Minggu, 27 November 2016

Masjid Al-Ijtihaj Lamakera, Pulau Solor

Masjid Al-Ijtihaj di Kampungnya para pemburu paus, Lamakera

Lamakera adalah sebuah desa di pantai ujung timur pulau Solor, Nusa Tenggara Timur. Secara administratif desa ini masuk ke dalam kecamatan Solor Timur, kabupaten Flores Timur, dan selama berabad abad terkenal sebagai desanya para pemburu ikan paus, sebuah propesi yang benar benar langka dan membutuhkan nyali besar untuk menjalaninya. Lamakera adalah satu dari dua desa di NTT yang penduduknya memiliki propesi tak biasa tersebut, desa lainnya adalah desa yang namanya nyaris sama, yakni Desa Lamalera di Kabupaten Lembata.

Sejak tahun 2015 Lamakera dikembangkan oleh Pemkab Flotim sebagai kawasan pariwisata bahari baru bagi para pecinta dunia laut. Di Lamakera dtemukan sejumlah jenis ikan langka yang hidup diperaian ini sejak berabad abad silam. Beberapa diantara hewan hewan laut itu kini bahkan nyaris punah, diantaranya dalah ikan paus, hiu, lumba lumba dan ikan pari manta atau dalam bahasa setempat disebut ikan Moku.

Lamakera merupakan sebuah perkampungan berbasis islam, letaknya yang berada di ujung timur pulau solor menjadikannya sebagai daerah yang cukup strategis karena menjadi tempat pertemuan arus dan mudah menjangkau laut sawu. Orang Lamakera merupakan nelayan ulung yang memulai tradisi perburuan paus biru dengan hanya bermodalkan “gala”(Tombak) dengan bertelanjang dada melesat diatas ganasnya samudera.

Laskar Lamakera nama gelar untuk para penangkap paus desa Lamakera seajak dahulu. Laskar lamakera inilah yang memulai tradisi perburuan paus yang kemudian ditiru desa serumpunnya Lamalera disebelah selatan pulau lomblen (Lembata) yang bermayoritas Katolik dan Kristen protestan. Hanya saja justru desa Lamalera yang di eskpose oleh media massa yang berakibat protes keras dari warga Lamakera.

Kampung yang indah menghadap ke laut lepas berlatar bukit menghijau

Dulunya, Desa Lamakera terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Motonwutun di sebelah timur dan Dusun Watobuku di sebelah barat. Seiring meningkatnya jumlah penduduk di kedua dusun tersebut, sekarang statusnya sudah meningkat menjadi desa, yaitu Desa Motonwutun dan Desa Watobuku. Meski sudah terbagi menjadi dua desa, tapi warga kedua desa tersebut tetap menyebut dirinya sebagai Warga Desa Lamakera.

Untuk mencapai Desa Lamakera, memang butuh sedikit perjuangan. Dari kota Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur dapat ditempuh dengan perahu (kapal motor) selama sekitar dua jam. Satu-satunya kapal motor yang menuju Lamakera adalah Kapal Motor (KM) Rahmat Solor yang dimiliki oleh Warga Lamakera. Setiap hari kapal ini berangkat dari Pelabuhan Larantuka jam 12.00 siang dan tiba di Desa Lamakera sekitar jam 14.00.

Opsi lainnya untuk menuju ke Lamakera, dari Larantuka Anda bisa naik perahu sampai ke Kota Waiwerang, Pulau Adonara kemudian lanjut naik perahu kecil hingga tiba di Lamakera. (edyra). Sampai saat ini tidak ada hotel ataupun penginapan di Desa Lamakera. Namun, pengunjung bisa menginap di rumah warga yang ramah dan terbuka terhadap para pengunjung desa mereka.

Sebagai sebuah desa dengan penduduk beragama Islam, di Lamakera berdiri sebuah masjid megah bergaya modern dengan nama Masjid Al-Ijtihaj. Sebuah bangunan megah dengan menaranya yang tinggi menjulang telah menjadi landmark Lamakera sejak masjid tersebut berdiri. Bagaimana tidak selain sebagai bangunan termegah di seantero desa, masjid ini juga merupakan bangunan tertinggi sekawasan.

Masjid AlIjtihad Lamakera
Desa Watobuku, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Indonesia
Koordinat : 8°26'4"S 123°9'49"E


Posisi Lamakera yang berada di bibir pantai dan lokasi masjid ini yang juga berada di tepi pantai membuat menara dan kubah besarnya sudah terlihat dari kejauhan, menjadi semacam mercusuar bagi para nelayan Lamakera yang sedang melaut. Dari bukit batu yang berada di sisi barat desa bangunan masjid ini terlihat tinggi menjulang diantara bangunan rumah rumah penduduk. 

Masjid Al-Ijtihaj Lamakera ini dibangun dengan dana swadaya masyarakat muslim setempat sejak tahun 2012, sebuah upaya dan semangat ke-Islaman yang luar biasa dari muslim setempat dengan segala keterpencilannya, mampu membangun sebuah masjid yang begitu megah, bahkan menara utama masjid ini memiliki ketinggian hingga 45 meter menjadi menara masjid tertinggi di kabupaten Flores Timur dan provinsi NTT.

Masjid Al-Ijtihat mempunyai tujuh pintu, dan masing masing pintu diberi nama sesuai nama tujuh suku yang ada di Lamakera, yaitu Lewoklodo, Ema Onang, Kiko Onang, Lamakera, Hari Onang, Lawerang, dan Kuku Onang. Masjid ini mempunyai lima menara dengan menara utama yang berada di depan masjid menjulang setinggi 45 meter.

Masya Allah Indahnya

Lamakera memiliki pesona alam yang menawan. Pengunjung yang datang kesana dapat memanjat ratusan anak tangga hingga ke puncak menara dengan meminta izin dari takmir masjid. Panorama yang terlihat dari puncak menara sangat menakjubkan. Seluruh Desa Lamakera bisa terlihat dengan jelas lengkap dengan bukit-bukit hijau di belakang desa dan Selat Solor yang berair biru di depannya. Pulau Adonara di seberang selat dan Pulau Lembata di sebelah timur juga terlihat jelas.

Desa Lamakera diapit dua buah tanjung. Di sebelah barat desa namanya Tanjung Watobuku dan di sebelah timur desa namanya Tanjung Motonwutun. Nama kedua tanjung ini kemudian dijadikan nama desa, setelah Desa Lamakera dipecah menjadi dua. Panorama di Tanjung Watobuku sangat cantik. Di tanjung ini terdapat sekumpulan batuan dengan bentuk yang unik. Batu ini dikeramatkan oleh Warga Lamakera.

Tak jauh dari Tanjung Watobuku juga terdapat sebuah pantai yang menarik, namanya Pantai Kebang. Di pantai ini terdapat sebuah batu karang yang menjorok ke laut, bentuknya mirip moncong/mulut buaya. Ada juga batuan berwarna merah di pinggir pantai yang semakin menambah keindahan pantai Di dekat Pantai Kebang juga terdapat padang savana dengan rumput hijau yang menghampar luas. Selain itu, kita juga bisa melihat Gunung Ile Bolang yang berdiri menjulang di Pulau Adonara.

Sejarah Masuknya Agama Islam di Lamakera

Lamakera dari bebukitan 

Kepercayaan nenek moyang masyarakat Lamakera sebelum kedatangan Islam adalah animisme. Seperti di kawasan Indonesia pada umumnya, awal masuknya Islam di Nusa Tenggara Timur melalui jalur perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang dan ulama. Pada abad XV, banyak para pedagang Islam dari berbagai wilayah di Nusantara, seperti para pedagang dari pulau Jawa, Sumatera dan Bugis Makasar yang melakukan perdagangan dan atau menyinggahi berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur sebagai tempat transit sebelum meneruskan pelayaran ke Maluku, Makasar ataupun ke bandar-bandar di pulau Jawa.

Karena faktor tersebut agama Islam paling awal masuk di wilayah Nusa Tenggara Timur adalah di sekitar bandar-bandar strategis yang banyak dikunjungi para pedagang Islam. Tempat-tempat tersebut antara lain : Pulau Solor, Pulau Ende, Pulau Alor, Kota Kupang, dan pesisir utara Sumba Barat. Pulau Solor merupakan tempat yang paling strategis bila ditinjau dari segi perdagangan karena berada pada posisi silang pelayaran dari bandar di pulau Jawa, Sumatera, Makasar ke Maluku atau sebaliknya, dari bandar-bandar di pulau Jawa, Sumatera, Makasar ke pulau Timor dan dari bandar di Makasar ke pantai utara Australia.

Di samping itu di Lamakera terdapat pelabuhan alam yang bagus dan aman sebagai tempat persinggahan kapal dalam rangka menunggu cuaca dan angin yang tepat untuk berlayar. Itulah sebabnya Lamakera yang terletak di ujung timur pulau Solor sebagai tempat yang paling banyak dikunjungi para pedagang dan pelaut Islam dan merupakan salah satu tempat di NTT yang paling awal menerima agama Islam.

Dari arah laut

Keberuntungan yang disebabkan oleh letak yang strategis dalam jalur perdagangan serta tersedianya pelabuhan alam yang aman telah menjadikan masyarakat Lamakera sebagai komunitas yang terbuka untuk menerima segala hal baru yang dibawa para pedagang yang hilir mudik tersebut.

Apalagi tradisi raja Lamakera pada saat itu, adalah mengundang dan menjamu setiap saudagar dari luar yang singgah untuk berdagang dan atau sekedar berteduh dari gangguan musim angin yang kencang. Keramahan tuan rumah seperti yang dicontohkan sang raja tersebut, merupakan kesempatan yang baik bagi para pedagang Islam, untuk lebih mudah memperkenalkan Islam kepada penguasa dan masyarakat Lamakera.

Sekitar abad ke XV, seorang pedagang dari Palembang bernama Syahbudin bin Ali bin Salman Al Farisyi atau yang kemudian dikenal juga dengan Sultan Menanga, merupakan salah seorang tokoh perintis penyebaran agama Islam. Tokoh ini oleh Raja Sangaji Dasi diberi izin menetap di wilayah perbatasan antara kerajaan Lamakera dan Lohayong. Di sana ia mendirikan perkampungan Islam yang diberi nama Menanga.

Melalui pendekatan kekeluargaan, tokoh ini berhasil menjadi menantu kerajaan dengan mengawini putri dari adik Raja Sangaji Dasi. Pada saat bersamaan, ia juga berhasil meng-Islam-kan Raja Sangaji Dasi. Dengan keberhasilan meng-Islam-kan tokoh kunci yakni raja dan keluarganya, maka semakin lancarlah upaya penyebaran agama Islam bagi pengikut dan rakyat di kerajaan tersebut.

Lamakera dengan menara masjidnya yang menjulang menjadi semacam mercusuar bagi para nelayannya

Kemudian pada tahun 1628, dibangunlah sebuah surau bagi pendukung pembinaan penyebaran agama Islam di Lamakera. Tokoh lain yang juga menjadi perintis penyebaran agama Islam di Pulau Solor adalah seorang ulama dari Ternate (Maluku) bernama Sutan Sahar dan istrinya yang bernama Syarifah al Mansyur.

Kecerdasan para pedagang dan ulama dalam menjelaskan ajaran Islam kepada penguasa dan masyarakat Lamakera, telah membuat Islam begitu mudah diterima dan dalam waktu yang tidak begitu lama penguasa dan masyarakat Lamakera yang sebelumnya merupakan penyembah Rera Wulan Tanah Ekang, menjadi penganut Islam yang taat.

Penyebaran Islam di Lamakera dapat berjalan dengan baik dan cepat diterima oleh masyarakat Lamakera karena Sultan Menanga berhasil meng-Islam-kan Raja Sangaji Dasi. Sepeninggal Sultan Mananga, maka untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim, penyebaran agama Islam selanjutnya dilaksanakan oleh raja dan dibantu oleh Sultan Syarif Sahar.

Walaupun raja mempunyai kekuasaan dan wewenang yang kuat untuk memerintahkan masyarakatnya, namun dalam hal penyebaran agama Islam tetap dilakukan baik, arif dan bijaksana dengan seruan-seruan yang baik tanpa kekerasan serta pemaksaan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Raja Sangaji Dasi yang pada saat itu berkuasa, adalah tokoh yang disegani, ditaati dan mempunyai kharisma serta pengaruh yang sangat luas hingga seluruh wilayah Solor Timur, namun masih ada masyarakat di daerah-daerah kekuasaannya tetap menyembah Rera Wulan Tanah Ekang dan baru memeluk ajaran Islam setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berkembangnya pendidikan agama Islam di Solor Timur. (Dirangkum dari berbagai sumber)***

Baca Juga



Sabtu, 26 November 2016

Masjid Pusaka Songak Suku Sasak

Masjid Al-Falah atau lebih dikenal sebagai masjid Pusaka di desa Songak

Masjid Pusaka Songak, adalah masjid tua suku sasak yang berada di Desa Songak, kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Masjid ini sebenarnya bernama Masjid Al-Falah namun lebih dikenal dengan nama Masjid Pusaka. Desa Songak secara tradisi turun temurun hingga kini merupakan masyarakat muslim yang menjunjung tinggi ajaran agama Islam dalam kehidupan mereka. Masjid merupakan salah satu elemen yang teramat penting dalam kehidupan masyarakat Songak yang menurut cerita turut merupakan keturunan dari Raja Selaparang dan Bayan.

Konon, masjid ini dibangun ditempat yang dulunya merupakan tempat bertemunya para wali yang dikemudian hari dibangun masjid sebagai penanda tempat tersebut. Menurut tradisi setempat, Masjid pusaka Songak dibangun sekitar tahun 1309 Miladiyah oleh sembilan orang tokoh yang dikenal dengan nama Ki Sanga Pati. Sebelum kedatangan sembilan orang tersebut, desa Songak telah lama menjadi kota hantu tak berpenghuni karena ditinggalkan seluruh penduduknya yang tidak betah lagi tinggal disana akibat di cap sebagai masyarakat Leak.


Sekitar tahun 1299 sembilan orang tokoh tersebut tiba di desa Songak yang sudah tak berpenghuni dan menetap disana. Mereka sengaja datang dan menetap ke desa Songak untuk menyepi dari keramaian. Setelah bertahun tahun tinggal disana baru kemudian masyarakat di luar wilayah desa itu mengetahui keberadaan mereka dan berangsur kembali tinggal di desa Songak. Nama Songak bagi nama desa ini, konon juga berasal dari kata Sanga pada nama Ki Sanga Pati yang membuka kembali desa itu dengan membawa ajaran Islam, setelah begitu lama ditinggalkan para penghuninya.

Tradisi Masjid Pusaka Songak

Masjid ini diyakini oleh Masyarakat Songak sebagai tempat penyimpanan semua kekayaan Datu Selaparang I. Masjid ini oleh Masyarakat Songak dahulu dijadikan sebagai ajang pertahanan dari serangan musuh perorangan maupun berkelompok. Pada jaman dahulu, mereka yang akan berangkat berperang akan berkumpul di masjid ini untuk berdoa bersama dipimpin oleh pemimpin mereka, setelah berdoa di masjid ini barulah mereka berangkat berperang. Tradisi tersebut disebut dengan tradisi Mangkat. Selain tradisi Mangkat, tradisi lainnya yang diselenggarakan di masjid ini adalah tradisi tahunan pengesahan minyak Ki Sanga Pati yang sekarang terkenal dengan Minyak Songak. Tradisi ini diselenggarakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sebagai bagian dari Ritual Mulut Adat atau peringatan Maulid Nabi Muhammad S.A.W.

Selain tradisi tradisi tersebut masih ada tradisi Ritual Bubur Putiq disetiap bulan Muharram (awal tahun Hijriah) pada tanggal 5 atau tanggal 10 atau paling lambat tanggal 15 Muharram setiap tahunnya. Kemudian disetiap bulan Safar diselenggarakan tradisi Ritual Bubur Beaq, yang kemudian dilanjutkan pada bulan berikutnya dengan penyelenggaraan ritual Mulut Adat seperti telah disebutkan sebelumnya. Hampir sepanjang tahun Masjid Pusaka Songak ini ramai dengan berbagai macam ritual tradisi kecuali tiga bulan yang disebut sebagai Bulan Suwung masjid ini sepi dari aktivitas selain aktivitas rutin sholat wajib lima waktu dan sholat Jum’at.

Masjid Pusaka Songak saat ini

Perkembangan Masjid Pusaka Songak

Masjid Pusaka Songak dibangun dengan atap daun alang alang dan masih dipertahankan hingga saat ini. sejak dibangun tahun 1308 Miladiyah masjid ini baru dilakukan perbaikan bagian atapnya pada tahun 1499 Miladiyah. Perbaikan berikutnya dilakukan tahun 1549 Miladiyah, kemudian secara rutin dilakukan perbaikan atap setiap kurun waktu 25 tahun. Tahun 1719 wilayah Songak yang merupakan bagian dari kerajaan Purwa Dadi, jatuh ke dalam kekuasaan Anak Agung dari kerajaan Karang Asem, Bali. Masjid Pusaka Songak sepi dari aktivitas ke-agamaan secara terang terangan, masayarakat setempat bahkan tak berani menyebutnya sebagai masjid melainkan tempat ibadah atau bahkan Bale Bleq (tempat pertemuan banjar). hal tersebut berlangsung hingga penghujung abad ke 18.

Setelah peralihan penguasa barulah masjid ini kembali semarak. Sekitar tahun 1897-1899 masjid ini mulai dilengkapi dengan Kolam di halaman masjid tua ini. Kolam sebelah kiri untuk jemaah perempuan dan kolam untuk jemaah laki laki di sebelah kanan. Pembangunan tersebut bersamaan dengan pembangunan jembatan penghubung antara desa Songak dengan Desa Rumbuk. Pada masa itu juga dilakukan renovasi terhadap bangunan masjid Pusaka Songak dengan mulai digunakannya bahan bangunan semen namun tetap mempertahankan bentuk dan ukuran aslinya.

Renovasi selanjutnya dilakukan sekitar tahun 1920, saat itu desa Songak kedatangan seorang guru agama dari Darmaji Lombok Tengah yang mulai mengajak muslim Songak kembali menjalankan syariat. Muslim setempat kembali ramai sholat berjamaah di masjid Pusaka Songak.  Di masa itu juga dilakukan penggantian dinding masjid dengan dengan cetakan bata mentah  yang berukuran besar beberapa bahkan hingga berukuran 60 x 80 cm. Pengerjaan tembok ini di motori oleh Jero Kertasih (Kepala desa Songak), Papuq Candra (Penghulu Desa Songak), Papuq Delah (Sesepuh Masyarakat Songak) bersama Tuan guru dari Lopan. Kepengurusan masjid ini selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada penghulu desa yaitu Papuq Candra  Yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan Papuq Pengulu sampai beliau wafat sekitar tahun 1980 dalam usia 160 tahun.

Perluasan Masjid Pusaka Songak

Di sekitar tahun 1962 di desa Songak dibangun Masjid baru yang lebih besar bernama Masjid AL-Mujahidin atas prakarsa H. Athar dan sejak tahun 1972 kegiatan peringatan hari besar Islam maupun sholat jum’at mulai dilaksanakan bergilir antara Masjid Pusaka Songak dengan masjid Al-Mujahidin. Di sepanjang tahun 1975 hingga tahun 1987 Masjid Pusaka Songak sempat mengalami perluasan ke tiga sisi bangunannya dengan ditambahkan bangunan tambahan hingga menutupi bangunan utama yang merupakan bangunan asli masjid tersebut. Penambahan bangunan disekeliling masjid asli ini seakan telah menutupi secara keseluruhan bangunan aslinya. Seluruh bangunan tambahan tersebut juga ditinggikan lantainya sama tinggi dengan bangunan asli.

Dikembalikan ke Bentuk Asli

Pada permulaan tahun 1999 masjid ini di kembalikan  seperti  bangunan semula, Dengan susah payah semua Masyarakat mengangkat kembali tanah urugan tahun 1987 secara bergotong royong menggali kembali timbunan tanah yang mengelilingi pondasi bangunan tua tersebut. Membangun kembali tembok bangunan asli yang sempat dirobohkan dan mengembalikan lagi bentuknya seperti semula. Barulah masjid tua berukuran 9 x 9 meter ini kembali kelihatan kokoh berdiri seprti yang kita saksikan sekarang ini.

Tahun 2005 halaman Masjid ini diperluas atas upaya dari Kepala desa Saifullah Aman sekaligus, bersamaan dengan diadakan nya peresmian keberadaan Makam sebengak yang diberi nama Makam Keramat Songak oleh Bupati Lombok timur pada Saat itu di pegang oleh Hajji Ali Bin Dahlan, yang terkenal dengan sebutan Ali Bd. Sedangkan perluasan halaman di sebelah selatan Masjid di  laksanakan  pada ahir tahun 2007, dan dilanjutkan  di bagian utara pada pertengahan tahun 2009.***

Baca Juga



Minggu, 20 November 2016

Masjid Agung Darussalam Taliwang

Megah dengan gemerlap lampu lampu yang menerangi bangunan masjid Agung Darussalam di KTC Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Masjid Agung Darussalam merupakah masjid agung kabupaten Sumbawa Barat, provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Lokasi nya berada di dalam kawasan komplek kantor pemerintahan terpadu kabupaten Sumbawa Barat yang diberi nama komplek KTC – Komutar Telu Center di Kecamatan Taliwang, sebuah komplek pusat pemerintahan kabupaten yang sangat impresif, bila dipandang dari ketinggian komplek pusat pemerintahan kabupaten Sumbawa Barat ini terlihat dengan jelas dibangun dengan denah persegi delapan sebagai salah satu simbol dunia Islam, menyiratkan kehidupan Islami dari masyarakat kabupaten Sumbawa Barat yang secara tradisi terbuka serta siap menerima masukan dari manapun bagi kemajuan kabupaten Sumbawa Barat.

Pembangunan masjid ini merupakan salah satu bangunan yang di dahulukan pembangunannya bersama dengan dua gedung penting lainnya, yakni, gedung Graha Fitra yang merupakan kantor Bupati Sumbawa Barat dan gedung Sekretariat pemerintahan daerah (Sekda) kabupaten, yang disebut sebagai bangunan tiga serangkai. Pemilihan nama Graha Fitrah bagi nama gedung tempat berkantornya Bupati, wakil Bupati dan perangkatnya ini sebagai upaya untuk senantiasa mengingatkan siapapun yang berkantor disana untuk senantiasa kembali kepada fitrah sebagai pengemban amanat rakyat yang harus dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

kubah hijau layaknya kubah masjid nabawi, Masjid Agung Darussalam hadir di komplek pusat pemerintahan kabupaten Sumbawa Barat.

Masjid Agung Darussalam Taliwang selesai dibangun pada bulan Juni 2010 dimasa pemerintahan bupati KH Zulkifli Muhadli, dengan menghabiskan dana sebesar Rp. 32 milyar Rupiah. Luas bangunan masjid ini 15.500 m2 sedangkan luas keseluruhannya dan 48.500 m2, dan berdaya tampung mencapai 8.000 jemaah, menjadikan masjid ini sebagai masjid termegah dan terbesar di kabupaten Sumbawa Barat, dan tentu saja menambah khasanah jejeran bangunan masjid megah di provinsi NTB yang sudah sejak lama dikenal dengan julukan provinsi seribu masjid. 

Secara resmi Masjid Agung Darussalam mulai dipergunakan pada hari kamis 9 Juli 2010. Penggunaan masjid ini mulai diberlakukan untuk dapat dipergunakan dalam menjalankan kewajiban shalat lima waktuBeberapa program kerja yang telah disiapkan oleh pengurus masjid antara lain program pembinaan, penyuluhan, penelitian, bimbingan agama, kajian buku, dan kegiatan ilmiah lainnya

Masjid Darussalam 
Jl. Bung Hatta No.2 Kompleks KTC 
Taliwang, Kab. Sumbawa Barat. Prov. Nusa Tenggara Barat
Indonesia




Masjid Darussalam ditopang oleh 99 tiang yang bermakna 9.9 nama Allah Swt. (Asma’ul Husna), 112 anak tangga yang menunjukkan surat Al-lkhlas sebagai surat ke-112 dalam Al-Quran, dan tiga lantai masjid yang mengimplementasikan tiga prinsip dasar masyarakat Sumbawa Barat. Tiga prinsip dasar tersebut adalah Assalamu’alaikum yang bermakna salam untuk silaturrah’im yang kokoh dalam persaudaraan yang harmonis sehingga menciptakan kedamaian dan keselamatan, Warahmatullahi yang berarti rahmat, serta Wabarakatuh yang berarti berkah.

Sekeliling masjid dihiasi kolam seluas sekitar 5.000 m2. Bagian dalamnya terbuat dari kaca sehingga terlihat dari lantai basement. Selain itu, kolam yang merefleksikan bentuk bangunan tersebut juga dihiasi 120 titik air mancur. Untuk memasuki masjid, jamaah harus melewati sebuah jembatan penghubung yang melintasi sungai. Konsep ini sangat jarang terlihat pada bangunan masjid umumnya.

interior masjid agung Darussalam Taliwang dilihat dari lantai dua

Untuk mengumandangkan azan, masjid menggunakan delapan titik tempat pengeras suara. Jumlah ini mengandung makna bahwa syiar Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia, juga melambangkan delapan kecamatan yang ada di Sumbawa Barat. Kubah besar di atap masjid melambangkan makna tauhid “laa ilaaha illallah”, dikelilingi lima kubah kecil sebagai representasi rukun Islam. Rukun iman direpresentasikan melalui tiang penyangga utama yang berjumlah enam buah. Adapun dua menara yang berada di sisi kanan dan kiri masjid melambangkan dua kalimat syahadat. Interior masjid menampilkan pilar-pilar yang kokoh guna menciptakan skala ruangan yang agung dan megah.

Dominasi warna putih sebagai wujud kesucian dengan kombinasi warna emas dan hijau serta kaligrafi yang menghiasi sepanjang dinding masjid memberi kesan sejuk dan tenang. Selain di ruang utama yang berada di lantai satu, hiasan kaligrafi yang mengelilingi dinding terlihat di lantai dua dan tiga. Kedua lantai ini secara tata bangunan mengelilingi ruang utama masjid dan berfungsi layaknya mezzanine. Sebagai sentralisasi visual pada interior masjid, tepat di bagian tengah bawah kubah dalam terdapat lampu gantung dari kuningan. Lampu seberat sekitar 600 kilogram itu dipenuhi oleh 64 lampu kecil sebagai penerang ruangan.

Masjid Agung Darussalam dengan Tugus Syukur (sebelah kanan foto)

Masjid Agung Darussalam Taliwang ini cukup semarak dengan beragam aktivitas termasuk selama bulan suci Romadhan, salah satu aktivitas nya adalah menyelenggarakan Pesantren kilat yang diikuti oleh  siswa-siswi SD/MI, SMP/MTs, SMA/MAN/SMK. Serta program kompetisi pemilihan da’i cilik.

Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke XXIV tingkat provinsi NTB

Hari Rabu malam 9 November 2011, masjid Agung Darussaam Taliwang ini menjadi tuan rumah pelanksaan pembukaan MTQ ke XXIV tingkat provinsi NTB yang berlangsung meriah. Pembukaan MTQ tersebut ditandai dengan pemukulan beduk oleh Gubernur NTB, TGH Zainul Majdi. Acara yang dihadiri ribuan kafilah dan tamu undangan dari seluruh kabupaten / kota di NTB serta masyarakat setempat tersebut turut dimeriahkan dengan atraksi kembang api. Kembang api yang digunakan pada upacara pembukaan MTQ NTB ini merupakan jenis kembang api yang pertama digunakan di Indonesia dan juga akan digunakan dalam pembukaan Sea Games ke-26 di Palembang.***

Baca Juga


Sabtu, 19 November 2016

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin Bima

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin merupakan Masjid Kesultanan Bima. 

Masjid Kesultanan Bima

Masjid Sultan Muhammad Salahadddin dikenal sebagai Masjid Kesultanan Bima, dibangun pertama kali pada tahun 1770 M oleh Sultan Abdul Kadim Zilullah Fil Alam, sultan Bima ke-8, Wajir Ismail, di masa ke-emasan Kesultanan Bimal. Nama masjid ini dinisbatkan kepada Sultan Muhammad Salahudin (1920-1943), Sultan Bima terahir yang berkuasa penuh sebagai Sultan di Kesultanan Bima sebelum wilayah Kesultanan disatukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada masanya masjid ini merupakan pusat pendidikan dan penyebaran Islam di Kesultanan Bima dan sekitarnya dan menjadi saksi bisu pasang surut perkembangan dan kemajuan Islam di Bima. Selain itu, masjid ini bisa diajdikan ikon wisata andalan di Bima. Seperti halnya tatanan pemerintahan kesultanan di Nusantara, masjid Kesultanan Bima ini juga menjadi elemen penting yang menjadi kesatuan dari pemerintahan Kesultanan Bima baik dari tata letak bangunan maupun dalam nafas pemerintahan Kesultanan.

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin Bima
Jl. Sukarno Hatta, Kampung Sigi, Kelurahan Paruga
Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima
Provinsi Nusa Tenggara Barat



Lokasi masjid ini berada Kampung Sigi atau Kampung Masjid, tepatnya berada disebelah tenggara Museum Asi Mbojo, disebelah selatan alun alun Serasuba. Konsepsi tata letak bangunan kesultanan Bima tidak jauh berbeda dengan kebanyakan tata letak bangunan kesultanan di tanah Jawa dengan memasukkan masjid sebagai salah satu elemen utamanya. Terdiri dari bangunan Istana kesultanan Bima, Masjid kesultanan dan alun-alun Serasuba.

Masing-masing unsur membentuk satu kesatuan yang utuh antara pemerintahan (istana), religi (masjid), dan masyarakat (alun-alun). Alun-alun Serasuba berasal dari kata sera dan suba. Sera berarti tanah lapang, dan suba secara harfiahnya bermakna tombak, yang dikonotasikan dengan perintah atau titah. Jadi, alun-alun Serasuba dulu didirikan sebagai tempat bagi Sultan Bima untuk menyampaikan titah (perintah) kepada rakyatnya.

Dibangun dengan atap tumpang bersusun ditambah dengan empat menara di setiap penjurunya

Di komplek Masjid Sultan Salahudin ini terdapat makam para petinggi kesultanan dan keluarganya yang berada di sebelah barat bangunan masjid, termasuk makam Sultan Abdul Kadim Zilullah Fil Alam, yang pertama kali membangun masjid tersebut. Setelah sekian lama tenggelam dari panggung sejarah, Kesultanan Bima dibangkitkan kembali pada tanggal 4 Juli 2013, dengan penobatan Sultan Bima ke 16, Sultan Jena Teke H. Ferry Zulkarnain. Meskipun kini legitimasi Sultan tidak lagi berkuasa di ranah politik seperti pada lalu namun lebih kepada sosok pengayom adat, tadisi, budaya dan agama Islam di wilayah kesultanan Bima.

Sejarah Masjid Sultan Muhammad Salahuddin

Masjid Sultan Muhammad Salahadddin dikenal sebagai Masjid Kesultanan Bima, dibangun pertama kali pada tahun 1770 M oleh Sultan Abdul Kadim Zilullah Fil Alam, sultan ke-VIII. Pembangunan disempurnakan oleh putranya, Sultan Abdul Hamid, yang mengubah bentuk atap rumah ibadah itu menjadi atap bersusun tiga, mirip dengan Masjid Masjid Tradisional di Pulau Jawa. Namun, di masa perang dunia kedua masjid Kesultanan Bima tersebut hancur lebur dibom oleh pasukan Sekutu pada tahun 1943, saat Bima diduduki Jepang. Hanya tersisa mimbar masjid yang selamat dari kehancuran itu.

foto tua masjid Sultan Muhammad Salahuddin

Pada tahun 1990, Hajah Siti Maryam yang merupakan putri dari mendiang Sultan Muhammad Sallahuddin (Sultan Bima ke 15) memugar Masjid Kesultanan Bima dan membangunnya kembali seperti aslinya sebagai upaya konservasi terhadap bangunan masjid bersejarah tersebut dan kemudian dinamai Masjid Sultan Muhammad Salahuddin, Sultan Bima terahir yang berkuasa penuh di Kesultanan Bima sebelum kemudian bergabung dengan NKRI.

Sultan Muhammad Salahuddin adalah Putera dari Sultan Ibrahim, dilahirkan pada pukul 12:00 tanggal 15 Zulhijah 1306 Hijriah bertepatan dengan tahun 1888 Miladiyah. Beliau dinobatkan sebagai Sultan Bima XV pada tahun 1917. Meninggal di Jakarta pada pukul 22:00 hari Kamis 7 Syawal 1370 Hijriah bertepatan dengan tanggal 11 Juni 1951, di usia 64 tahun dan diberi gelar secara anumerta "Ma Kakidi Agama", karena menjunjung tinggi agama serta memiliki pengetahuan agama Islam yang luad dan mumpuni.

Sejarah Islam di Bima

Di dalam masjid Sultan Muhammad Salahuddin Bima

Buya Hamka, ulama legendaris Indonesia, pernah menyatakan Bima sebagai salah satu pusat syiar Islam di Indonesia. Menurut catatan sejarah, tahun 1540 M merupakan tonggak awal kedatangan Islam di tanah Bima. Proses islamisasi itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540 – 1621, periode pertumbuhan islam tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan islam pada tahun 1640 – 1950 M. pada tahap awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam sudah masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima.

Pada abad ke-16 M, Bima sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh para  pedagang Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. “Pada saat inilah kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam” kata sejarawan dan Indonesianis Prancis Henry Chambert-Loir dalam bukunya, Bima dalam Sastra dan Sejarah.

Masjid Sultan Bima di malam hari.

Persinggungan Bima dengan Jawa dan saudagar saudagar Islam melalui jalur laut terjadi karena Bima berada di jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Dari situ, pedagang dan mubaligh dari Jawa dan wilayah muslim lainnya datang ke Bima menyebarkan Islam. Ataupun sebaliknya orang-orang Bima pergi berdagang ke Jawa dan wilayah muslim lainnya lalu pulang dengan membawa ajaran Islam.

Seperti tertulis dalam salah satu bo atau kitab catatan kerajaan, pada tahun 1640 Ruma Ta Ma Bata Wadu, Raja Bima ke-27, menikah dengan perempuan bernama Daeng Sikontu, adik ipar dari Sultan Alauddin, raja Makassar Alauddin. Karena perkawinan itu, Sang Raja memeluk agama Islam. Ia pun mengganti gelar dan nama menjadi Sultan Abdul Kahir. Ialah sultan Bima pertama yang beragama Islam. Dengan demikian, Bima telah menjadi sebuah kesultanan di abad ke 17 miladiiyah dengan perubahan status kerajaan menjadi sebuah kesultanan.***

Minggu, 13 November 2016

Masjid Kibuli Kampala Uganda

Berdiri dipuncak bukit Kibuli, satu dari tujuh bukit yang membentuk kota Kampala, Masjid Kibuli menjadi salah satu bangunan bersejarah yang terlihat jelas dari berbagai sudut kota Kampala

Kampala adalah ibokota dari Republik Uganda, negara di bagian timur benua Afrika. Sebelum bangsa Eropa tiba disana dan kemudian menjajah wilayah tersebut, wilayah ini merupakan daerah kekuasaan seorang raja yang disebut Kabaka dari keluarga bangsawan Buganda. Inggris yang tiba disana di penghujung abad ke 19 melihat begitu banyak binatang Impala berkeliaran kawasan tersebut dan menyebut kawasan itu dengan istilah “Hill of Impala” yang kemudian diserap ke bahasa lokal yang berbunyi “kazozi k’ impala” yang diucapkan menjadi “ka impala” dan kadang kadang juga diucapkan “ka mpala”.

Sehingga, setiap kali raja Buganda berangkat berburu impala ke kawasan hutan disana, masyarakatnya akan berujar bahwa raja sedang berburu ke Kampala. Berawal dari sana kemudian menjadi nama tempat itu hingga kini dikenal sebagai kota Kampala. Sedangkan nama Uganda yang menjadi nama Negara itu, justru terjadi karena ketidakmampuan bangsa Eropa mengucapkan nama Buganda dengan baik sehingga menjadi Uganda tanpa hurup B di depannya.

Kota Kampala pada mulanya berkembang dari bukit disekitar istana Kabaka Buganda lalu berkembang ke wilayah disekitarnya hingga tujuh bukit. Masing masing puncak bukit tersebut menjadi tempat tempat penting kerajaan. Itu sebabnya kota Kampala juga seringkali disebut sebagai ‘Kota Tujuh Bukit”, meskipun kini wilayanya sudah membentang hingga mencakup lebih dari 20 bukit.

Berdiri di atas bukit Kibuli, Masjid Kibuli terlihat dari kejauhan

Sebut saja Bukit Kasubi yang bersejarah merupakan tempat berdirinya Istana Raja Kabaka yang bernama Kasubi dan makamnya juga berada di bukit tersebut. Lalu Bukit kedua adalah bukit Mengo yang merupakan tempat berdirinya Istana Kabaka (Raja) saat ini dan markas besar dari Pengadilan Tinggi Buganda. Lalu ada bukit ketiga yang menjadi “markas” bagi ummat Islam di kota Kampala, yakni Bukit Kibuli tempat berdirinya masjid tertua di Kampala, Masjid Kibuli.

Masjid Pertama di Kampala

Masjid Kibuli merupakan salah satu masjid di Kampala Ibukota Republik Uganda. Masjid ini merupakan masjid tertua di Kampala. Disebut sebagai Masjid Kibuli karena berada di atas bukit Kibuli, masjid ini merupakan situs penting dari sisi religi sejarah dan tradisi kota kampala. Karena faktor sejarah dan nilai religi nya itu masjid ini menjadi salah satu landmark kota Kampala yang mendominasi pemandangan puncak bukit Kibuli. Karena lokasinya yang berada di ketinggian, penorama masjid ini terlihat dari kejauhan dari berbagai tempat di kota ini.

Kibuli Mosque
Kibuli Road, Kampala, Uganda
Coordinates :  00°18′36″N 32°35′42″E / 0.31°N 32.595°E
Elevation : 3,973 ft (1,211 m)




Lahan tempat masjid ini berdiri aslinya merupakan lahan milik Pangeran Badru Kukungulu dari keluarga Bangsawan Bugunda yang kemudian disumbangkan untuk kepentingan pembangunan masjid tersebut. Pada saat itu tidak saja lahan masjid ini, tapi sebagian besar lahan di bukit Kibuli.

Wakaf Bangsawan Buganda

Pengembangan bukti Kibuli dimulai di tahun 1930, ketika itu Pangeran Badru Kukungulu menawarkan lahan di bukit Kibuli untuk pembangunan berbagai infrastruktur dan/atau pusat lembaga lembaga dan istitusi untuk meningkatkan tarap hidup komunitas muslim di Uganda.  

Pembangunan Masjid Kibuli dimulai tahun 1936, peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Sir Sultan Mohamed Shah Aga Khan III, yang wafat tanggal 11 Juli 1957, dan pembangunannya berlanjut selama beberapa tahun sampai kemudian diresmikan oleh Pangeran Aly Salomone Khan di tahun 1951. Saat beliau wafat Pangeran Badru Kukungulu dimakamkan di sebuah maosolium di komplek masjid ini.

Masjid Kibuli dengan larat belakang kota Kampala

Seperti disebutkan di awal tulisan tadi, bukit Kibuli merupakan salah satu dari tujuh bukit di kota Kampala, bagian tengah dan dan sebagian kota lainnya berada di bukit ini, berbatasan dengan Kabalagala diselatan dan kololo di utara dan hanya berjarak 5.6 km dari central business district kota Kampala. Karena sejarah nya itu kawasan di bukit Kibuli ini menjadi kawasan pemukiman muslim di kota Kampala.

Islam masuk dan bekembang lebih dulu di Uganda sebelum para misionaris Kristen masuk kesana. Kini dibukit ini selain Masjid Kibuli juga telah berdiri Rumah Sakit Kibuli, SMP untuk umum dan boarding school, Lembaga Pendidikan Guru Kibuli, Pusat Pelatihan Polisi, Greenhill Academy yang merupakan sekolah swasta unggulan di Kampala, Pasar Sentral Kibuli dan Kampus Islamic University in Uganda (IUIU). Sedangkan di bagian bawah sisi timur bukit ini membentang kawasan Namuwongo yang merupakan kawasan industri tua di Kampala, juga tempat berdirinya depot minya milik perusahaan perusahaan minyak asing yang beroperasi di Kampala.

Masjid Kibuli bukanlah satu satunya masjid di kota Kampala, di puncak bukit yang lain di kota Kampala berdiri Masjid Gadafi yang merupakan Masjid Nasional Uganda. Dinamai masjid Gadafi karena memang dibangun oleh mendiang presiden Libya, Muammar Khadafi sebagai hadiah bagi Muslim Uganda. Selain Uganda di Indonesia pun tokoh kontroversi ini juga meninggalkan warisan masjidnya di Indonesia, yakni Masjid Muammar Qaddafy yang kini berubah nama menjadi Masjid Az-Zikra tak lama setelah beliau wafat.*** (dirangkum dari berbagai sumber).

Baca Juga



Sabtu, 12 November 2016

Masjid Keramat Kuno Singaraja - Bali

Terhimpit diantara rumah rumah penduduk di kawasan jalan Hasanudin kampung Kajanan, Singaraja, Bali. Masjid Keramat Kuno Singaraja berdiri menjadi saksi sejarah eksistensi Islam disana.

Singaraja adalah kota kecamatan yang merupakan ibukota kabupaten Buleleng di pesisir utara pulau Bali. Seperti halanya wilayah Bali lainnya, mayoritas masyarakat Singaraja dan kabupaten Buleleng merupakan pemeluk agama Hindu. Meski demikian cukup banyak pemeluk Islam di Singaraja dan wilayah kabupaten Buleleng lainnya. tak terlalu sulit untuk menemukan masjid atau mushola di Buleleng.

Islam sudah masuk dan berkembang di wilayah Buleleng sejak Buleleng masih berstatus sebagai sebuah kerajaan jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Singaraja terdapat sebuah masjid tua yang dikenal sebagai “Masjid Keramat Kuno Singaraja” yang berada di Kampung Kajanan, Singaraja. Dari tahun pembangunannya masjid ini merupakan bangunan masjid tertua di kabupaten Buleleng bahkan mungkin di seluruh Provinsi Bali.

Lokasi masjid ini kini dikelilingi rumah penduduk yang sangat padat. Bahkan jalan masuknya hanya berupa sebuah gang kecil yang cukup untuk pejalan kak dan jalan satu sepeda motor. Masjid tua yang disebut sebagai masjid Keramat atau Masjid Kuna ini masih terawat hingga kini dan menjadi saksi semangat dan kearifan para pendiri masjid dan Takmir masjid ini pada jaman dahulu di tengah kehidupan sebagai pemeluk agama minoritas.

Masjid Keramat Singaraja
JL. Hasanudin, Buleleng, Kec. Buleleng
Kabupaten Buleleng, Bali 81113
Indonesia


Sejarah Masjid Keramat Kuno Singaraja

Agak sulit untuk memastikan kapan dan oleh siapa Masjid Keramat Kuno Singaraja ini pertama kali dibangun. Dari cerita tutur muslim setempat disebutkan bahwa pada tahun 1654 masyarakat muslim yang awalnya tinggal di sekitar pelabuhan Buleleng di pesisir utara Pulau Dewata, memilih untuk pindah dari kampung mereka ke wilayah yang lebih ke daratan dan lebih Ngajanan (ke-selatan) akibat abrasi air laut yang terus mengikis perkampungan mereka di sekitar pelabuhan.

Di daerah baru yang masih berupa semak belukar itu masyarakat bersama sama membuka dan membersihkan lahan pemukiman di samping Sungai Tukad Mungga, dan kemudian menemukan satu bangunan segi empat berukuran 15 kali 15 meter persegi ditopang dengan empat tiang dari pohon kelapa dan beratap meru yang diduga adalah sebuah masjid, karena di dalam bangunan tersebut terdapat sebuah mimbar masjid yang diukir dengan ornamen khas Bali. Warga berkesimpulan bangunan ini adalah masjid. Hanya saja bangunan awal itu tak diketahui pasti siapa yang membangunnya.

Sejak ditemukan masyarakat muslim kampung Kajanan sudah “menggunakan kembali’ masjid tersebut dan menyebutnya sebagai “Masjid Keramat Kuna”, seperti nama yang kini tertulis di tembok masjid ini dalam hurup arab gundul. Meski di gapura masjid yang mengarah ke Jalan Hasanudin hanya ditulis dengan nama Masjid Kuna Singaraja saja tanpa kata Kramat. 

Ditulis dengan hurup Arab  "Masjid Kramat Kuna", namun tak ada nama resmi dengan bahasa arab seperti kebanyakan masjid lainnya.

Masjid ini cukup unik. Dari sisi seni arsitekturnya menggambarkan visualisasi flora sebagai bentuk kedamaian dan kekayaan Pulau Bali. Seni pahatan pada ukiran ornamennya juga memperlihatkan ciri khas seni pahat Bali Utara. Masjid Kuno ditopang oleh empat kayu pohon kelapa sebagai penyangga yang kemudian direnovasi dengan melakukan penebalan pada tiang-tiangnya. Empat tiang utama sebagai Soko Guru merupakan wujud dari banyaknya pohon kelapa yang tumbuh di pesisir Tukad Buleleng yang berada tepat di belakang Masjid Kuno.

Selain keunikan bangunan dan nilai sejarahnya, Masjid Kuno terkenal sebagai tempat untuk melakukan sumpah jika terjadi perselisihan antar warga sekitar. Masjid Kuno yang dikenal sebagai Masjid Keramat juga memiliki kolam sebagai tempat wudlu yang dulunya digunakan untuk ritual sumpah. Karena dinilai angker, kolam tersebut ditutup dan kini dijadikan bangunan SD N 1 Kampung Kajanan.

Meski sebagian bangunan telah direnovasi dengan dinding dari kapur dan tiang tanpa beton ini, namun ornamen Bali tetap terjaga baik. Masjid kuno ini juga menyisakan relief asal Persia. Warga menduga bangunan yang ditemukan ini dibangun para Wali. Mengingat, Pantai Utara Bali sangat dekat dengan Pulau Jawa.

mimbar kuno yang sudah ada sejak pertama kali masjid ditemukan

Mimbar Masjid Kuno/ Keramat. Tepat di depan mimbar terdapat sebuah tongkat yang biasanya akan dibawa seorang khatib sholat Jum’at. Pelaksanaan sholat Jum’at di sini menggunakan dua kali adzan mirip dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Di sebelah utara mimbar terdapat pintu kecil..

Masjid Keramat Kuno Dan Mushaf Al-Qur’an Tertua

Menurut Dr. Sugianto, seorang peneliti budaya Bali Utara dan juga penemu kitab suci Al-Qur'an tertua di Indonesia, menyatakan bahwa masjid Kramat Kuno Singaraja mempunyai peranan yang sangat besar dalam penulisan Al-Qur'an tertua di Nusantara. Lebih lanjut ia menyatakan, besar kemngkinanan sebagian isi Al-Qur'an tertua ditulis di masjid ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan diketemukannya Al-Quran kuno beberapa puluh meter dari masjid ini, dan kini disimpan di Masjid Agung Jami, Singaraja.

Al-Quran yang ditulis tangan oleh I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi yang menyingkir dari Puri Buleleng dan belajar di Masjid Kuno pascaperang saudara tahun 1820-an. Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi merupakan keturunan ke VI dari anak Agung Panji Sakti yang dikenal juga sebagai Raja Buleleng / pendiri Kota Singaraja. Ngurah Jelantik juga dikenal sebagai seorang mualaf ketika terjadi perang saudara yang kemudian mempertemukannya dengan Muhammad Yusuf Saleh, imam masjid pertama di Singaraja. Siapapun yang menimba ilmu pada Muhammad Yusuf Saleh, akan diwajibkan menulis Al-Qur’an sebagai ujian akhirnya. Hal serupa juga berlaku pada Ngurah Jelantik sekalu murid dari Yusuf Saleh.

Interior Masjid, berusaha mempertahankan bentuk aslinya meski tiang-nya kini terlihat sangat kokoh .

Kaligrafi yang digoreskan sangatlah rapi. Pada halaman pertama, yaitu surat Al Fatihah dan Al Baqoroh terdapat lukisan tangan Khas Bali yang digambar langsung oleh Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi. Sampul Al-Qur’an terbuat dari kulit pohon yang umurnya hampir sama dengan kertas yang digunakan dalam penulisan Al-Qur’an. Desain sampul tersebut juga merupakan lukisan tangan Ngurah Jelantik yang mengikuti pahatan khas Bali.

Inilah bukti Ngurah Jelantik sebagai seorang mualaf keturunan Raja Buleleng yang telah mengkhatamkan Al-Qur’an. Tulisan tangannya adalah kaligrafi yang memiliki nilai seni tinggi. Kertas yang digunakan adalah kertas yang didatangkan langsung dari Eropa. Bahan tintanya menggunakan bahan pewarna alami dari dedaunan lokal. Hiasannya adalah ornamen khas Bali.

Raja Buleleng menengahi perselisihan Muslim Singaraja

Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah muslim di Singaraja sehingga kapasitas Masjid Keramat sudah tidak lagi mampu untuk melayani seluruh Jemaah dari beberapa kampung Muslim di Buleleng termasuk muslim dari Kampung Kajanan, Kampung Bugis, dan Kampung Baru, disuratilah Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong (Raja Buleleng) dengan isi permohonan pendirian masjid.

Raja Buleleng ternyata tidak saja memberikan izin untuk pembangunan masjid baru tapi juga memberikan sepetak tanah untuk pembangunan masjid baru tersebut yang kini dikenal dengan nama Masjid Agung Jami Singaraja. Di tengah pembangunan Masjid Jami’, pernah terjadi pertikaian saat mengalihkan pelaksanaan sholat jum’at dari Masjid Keramat menuju Masjid Jami’. Pertikaian tersebut kemudian mendatangkan I Gusti Anglurah Ketut Jelantik VIII beserta I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi. Raja Buleleng kemudian memberikan Pintu Gerbang yang berada di Puri untuk dipasang sebagai pintu gerbang masjid, juga memerintahkan tukang ukir Puri untuk membuat mimbar masjid yang berukiran sama dengan Masjid Keramat.***