Senin, 26 September 2016

Mesjid Sendang Dhuwur, Lamongan, Jawa Timur

Masjid Sendang Duwur dengan latar depan komplek makam Sendang Duwur

Mesjid Sendang Dhuwur, merupakan mesjid tertua di Lamongan. Mesjid tersebut merupakan bukti kebesaran perjuangan Sunan Sendang Dhuwur di Lamongan dan Tuban. Meski berusia 477 tahun, bangunannya masih berdiri kokoh dan menjadi bukti sejarah Islam yang tak lekang dimakan waktu. Bangunan masid Sendang Dhuwur sempat mengalami perbaikan pada tahun 1920. Namun, arsitektur aslinya masih tampak dan menggambarkan kebesaran pada zamannya. Beberapa peninggalan sejarah masih tersisa seperti mimbar, beduk kulit, dan gentong tempat air minum.

 

Sejarah berdirinya masjid ini syarat dengan cerita yang luar biasa. Masyarakat setempat yakin bahwa masjid ini dibangun dalam waktu satu malam. Disebutkan bahwa Sunan Sendang Dhuwur memindahkan masjid ini dari Mantingan di Jepara – Jawa Tengah ke Lokasi yang sekarang, dalam waktu satu malam. Itu sebabnya masjid ini juga disebut sebagai masjid Tiban. Kini, Mesjid Sendang Dhuwur menjadi satu di antara tiga mesjid peninggalan wali yang masih terawat dengan baik. Dua di antaranya yakni Mesjid Sunan Ampel dan Sunan Giri.

 

Lokasi Masjid Sunan Sendang Dhuwur

 

Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran

Kabupaten Lamongan, Jawa Timur



Sunan Sendang Duwur

Sunan Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahmad adalah putra dari Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad (lrak). Raden Nur Rahmad lahir pada tahun 1320 M dan wafat pada tahun 1585 M. Bukti ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di dinding makam beliau. Beliau adalah tokoh kharismatik yang pengaruhnya dapat disejajarkan dengan Wali Songo pada saat itu.

Ada yang mengatakan Sunan Sendang Duwur sebagai putra Abdul Qohar dari Sedayu (Gresik), salah satu murid Sunan Drajad. Ada pula yang menyebut Sunan Sendang Duwur adalah putra Abdul Qohar tapi tidak berguru pada Sunan Drajad. Namun dari perbedaan itu, disepakati bahwa Raden Noer Rochmat akhirnya diwisuda Sunan Drajad sebagai Sunan Sendang Duwur.

Sejarah Masjid Sunan Sendang Dhuwur


Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid.


Interior Masjid Sendang Duwur

Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Kraton Demak Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan dari Aceh. Saat diangkat menjadi bupati di Jepara, R. Thoyib tidak lupa bersyiar agama Islam. Sehingga dibangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.

Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut. Tapi apa kata Mbok Rondo Mantingan saat itu? Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan menjual masjid ini. Tapi suamiku (saat itu sudah meninggal, Red) berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain (dalam satu malam), masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma.

Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur yang masih muda saat itu merasa tertantang. Sebagaimana yang diisyaratkan padanya dan tentunya dengan izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil diboyong ke bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri di sana, ditandai surya sengkala yang berbunyi: "gunaning seliro tirti hayu" yang berarti menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun
1561 Masehi.

Tapi cerita lain menuturkan, masjid tersebut dibawa rombongan (yang diperintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur) melalui laut dari Mantingan menuju timur (Lamongan) dalam satu malam. Rombongan itu diminta mendarat di pantai penuh bebatuan mirip kodok (Tanjung Kodok) yang terletak di sebelah utara bukit Amitunon di Sendang Duwur.


Akulturasi budaya di komplek masjid dan makam Sendang Duwur

Tradisi Kupatan di Tanjung Kodok Lamongan

Rombongan dari Mantingan itu disambut Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur beserta pengikutnya. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, rombongan itu diminta istirahat karena lelah sehabis menunaikan tugas berat. Saat istirahat, sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat. Berawal dari sini, sehingga setiap tahun di Tanjung Kodok (sekarang Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara kupatan.

 

Masjid itu kini sudah berusia 477 tahun (didirikan R. Thoyib di Mantingan pada 1531). Karena usianya yang tua, beberapa konstruksi kayunya terpaksa diganti dan yang asli tetap disimpan di lokasi makam, di sekitar masjid. Maski masjid kuno itu sempat dipugar, arsitektur masjid peninggalan wali ini masih tampak dan menggambarkan kebesaran pada zamannya.

Ajaran Sunan Sendang Dhuwur

Dari masjid inilah Sunan Sendang Duwur terus melakukan syiar agama Islam. Salah satu ajaran yang masih relevan pada zaman sekarang adalah : "mlakuho dalan kang benar, ilingo wong kang sak burimu" (berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di belakangmu. Ajaran sunan ini menghimbau pada seseorang agar berjalan di jalan yang benar dan kalau sudah mendapat kenikmatan, jangan lupa sedekah.

Meski berada di ketinggian, masjid dan komplek makam ini dapat di capai dengan kendaraan bermotor.

Hubungan Sunan Drajad dengan Sunan Sendang Duwur sangat erat dalam siar agama Islam, dan hubungan itu terus mengalir sampai kini. Terlihat, tidak jarang para peziarah ke makam Sunan Drajad di Desa Drajad, Kec. Paciran untuk singgah ke Sunan Sendang Duwur.

Bangunan yang menunjukkan Hinduistis masih tampak di masjid dan makam. Meski halaman dan makam menyatu, masjid ini mempunyai halaman sendiri-sendiri. Dari arah jalan, yang tampak lebih dulu adalah kompleks pecandian. Sedangkan gapura halaman berbentuk mirip Candi Bentar di Bali. Bentuk candi seperti ini telah dikenal sejak zaman Majapahit, seperti Gapura Jati Pasar dan Waringin Lawang.

Bangunan Makam Sunan Sendang Duwur yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar tersebut berarsitektur tinggi yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam dan Hindu. Bangunan gapura bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk Paduraksa. Sedangkan dinding penyangga cungkup makam dihiasi ukiran kayu jati yang bernilai seni tinggi dan sangat indah. Dua buah batu hitam berbentuk kepala Kala menghiasi kedua sisi dinding penyangga cungkup.

Makam Sunan Sendang Duwur yang letaknya di atas bukit itu, tetapi bisa dijangkau oleh kendaraan umum ataupun pribadi. Sarana jalan yang sudah baik dan memadai memudahkan para pengunjung yang ingin kesana untuk berwisata ziarah.***


Minggu, 25 September 2016

Masjid Agung Tuban Jawa Timur

Warna meriah. Penggunaan warna warna terang pada masjid ini berhasil menjadikannya sebagai bangunan ikon kota Tuban yang memang sangat menarik perhatian.

Tuban, salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur, salah satu tempat Sunan Bonang Bedakwah. Dan salah satu wilayah bawahan Majapahit yang kemudian Bupatinya memeluk agama Islam. Di Tuban berdiri sebuah masjid megah yang seringkali disebut sebagai masjid dengan keindahan layaknya bangunan dalam dongeng 1001 malam, masjid tersebut adalah Masjid Agung Tuban.

Lokasi dan Alamat Masjid Agung Tuban

Berdiri megah di sisi barat alun alun Tuban, masjid ini telah menjadi Ikon kebanggaan warga Tuban. Lokasinya berdiri tidak saja berada di pusat kota tapi juga bersebelahan dengan salah satu situs penting sejarah tanah Jawa, yakni Kompek Makam Sunan Bonang yang ramai di ziarahi oleh berbagai lapisan masyarakat dari berbagai tempat.


Arsitektur Masjid Agung Tuban

Aristektur masjid ini memadukan ragam budaya dari berbagai negara seperti Arab, Turki, dan India. Secara umum bangunan masjid ini terdiri dari bangunan utama masjid yang diapit oleh empat menara di masing masing empat penjuru masjid, dua bangunan serambi di sisi depan bagian kiri dan kanan serta ditambah dua menara yang lebih tinggi dari empat menara lainnya.

Penggunaan aneka warna terang sangat kuat menonjolkan bangunan masjid ini ditengah tengah kota Tuban. Kubah utama diapit dua kubah lainnya diantara enam menaranya yang menjulang seakan akan menghadirkan suasana negeri dongeng dalam kehidupan nyata di kota Tuban.

Sejarah Masjid Agung Tuban

Tuban dan Sunan Bonang

Kota Tuban bagaimanapun tidak dapat dipisahkan dari nama besar Sunan Bonang. Meski Kota Tuban bukan satu-satunya kota tempat Sunan Bonang berdakwah, tetapi karena ia dimakamkan di Tuban maka tidak salah jika ia sering disebut Sunan Tuban. Ada pula yang menyebutkan, makamnya di Lamongan. Seperti para wali yang lain, Sunan Bonang juga mendirikan sebuah masjid sebagai pusat kegiatan dakwahnya. Masjid tersebut dikenal sebagai Masjid Astana yang berada di bangunan kompleks makam Sunan Bonang. Bersebalahan dengan komplek masjid Agung Tuban.

Sepasang Landmark. Di latar depan foto adalah bangunan yang menaungi makam Sunan Bonang dan kerabat dekatnya dengan latar belakang Masjid Agung Tuban. Dua Landmark Tuban yang sangat penting bagi sejarah kota tersebut.

Dalam berdakwah, Sunan Bonang atau Raden Makdum Ibrahim, sering menggunakan alat musik tradisional yang disebut bonang. Bonang adalah sejenis gamelan yang terbuat dari besi atau kuningan yang bagian tengahnya dibuat menonjol. Bila tonjolan itu dipukul dengan kayu yang lunak maka akan timbul suara yang merdu.

Pada waktu itu, bunyi demikian sudah sangat mengasyikkan telinga. Apalagi yang membunyikan bonang itu seorang wali maka bunyinya mempunyai pengaruh yang luar biasa, sehingga banyak penduduk yang berbondong-bondong ingin menyaksikan dan mendengar dari dekat.

Sunan Bonang yang cerdik sudah memperhitungkan hal itu maka ia mempersiapkan kolam di depan masjid. Siapa yang mau masuk ke masjid harus membasuh kakinya. Setelah mereka berkumpul di dalam masjid, ia pun mengajarkan tembang-tembang yang berisikan ajaran Islam.

Sepulangnya dari masjid, tembang itu mereka hafalkan di rumah. Sanak saudara mereka pun turut menyanyikan tembang itu karena tertarik akan kemerduan lagunya. Demikianlah cara Sunan Bonang berdakwah sehingga santrinya tersebar di berbagai penjuru Nusantara.

Masjid Agung Tuban Dulu dan Sekarang

Berdirinya Masjid Jam Tuban

Sebelum menjadi Masjid Agung Tuban, sebelumnya masjid ini dikenal sebagai Masjid Jami’ Tuban. Sejarah pembangunan masjid ini tidak ada sangkut pautnya dengan Sunan Bonang, pembangunan masjid ini sendiri dilaksanakan pada tahun 1894, terpaut sekitar empat abad dari masa Sunan Bonang. Namun demikian kehadiran masjid ini telah menjadi saksi sejarah keberhasilan dakwah Sunan Bonang di Tuban.

Masjid Jami’ Tuban pertama kali dibangun pada abad ke-15 Masehi, yakni pada masa pemerintahan Adipati Raden Ario Tedjo (Bupati Tuban ke-7), letaknya tidak jauh dari kompleks makam Sunan Bonang, Raden Ario Tedjo sendiri merupakan Bupati Tuban pertama yang memeluk Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan masjid ini diperluas menjadi bangunan masjid yang dikenal sebagai Masjid Agung Tuban saat ini.

Masjid tersebut sempat mengalami beberapa kali renovasi. Renovasi pertama kali dilakukan tahun 1894, yakni pada masa pemerintahan Raden Toemengoeng Koesoemodiko (Bupati ke-35 Tuban). Saat itu Raden Toemengoeng Koesoemodiko menggunakan jasa arsitek berkebangsaan Belanda, BOHM Toxopeus. Sebagaimana disebutkan dalam prasasti yang ada di depan masjid ini yang berbunyi :

“Batoe yang pertama dari inie missigit dipasang pada hari Akad tanggal 29 Djuli 1894 oleh R. Toemengoeng Koesoemodiko Boepati Toeban. Inie missigit terbikin oleh Toewan Opzicter B.O.H.M. Toxopeus.”

Bila bentuknya kita amati, Masjid Jami Tuban ini memiliki cari khas tersendiri. Secara garis besar, bentuk bangunannya terdiri atas dua bagian, yaitu serambi dan ruang shalat utama. Bentuknya tidak terpengaruh dengan kebiasaan bentuk masjid di Jawa yang atapnya bersusun tiga. Arsitektur masjid ini justru terpengaruh oleh corak Timur Tengah, India, dan Eropa. Sekilas tampak ada kemiripan dengan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, terutama bentuk berandanya yang dipertahankan hingga kini.

Renovasi selanjutnya dilakukan tahun 1985. Masjid mengalami perluasan. Kemudian, di tahun 2004 dilakukan renovasi total terhadap bangunan Masjid Agung Tuban oleh pemerintah Kabupaten Tuban. Renovasi yang dilakukan kali ini meliputi pengembangan satu lantai menjadi tiga lantai, menambah sayap kiri dan kanannya dengan mengadopsi arsitektur bangunan berbagai masjid terkenal di dunia serta penambahan enam menara masjid dengan luas keseluruhan mencapai 3.565 meter persegi. ***

----------------

Baca Juga Masjid di Jawa Timur Lainnya


Minggu, 18 September 2016

Masjid Agung Ngaoundere Kamerun

Masjid Agung Lamido, di kita Ngoundere, Kamerun

Ngaoundéré atau N'Gaoundéré adalah ibukota propinsi Adamawa di Kamerun. Kota dengan populasi 152,700 (sensus 2005). Kota ini merupakan ujung paling utara dari jalur kereta yang menghubungkannya dengan Yaoundé, Ibukota negara Kamerun. Kota ini terkenal dengan Istana Lamido dan Masjid Agung Lamido atau Masjid Agung Ngaoundéré.

Wilayah Ngaoundéré saat ini sebelumnya pernah menjadi ibukota Mbum. Namun kota yang kini ada merupakan kota yang didirikan oleh Etnis Fulani disekitar tahun 1835 oleh seorang pemimpin Etnis Fulani bernama Ardo Njobdi. Etnis Fulani berkuasa disini di abad ke 19 dan di tahun 1882 Ngaoundéré dikunjungi oleh Robert Flegel.


Ardo Muhammadu Abbo kemudian menandatangani perjanjian dengan penjelajah Jerman bernam Siegfried Passarge tahun 1894 dan serangkaian perjanjian dengan Jerman, Inggris dan Prancis, menempatkan daerah ini dalam pengaruh Prancis yang kuat. 

Tentara Jerman mencaplok kota ini dengan kekuatan penuh pada tanggal 20 September 1901. Pada 29 Juli 1915 kota ini menjadi ajang perang antara Jerman dan Inggris dalam perang dunia pertama di Kamerun. Namun ahirnya daerah tersebut jatuh ke tangan Prancis sampai ahirnya Kamerun memperoleh kemerdekaannya. 

Masjid Agung Lamdo

Masjid Agung Ngaoundéré

Masjid ini dibangun di lokasi yang sama dengan masjid sebelumnya yang lebih kecil. Denahnya merujuk kepada bentuk masjid masjid Afrika Utara pada era awal perkembangan Islam. Ruang sholat-nya berdenah segi empat memanjang dengan pintu masuk utama segaris lurus dengan mihrab.

Ruang sholat utamanya dibangun lebih tinggi dari ruangan disekitarnya, sejejeran jendela jendela kecil dibagian atas memberi ruang kepada sinar matahari masuk ke dalam masjid dengan cahaya yang tak telalu menyilaukan. Dua menara menjulang tinggi mengapit bangunan masjid.**

Baca Juga 


Islam di Kamerun


Kamerun adalah negara yang berada di pantai barat bagian tengah benua Afika berbatasan dengan Nigeria, Chad, Republik Afrika Tengah, Republik Congo, Gabon dan Equatorial Guinea. Nama Kamerun muncul dari orang orang Portugis yang mendarat di pantai kamerun tahun 1472 dan melihat banyak usang di perairannya, sehingga menamakannya Rio des Cameroes (Sungai Udang).

Dengan wilayah seluas 475.440 km2, Ibukora negaranya berada di kota YAOUNDE (semula beribukota di Buea) dan terbagi dalam 10 propinsi. Penduduk Kamerun cukup padat, dihuni sekitar 16.063.678 orang, terdiri dari suku asli Afrika (black African) sebanyak 99%, yaitu Cameroon Highlander, Bantu, Fulani, Kirdi dan suku asli Afrika lainnya. Selebihnya adalah pendatang dari Eropa dan Arab. Mata uang yang digunakan adalah Comnmunaute Financiere Africaine Francs (XAF), dan US $ 1,- berharga sekitar 581.2 XAF.

Kamerun juga dikenal mempunyai tradisi sepakbola yang handal, sejak diperkenalkan oleh Jerman pada tahun 1926. Pernah menjuarai Piala Afrika sebanyak 5 kali (1965-1980), dan terakhir, Kamerun dikenal dunia karena menjadi peserta pada Worldcup sejak tahun 1982. Kamerun juga banyak menelorkan pemain kelas dunia antara lain Roger Milla, Patrick Mboma, dan Samuel Eto’o.

Bek Persib Jadi Mualaf. Abanda Herman (berpeci putih), Salah satu pesebakbola asal Kamerun yang maang melintang di persepakbolaan di Indonesia.  di tahun 2013 mengucapkan dua kalimah sahadat di Masjid Kiara Condong Bandung. kala itu dia memang sedang memperkuat tim kesebelasan Maung Bandung, Persib.

Kamerun seringkali disebut sebagai Miniatur nya Afrika karena keberagaman nya mulai dari keberagaman iklim, budaya, agama kelompok etnit nya, bahkan bahasa nasionalnya pun menggunakan dua bahasa yakni Bahasa Inggris mayoritas digunakan di wilayah utara yang merupakan bekas jajahan Inggris, sekaligus Bahasa Prancis yang mayoritas digunakan dibagian selatan yang merupakan bekas jajahan Prancis ditambah lagi dengan 24 bahasa lokal. Iklimnya mulai dari iklim tropis di kawasan pantai hingga ke daratan sedangkan di daerahnya beriklim panas. Agama Islam dianut sekitrar 20%, Kristen (Katholik dan Protestan) 40% dan animis 40%

Islam dan Kemerdekaan Kamerun

Portugis adalah kolonial Barat pertama yang masuk ke Kamerun, yaitu sekitar abad ke-15 (tahun 1472), diikuti Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis. Orang-orang Barat ini datang ke Kamerun untuk memperebutkan perdagangan budak. Perdagangan budak ini berakhir pada abad ke-19 (1845), dan Kamerun dijadikan protektorat Inggris.

Namun pada tahun 1884, Jerman yang diwakili oleh Gustav Nachtigal mengadakan perjanjian dengan Raja Doula, dan pada tahun 1885, Baron von Soden ditunjuk sebagai Gubernur Kamerun. Ketika terjadi perang dunia pertama (1916-1918), Inggris dan Perancis berhasil mengusir Jerman dari Kamerun, kedua negara terakhir berbagi kekuasaan di Kamerun.

Abanda Herman bukanlah satu satunya pesebakbola Kamerun yang menemukan hidayahnya di luar negeri. di tahun 2014, 23 Pesebakbola Kamerun masuk islam berbarengan saat mengikuti kamp latihan di Dubai Uni Emirat Arab.

Perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan dari para penjajah dimulai setelah perang dunia kedua, yaitu ketika pada tahun 1955 muncul revolusi di daerah kekuasaan Perancis yang dipelopori oleh Union des Populations Camerounaises (UPC), yang disponsori oleh suku Bamileke dan Bassa.

Bapak kemerdekaan Kamerun, seorang pejuang muslim sejati dari suku Fulani, El-Haji Ahmadou Babatoura Ahijo (lahir pada Agustus 1924), berhasil membawa bangsa Kamerun memperoleh kemerdekaan, ketika pada tahun 1958 melalui partainya l’Union Camerounaise menguasai parlemen. Akhirnya pada tanggal 1 Januari 1960, Ahijo memproklamasikan kemerdekaan Kamerun, dan beliau ditunjuk sebagai Presiden pertama. Pada awalnya pmerintahan Ahijo kurang berjalan mulus, karena penduduk bagian selatan yang didominasi Kristen dan berbahas Perancis belum bisa menerima kemerdekaan.

Untuk itu, pemerintah Kamerun di bawah Ahijo mengadakan referendum pada bulan Oktober 1961. Hasil referendum adalah, penduduk bagian utara yan didominasi Islam dan berkiblat ke Inggris lebih menginginkan bergabung dengan Nigeria, sedangkan pendudukan bagian selatan lebih menginginkan pembentukan Republik Federasi Kamerun. Kemelut ini berakhir pada tanggal 20 Mei 1972, ketika disepakati adanya konstitusi baru yang pada intinya membentuk Republik Kesatuan Kamerun.

Pada pemerintahan Ahijo ini ada dua hal yang perlu dicatat, yaitu pertama mempersatukan dua daerah yang bersengketa, daerah utara berbasis koloni Inggris dan daerah selatan berbasis koloni Perancis, kedua berhasil memajukan pertanian dan industri, sehingga Kamerun menjadi negara Afrika termakmur (ekonomi stabil) dan menjadi salah satu negara Afrika yang mempunyai income per-kapita tertinggi.

Masjid Agung Ngaoundéré, di bagian utara Cameroon

Pada tanggal 6 Nopember 1982, Ahijo mengundurkan diri sebagai presiden karena alasan kesehatan, dan digantikan oleh PAUL BIYA. Ahijo wafat di Dakar, Senegal pada tanggal 30 Nopember 1989. Pada tahun 1988, Paul Biya terpilih kembali sebagai presiden dengan perolehan suara 98,75%. Seiring demokrasi yang semakin tumbuh di Kamerun, maka pada tahun 2004, diadakan pemilu multipartai, dan Paul Biya, sekali lagi tetap terpilih sebagai presiden, dengan peroleh suara 70,90%. Saat ini Kamerun sedang menghadapi persoalan-persoalan perbatasan dengan Nigeria, Chad dan Equatorial Guinea.

Islam di Kamerun

Jauh sebelum bangsa Eropa manapun mengenal Kamerun, Islam sebenarnya telah hadir di Kamerun sejak abad ke 10, dibawa oleh para pedagang Arab yang datang berniaga ke kawasan tersebut sekaligus menyebarkan Islam di wilayah utara. Mereka berdagang emas, garam, tembaga dan budak. Namun Islam baru dikenal secara luas di abad ke 19 atau sekitar tahun 1800-an oleh Etnis Fulani. Etnis Fulani membawa Islam ke Afrika Barat di abad ke-19 atau sekitar tahun 1800-an terutama melalui aktivitas komersial dan Thariqoh Sufi Islam Qadiriyah dan Tijaniyah. Mereka terus tumbuh dan akhirnya menguasai Kamerun bagian utara dan tengah hingga kini. Sedangkan misi Kristen baru mulai bekembang pada abad ke-19, namun hampir menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat Kamerun.

Muslim Kamerun

Penduduk Muslim di Kamerun terdiri dari sekitar 24 persen dari sekitar 21 juta penduduk Kamerun. 27% Muslim Kamerun adalah muslim Suni, 12% Ahmadiyah and 3% Syi’ah, sedangkan sisanya tidak mengikuti kelompok manapun. Menariknya lagi 48% muslim Kamerun mengaku sebagai pengikut salah satu Thariqat Sufi Islam, hal tersebut memang dapat dimengerti mengingat bahwa Islam berkembang disana salah satunya karena memang diperkenalkan secara luas oleh kelompok Thariqat Sufi.

Ketika Kerajaan Kanem Bornu di dekat Danau Chad dipimpin oleh dinasti Saifawa (Sefuwa), yaitu Raja Dunama Dibbalemi masuk Islam pada tahun 1221 (memerintah sampai dengan tahun 1251), maka kejayaan Islam di Afrika Tengah mulai menyebar, mulai dari Chad, Nigeria, Niger maupun Kamerun. Pengaruh Kanem Bornu di Kamerun ini berlanjut hingga abad ke-15. Islam menjadi kekuatan penuh di Kamerun bagian utara, ketika suku Fulani (Fulbe) menguasai daerah itu pada abad ke-18, dan mendirikan kerajaan Adamawa (Adamawa Emirate), yang meliputi Kamerun dan Nigeria. Sultan Adamawa saat ini adalah Issa Maigari, sekaligus sebagai Gubernur propinsi Adamawa.

Suku Fulani memang termasuk salah satu suku unggulan di Afrika, dan paling gigih menyebarkan agama Islam di kawasan itu. Mereka sampai saat ini menguasai pemerintahan modern di Senegal, Guinea (Futa Jallon), Mauritania, Guinea Bissau, Mali, Burkina Faso, Benin, Niger, Chad, Kamerun dan Sudan. Sebelumnya, pada abad ke-17, suku Fulani telah mengekspansi Kerajaan Bamoun yang didirikan oleh Nshare Yen, dan kerajaan Bamoun baru menerima Islam secara utuh pada tahun 1833 ketika Sultan Njoya Ibrahima berkuasa.

Pemandangan di salah satu desa Muslim di Ngoundere, Utara Kamerun.

Sepakterjang suku Fulani, yang notabene adalah Islam, sangat diakui keberadaannya di Kamerun, termasuk dalam memperjuangkan kemerdekaan. Salah satu putra terbaik suku Fulani adalah El-Hajj Ahmadou Babatoura Ahijo, kelahiran Garou, Agustus 1924, proklamator dan bapak kemerdekaan Republik Kamerun. Beliau adalah pejuang muslim dari suku Fulani dan terpilih sebagai presiden pertama Republik Kamerun dari tahun 1960-1982. Sayangnya, estafet kepemimpinannya tak dapat diteruskan oleh kader-kader politikus muslim lainnya, dan justru jatuh ke pihak Kristen, yaitu Paul Biya.

Pada pemilu 2004, salah seorang politikus, scientist dan pejuang muslim Kamerun, yaitu Prof. Dr. Adamou Ndam Njoya, gagal terpilih sebagai presiden Kamerun, dan hanya memperoleh suara 4,5%. Padahal beliau adalah tokoh muslim Kamerun saat ini, dan mempunyai jabatan luar biasa banyaknya, antara lain, sebagai gurubesar University of Cameroon, co-president of World Conference of Religious for Peace (WCRP), founder and president of the Islamic and Religious Studies Institute, Gubernur Foumban dan masih banyak lagi jabatan-jabatan lain yang dipangkunya.

Perjuangan Islam di Kamerun saat ini memang tergolong berat, karena sepeninggal mendiang Ahmadou Ahijo, kekuatan Kristen di sana semakin kokoh. Hal ini disebabkan infrasktuktur kekuasaan Kristen sangat luar biasa, dan dukungan negara bekas kolonial. Isu regional terkait Boko Haram sempat dijadikan alasan pemerintah Kamerun menutup Masjid dan Islamic Center di wilayah bagian Barat negara itu dengan dalih untuk menghindari kenaikan serangan bom bunuh diri dari Boko Haram. Sebuah keputusan yang menuai protes keras dari para ulama dan muslim Kamerun.


Namun, apapun yang terjadi, Islam di Kamerun telah menorehkan tinta emas dalam memperjuangkan kemerdekaan, dan ummat Islam di sana, tentu tak akan tinggal diam, dan akan terus mengembalikan kejayaan masa lalunya.****

Senin, 12 September 2016

Masjid Jami Sultan Nata Warisan Kesultanan Sintang

Salah satu masjid tua dan bersejarah di provinsi Kalimantan Barat. Masjid Jami Sultan Nata dari Kraton Kesultanan Sintang.

Masjid Jamik Sultan Nata merupakan salah satu peninggalan sejarah di Provinsi Kalimantan Barat. Masjid ini terletak di sebelah barat Istana Al Mukarramah Kesultanan Sintang di Jalan Bintara No.22 Lingkungan 1 RT.02 RW.01 Kelurahan Kapuas Kiri Hilir, Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang.

Alamat Masjid Jami' Sultan Nata
Kapuas Kiri Hilir, Kecamatan Sintang
Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat 78615
Indonesia


Masjid Masjid Jamik Sultan Nata didirikan pada hari Senin 12 Muharram 1883 H atau 10 Mei 1672. Pembangunan itu bertepatan dengan penobatan Sultan Nata sebagai raja. Saat dinobatkan, usianya baru sepuluh tahun dan langsung dianugerahi gelar Sultan Nata Muhammad Syamsudin Sa’adul Khairiwaddin, sekaligus menjadi raja Islam ke-3 dalam sejarah Kesultanan Sintang.

Mengawali pembangunan masjid, didirikan sembilan tiang penyangga utama (soko). Pemasangan tiang tersebut selesai dalam satu malam di hari saat penobatan Sultan. Dan, pembangunan secara keseluruhan memakan waktu selama dua tahun. Masjid itu menjadi pusat penyebaran Islam di Sintang.

Di tepian sungai Kapuas, Masjid Jami Sultan Nata terlihat berjejer dengan Kraton Kesultanan Sintang

Membangun masjid sendiri merupakan salah satu dari tujuh kesepakatan kerabatan kesultanan yang harus dijalankan Sultan Nata begitu dinobatkan. Ketujuh kesepakatan itu meliputi mendirikan istana sebagai tempat tinggal raja, mendirikan masjid, membuat Undang-Undang (qanun), menulis silsilah raja, membuat jalan di sepanjang tepian sungai, raja bergelar Sultan, dan memerintahkan penghulu Luan mengambil Al Qur’an 30 juz tulisan tangan ke Banjar.

Pembangunan masjid dinilai sudah sangat mendesak saat Sultan Nata dinobatkan. Pasalnya jumlah umat Islam di Sintang mulai banyak tapi belum mempunyai masjid. Tempat beribadah dilangsungkan – seperti salat – masih di istana kesultanan. Tokoh dibalik pencetus pembangunan yaitu Senopati Laket dan Pangeran Mungkumilik. Keduanya mendampingi Sultan berhubung Sultan masih berusia belia.

Komplek Kraton Kesultanan Sintang. Di sebelah kiri foto adalah kraton Kesultanan Sintang, Berjejer dengan masjid Jami' Sultan Nata.

Masuknya Islam Ke Kerajaan Sintang

Sementara Islam mulai masuk ke Sintang sekitar abad ke-16. Tonggaknya yakni Raja Sintang ke-17 Pangeran Agung memeluk Islam. Ia pun menjadi Raja Sintang Islam pertama, sekaligus merupakan Raja Sintang Hindu terakhir. Penyebaran Islam ke Sintang dilakukan dua ulama besar. Mereka adalah Muhammad Saman dari Banjarmasin dan Encik Somad dari Sarawak Malaysia.

Sepeninggal Pangeran Agung, kekuasaan dilanjutkan putranya, Pangeran Tunggal. Raja Sintang Islam kedua ini, mempunyai dua orang putra, Pangeran Purba dan Abang Itut. Pengaruh Islam kian besar di Sintang. Seiring sudah berjalan di dua generasi kesultanan. Hanya saja masjid belum dibangun. Pangeran Purba menikah dengan Dayang Mengkuing, putri Raja Sanggau. Dia menetap di sana. Enggan kembali ke Sintang serta menolak mewarisi tahta kesultanan. Bahkan sampai dijemput kerabat kerajaan sekalipun, saat Pangeran Tunggal sakit keras.

Masjid Jami' Sultan Nata dari pintu gerbang

Hingga ajal menjemput Pangeran Tunggal, bujukan kepada Pangeran Purba tetap gagal. Sementara Abang Itut tak memungkinkan mewarisi tahta kesultanan lantaran sakit. Kondisi itu membuat kerabat kesultanan bermufakat untuk menentukan pengganti Pangeran Tunggal. Perundingan menghasilkan kesepakatan, pewaris kesultanan dicari dari keturunan saudara Pangeran Tunggal. Saudara Pangeran Tunggal adalah seorang perempuan bernama Nyai Cilik. Nyai Cilik bersuamikan Pangeran Mungkumilik dari Ambaluh (Kapuas Hulu). Buah pernikahan mereka melahirkan seorang putra, yakni Sultan Nata.

Sultan Nata yang masih berusia sepuluh tahun tetap dinobatkan sebagai Raja. Langkah itu diambil guna mengantisipasi kekosongan kekuasaan di Kesultanan Sintang. Hanya dalam memerintah dia didampingi dua kerabat istana, yakni Senopati Laket – yang dikenal karena kejujurannya – dan Pangeran Mungkumilik merupakan ayah dari Sultan Nata. Mereka berdua mendampingi sampai Sultan Nata berusia 20 tahun.

Interior Masjid Jami Sultan Nata

Renovasi Masjid Jami Sultan Nata

Masjid ini sudah mengalami lima kali renovasi dengan tidak mengubah bangunan aslinya. Bentuk bangunan dan ukurannya masih sama. Pertama dibangun, luasnya 20 x 20 meter. Renovasi tersebut dilakukan hanya pembangunan teras masjid saja. Penambahan itu sepenuhnya agar kapasitas daya tampung masjid memadai. Perluasan pertama masjid berlangsung di masa kepemimpinan Sultan Abdurrasyid. Dia adalah putra Sultan Abdurrahman. Sultan Abdurrahman menggantikan Sultan Nata.

Pada abad ke 18, renovasi dilakukan di masa kepemimpinan Adipati Muhammad Djamaludin yang bergelar Ade Moh Yasin. Ia merupakan anak dari Rahmad Kamarudin, pengganti Sultan Abdurrasyid. Lalu renovasi kembali dilakukan saat panembahan Abdurrasyid Kesuma 1 berkuasa. Dan, kemudian pada tahun 1994 dilakukan renovasi kembali atas bantuan dari pemerintah pusat. Tahun 2000, masjid ini dilengkapi dengan taman rumput yang cukup luas, dengan hiasan pohon-pohon palem yang rindang. Di bagian muka masjid, juga dibangun jembatan penyeberangan dari kayu yang menghubungkan masjid dan istana yang dipisahkan oleh jalan beraspal. Sejak tahun itu pula, masjid ini ditetapkan sebagai situs cagar budaya Kabupaten Sintang.

Bangunan masjid ini berarsitektur campuran, ada unsur Melayu, Jawa, maupun Timur Tengah. Konstruksi bangunannya terbuat dari kayu bulian, kayu yang tumbuh di bumi Kalimantan. Bentuk atap masjid bercirikan khas undak layaknya tajug pada arsitektur Jawa. Atap pertama dan kedua berbentuk limas, sedangkan atap ketiga berbentuk kerucut bersegi delapan. Meski telah berusia 3 abad lebih, Masjid Sultan Nata Sintang tetap kokoh berdiri. Menjadi tempat ibadah umat muslim, sekaligus sebagai saksi sejarah tentang perkembangan Islam di Sintang.

Masjid Kayu yang masih bertahan hingga kini

Arsitektur Masjid Jami Sultan Nata

Masjid Sultan Nata be-rsitektur rumah panggung khas pesisir sungai. Konstruksi bangunan masjid seluruhnya terbuat dari kayu dari pondasi hingga penutup atapnya. Masjid Sultan Nata sebetulnya telah mengalami beberapa kali renovasi, namun delapan tiang penyangga yang terbuat dari kayu belian tetap dipertahankan sesuai aslinya hingga saat ini. Tiang berupa kayu silinder setinggi lebih dari 10 meter tersebut tetap berdiri kokoh meski usianya telah melampaui tiga abad.

Bangunan masjid ini memiliki tiga susun atap. Atap pertama dan kedua berbentuk limas, sedangkan atap ketiga berbentuk kerucut bersegi delapan. Bentuk atap kerucut ini juga dipakai pada atap dua menara kembar yang berada di samping masjid. Tiap bagian di dalam masjid dibalut dengan cat warna putih dengan sedikit garis-garis hijau di beberapa bagian, seperti pada jendela, dasar tiang, serta dinding. Sebagai pemanis hiasan, korden penutup jendela dipilih yang berwarna kuning, warna khas Melayu. Sementara di pojok masjid. Di masjid ini juga terdapat bedug berusia ratusan tahun yang terbuat dari sebatang pohon utuh.

Di masjid ini, para pelancong dapat menyaksikan susunan penghulu/menteri agama Kerajaan Sintang dari masa ke masa. Selain itu, takmir masjid juga menyediakan buku sederhana yang menceritakan sejarah berdirinya masjid serta renovasi-renovasi yang pernah dilakukan.***

Baca Juga


Minggu, 11 September 2016

Masjid Jami’ Kesultanan Sambas – Kalimantan Barat

Masjid Jami' Kesultanan Sambas (foto: duniamasjid.islamic-center.or.id)

Masjid Agung Jami’ Kesultanan Sambas atau Masjid Jami’ Sultan Muhammad Syafiuddin II di Kabupaten Sambas, atau Masjid Agung Kraton Sambas, merupakan bangunan masjid warisan dari kesultanan Sambas di provinsi Kalimantan Barat. Pada masanya masjid ini merupakan masjid resmi Kraton Kesultanan Sambas. Masjid tua yang dibangun dengan menggunakan kayu kayu ulin dan masih berdiri kokoh hingga kini meski sudah berusia lebih dari seabad, menjadikannya sebagai masjid tertua di Kabupaten Sambas dan Kalimantan Barat. Masjid tua ini kini menjadi aikon pariwisata pemerintah Kabupaten Sambas.

Lokasi Masjid Agung Jami’ Sultan Muhammad Tsafiuddin

Masjid agung kesultanan Sambas ini berdiri di dalam komplek Istana Alwatzikhoebillah, keraton kesultanan Sambas, di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasinya berada di lokasi yang sangat strategis di pertigaan Sungai Sambas atau yang lebih dikenal dengan Muare Ulakan.

Alamat Masjid Jami' Kesultanan Sambas
Jl. Istana, Dalam Kaum, Kecamatan Sambas
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat 79462
Indonesia

  
Rute perjalanan : Kabupaten Sambas berjarak sekitar 225 kilometer di sebelah utara dari Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Pontianak, dapat mengunakan bus antar ke kota menuju kota Sambas dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Dari pusat Kota Sambas, dilanjutkan menggunakan bus atau minibus menuju Istana kawasan keraton Kesultanan Sambas, Istana Alwatzikhoebillah.

Tradisi Idul Fitri Masjid Agung Jami’ Sultan Muhammad Tsafiuddin II

Di malam idul fitri masjid Kesultanan Sambas ini menyelenggarakan acara takbiran yang dilaksanakan bakda sholat isya. Pelaksanaan takbiran ini dilaksanakan bersamaan di dalam masjid kraton dan takbir keliling menggunakan kendaraan roda empat berpawai sambil menggemakan takbir ke seluruh pelosok Kota Sambas dan sekitarnya. Tradisi ini sudah dilaksanakan bertahun tahun secara turun temurun.

Sejarah Masjid Agung Jami’ Sultan Muhammad Tsafiuddin II

Masjid Agung Jami’ Sultan
Syafiuddin II di dirikan tahun 1303 Hijriah atau 10 Oktober 1885 Masehi, menjadikan masjid ini sebagai masjid tertua di Kabupaten Sambas dan merupakan salah satu masjid tertua di Provinsi Kalimantan Barat. Masjid kesultanan ini sejak awal pendirian nya sudah menjadi pusat penyebaran agama Islam di wilayah Kesultanan Sambas hingga ke Brunai dan Malaysia, karena memang dalam sejarahnya Kesultanan Sambas memiliki keterkaitan dengan kraton kesultanan Brunai Darussalam.

Masjid Jami' Kesultanan Sambas (foto: wikipedia)

Sejarah masjid ini tak terlepas dari sejarah
Kesultanan Sambas. Sejarah Kesultanan Sambas bermula sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit di abad ke 16. Di awali dengan pernikahan anak perempuan Raja Mapahit bernama Ratu Tengah (Ratu Surya) putri kerajaan Tanjungpura (Sukadana) dengan Pangeran dari Kesultanan Brunai Darussalam bernama Sultan Raja Tengah. Sultan Raja Tengah merupakan putra dari Sultan Brunai Darussalam, Sultan Abdul Jalilul Akbar yang berkuasa tahun 1598-1659. Sultan Abdul Jalilul Akbar sendiri merupakan keturuan ke sepuluh dari Sri Paduka Sultan Muhammad, Raja Brunai yang berkuasa di abad ke 13. dari pernikahan tersebut lahirlah Raden Sulaiman.

Raden Sulaiman kemudian menikah dengan Mas Ayu Bungsu anak Ratu Sepudak, Ratu Sepundak merupakan ratu keturuan Majapahit dan berkuasa di Kerajaan Sambas dan masih menganut Agama Hindu dengan pusat pemerintahan di Kota Lama (kini berada di kecamatan Teluk Keramat, 30 KM dari Kota Sambas). Tahun 1630 Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas yang berazaskan Islam, beliau dinobatkan menjadi Sultan pertama Kesultanan Sambas di Muara Ulakan, dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Sejak saat itu Islam semakin berkembang di wilayah Sambas.

Berikut silsilah Sultan yang berkuasa di Kesultanan Sambas (diambil dari www.lepmida.com) : 
  1. Sultan Muhammad Syafiuddin I (1630-1670),
  2. Sultan Muhammad Tajuddin (1670-1708),
  3. Sultan Umar Akamuddin I (1708-1732),
  4. Sultan Abubakar Kamaluddin I (1732-1762),
  5. Sultan Umar Akamuddin II (1762-1793),
  6. Sultan Abubakar Tajuddin I (1790-1814),
  7. Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I (1814-1828),
  8. Sultan Usman Kamaluddin (wali sultan, 1828-1832),
  9. Sultan Umar Akamuddin III (wali sultan,1832- wafat 22 Desember 1846),
  10. Sultan Abu Bakar Tadjuddin II (1846-1854),
  11. Sultan Umar Kamaluddin (1854-1866),
  12. Sultan Muhammad Syafiuddin II (1866-1924),
  13. Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin II (1924-1926),
  14. Sultan Muhammad Ibrahim Syafiuddin (1926-1944),
  15. Sultan Muhammad Taufik (1944-1984),
  16. Pangeran Ratu Winata Kusuma (1984).
Bila membaca silsilah sultan yang berkuasa seperti tersebut diatas (meski terdapat tumpang tindih tahun berkuasa sultan sultan tersebut dengan data sumber lain) sangat jelas bahwa masjid tersebut diresmikan di masa pemerintahan Sultan Muhammad Syafiuddin II.  Bila merujuk kepada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa masjid tersebut dibangun oleh sultan ke delapan dari keturunan langsung sultan Sambas, sepertinya memang masih butuh data tambahan untuk memastikan 4 sultan Sambas yang bukan keturunan langsung dari sultan Sambas pertama.

Masjid Jami' Kesultanan Sambas (foto:  google user Aji Ervanto)

Sumber lain menyebutkan (termasuk sumber di wikipedia dan buku masjid masjid bersejarah di Indonesia) bahwa :

“Masjid Jami Keraton Sambas ini awalnya merupakan rumah sultan yang kemudian dijadikan musala. Dibangun oleh Sultan Umar Aqomuddin yang memerintah Negeri Sambas pada tahun 1702-1727 Masehi, kemudian masjid kecil itu direnovasi oleh putranya, Sultan Muhammad Syafiuddin”

Sepertinya membutuhkan validasi lebih lanjut mengingat bila kita menghitung tarikh peresmian masjid di tahun 1885 dengan masa ahir pemerintahan Sultan Umar Aqomudin tahun 1727 itu terpaut  158 tahun. Bila ditambahkan lagi dengan sisa masa jabatan Sultan Muhammad Syafiuddin II selama 39 tahun, bermakna bahwa Sultan Muhammad Syafiuddin II memiliki usia yang begitu panjang paling tidak lebih dari 197 tahun. Wallohua’lam Bisshawab.

Arsitektur Masjid Agung Jami’ Sultan Muhammad Tsafiuddin II

Masjid Agung Jami’ Sultan Muhammad Syafiuddin II mampu menampung jemaah sekitar 1000 orang, namun dengan kondisi masjid keraton ini yang sudah begitu tua dan berbentuk rumah panggung dikhawatirkan tidak mampu lagi menampung jemaah sejumlah itu. Bangunan masjid Jami kesultanan Sambas ini dibangun berbahan kayu ulin dengan bentuk atap tajuk bertingkat seperti masjid masjid tradisional di Jawa, namun dibangun dalam bentuk bangunan bertiang. Masjid ini dilengkapi dengan dua bangunan menara yang tidak begitu tinggi lengkap dengan balkoni.

Dibutuhkan perhatian dari pemerintah untuk perawatan dan pelestarian masjid bersejarah ini, bantuan terahir diterima oleh pengurus Masjid dari Pemkab Sambas tahun 2006 itupun bukan bantuan khusus melainkan bantuan yang diprogramkan untuk seluruh masjid di Kabupaten Sambas. ***