalah Leontine Nzeyimana, yang merupakan penerus dari Hafsa Mossi di Kementrian Urusan Komunitas Afrika Timur. Beliau dilahirkan di provinsi Makamba dan terpilih sebagai anggota parlemen mewakili daerahnya di tahun 2010, di usianya yang baru menginjak 30 tahun. Beliau merupakan satu dari begitu sedikitnya wanita di tataran Politik Burundi.***


1 komentar:

Dilarang berkomentar berbau SARA