Jumat, 26 Oktober 2012

Masjid internasional Dubai Phnom Penh – Kamboja (bagian 1)

Masjid Nurul Ihsan atau Intenational Dubai Phnom Penh Mosque atau juga kadang disebut sebagai Boeng Kak Lake Mosque karena memang lokasinya berdiri di tepian sebelah timur danau Boeng Kak di Kota Phnom Penh. Masjid ini sebenarnya kini sudah diruntuhkan dan dalam proses pembangunan ulang.

Nama masjid ini sebenarnya adalah Masjid Nurul Ihsan namun lebih sering disebut sebagai International Dubai Phnom Penh Mosque, merupakan masjid terbesar di kota Phnom Penh ibukota Kamboja. Berlokasi di sisi timur danau Boeng Kak di pusat kota Phnom Penh. Sayangnya keberadaan masjid ini jauh dari perhatian pemerintah, kondisinya kurang mendapatkan perawatan yang semestinya, cat dinding tampak kusam dan terkelupas di sana sini, maklum karena memang statusnya yang bukan sebagai Masjid Negara, mengingat muslim di Cambodia merupakan pemeluk agama Minoritas.

Danau Boeng Kak di kota Phnom Penh ini tadinya merupakan salah satu tempat paling popular di kota itu terutama bagi para pengelana berkantong pas pasan. Di sekitar danau ini bertaburan pondok pondok penginapan bertarif murah dengan pemandangan danau yang alami, termasuk Masjid Nur Ihsan yang berdiri di sisi timur danau ini tak luput dari objek foto menarik bagi para pengelana yang menginap di daerah tersebut.

Objek Wisata ::: dulu, Danau Boeng Kak ini merupakan salah satu objek wisata andalan kota Phnom Penh terutama untuk para back packer karena tersedia begitu banyak penginapan murah disekitar danau ini. Pemandangan alami danau yang memang di 'terkesan kumuh" di tengah kota Phnom Pen, menjadi daya tarik tersendiri. Sementara Masjid Nurul Ihsan di sisi timur danau ini menjadi salah satu objek foto pavorit para pengelana.

Sejak tahun 2007 lalu pemerintah Kamboja telah menjalankan rencana untuk mengubah kawasan tersebut menjadi kawasan bisnis dan hunian mewah. Danau Byoeng Kak sudah ditimbun dengan pasir sedot dari danau Tonle Sap dan Sungai Mekong. Bangunan Masjid Nurul Ihsan juga sudah dirobohkan tahun 2011 lalu dan sedang dalam proses pembangunan kembali menjadi sebuah masjid yang lebih besar dan lebih megah. Nantinya bila sudah selesai masjid ini mampu menampung lebih dari 1000 (seribu) jemaah sekaligus dan akan menjadi masjid terbesar dan termegah di Kamboja.

Lokasi dan Alamat masjid Nur Ihsan

International Dubai Phnom Penh Mosque
Phnom Penh  016 277 788
No. 1, Maot Chrouk (St. 86), Srah Chak commune
Phnom Penh’s Daun Penh district. Phnom Penh. Cambodia
Behind Phnom Penh Hotel, 12201


Masjid Masjid di Kota Phom Penh

Komunitas muslim di Kamboja cukup besar dalam angka meskipun sangat kecil dalam persentase terhadap jumlah total populasi negara tersebut. Di pusat kota Phnom Penh sendiri diketahui secara umum ada dua masjid yakni Masjid Internasional Dubai Phnom Penh dan masjid Al-Azhar yang ukurannya lebih kecil. Namun berdasarkan catatan Yellow pages, di Phnom Penh ada 6 Masjid masing masing adalah :

(1).  International Dubai Phnom Penh Mosque
Phnom Penh  016 277 788. No. 1, Maot Chrouk (St. 86), Behind Phnom Penh Hotel, 12201
(2). Masjid Jami Saad Bin Abi Wakkas
Phnom Penh  016 826 768. No. 3, Street 173 Tuol Svay Prey I commune 12308 Chamkarmorn district, Pnom Penh.
(3). Masjid Al - Rahmah (Mukdach)
Phnom Penh  012 223 493. Tonle Sap (Rd.), Village 3, Sangkat Chroy Changvar, 12110
(4).  Masjid Jami'ul Islam (Toul Tumpoung)
Phnom Penh  012 688 499. No. 3, St. 173, Sangkat Toul Svay Prey 1, 12308
(5).  Masjid  Al - Azhar (Kolalaom)
Phnom Penh  012 582 559. Mekong River (Rd.), Village 2, Chroy Changvar,
(6).  Masjid  Al - Mukarram (Prek Raing)
Phnom Penh  011 894 257. Prek Tasek (St.), Prek Raing Village, Sangkat Prek Tasek

Boeng Kak Lake Mosque ::: dibangun pertama kali tahun 1968, di renovasi total tahun 1990 dengan bantuan dana dari Uni Emirat Arab, Dirobohkan tahun 2011 untuk dibangun kembali sebagai masjid terbesar dan termegah di Kamboja dengan dana juga dari Uni Emirat Arab.

Selain masjid masjid tersebut, di pinggiran kota Phnom Penh bertabur bangunan masjid, terutama di kawasan berpenduduk mayoritas muslim seperti di Kilometer ke 7 hingga kilometer ke 9, ke arah kota Uodong di Utara kota Phnom Penh. Diantara masjid masjid tersebut yang paling tua adalah Masjid Nurul Ihsan di Chrang Chamres yang berada di Kilometer ke 7 dari kota Phnom Penh. Masjid tersebut pertama kali dibangun tahun 1813 dan lolos dari penghancuran Rezim Komunis Khmer Merah, meski sempat dijadikan kandang babi. 

Masjid, Saksi Keteguhan Muslim Kamboja

Kekejaman rezim Pol Pot terhadap rakyat Kamboja meninggalkan bekas mendalam di negeri itu terutama bagi ummat Islam. belakangan diketahui bahwa Pol Pot dan rezimnya memang menarget ummat Islam di Kamboja untuk dibersihkan dari negeri itu karena dianggap bukan bagian dari Kamboja. Berbagai laporan tentang jumlah pasti korban pembantaian yang dilakukan oleh “Jagal Indocina” itu memang tak ada yang sama. Diperkirakan 2 juta penduduk Kamboja meregang nyawa dan hampir 500 ribu diantaranya adalah penduduk muslim.

Tampak Depan ::: kondisi masjid ini memang cukup memprihatinkan, kerusakan disana sini termasuk catnya yang mengelupas termakan usia tanpa perawatan. wajar bila kemudian Penyandang dana dari Uni Emirat Arab lebih memilih untuk merobohkan bangunan ini dan membangun ulang masjid baru di lokasi yang sama.

Kuburan kuburan massal para korban masih saja terus ditemukan termasuk temuan tanpa sengaja saat penggalian pondasi bagi pembangunan gedung kawasan bisnis di kota Phnom Penh. Kerangka manusia ditemukan bertumpuk dalam satu liang, sebagian besar dari mereka dalam kondisi tangan terikat ke belakang dan mata tertutup. Dari kalangan ummat Islam sendiri hanya tersisa 21 orang imam, salah satu diantaranya adalah imam masjid di Kilometer 7 Phnom Penh.

Sebuah keteguhan yang luar biasa dalam mempertahankan Aqidah ditunjukkan oleh imam Masjid Nurul Ihsan di KM 7 ini ketika di tahun 1981, dua tahun setelah runtuhnya rezim Khmer Merah, wartawan Indonesia Sabam Siagian berkunjung kesana dan mewawancarai Imam Masjid tersebut dan luar biasanya meski mereka baru saja mengalami peristiwa pembantaian paling memilukan sepanjang sejarah Indocina.

Boeng Kak lake Land Mark ::: setelah sekian lama menjadi penanda di sisi timur danau Boeng Kak Masjid Nurul Ihsan di bongkar tahun 2011 lalu, begitu pun dengan danaunya yang ditimbun oleh pemerintah Kamboja lalu lahan hasil reklamasi tersebut disewakan selama 99 tahun kepada pihak swasta untuk dijadikan kawasan bisnis dan hunian mewah.

Imam masjid ini sama sekali tidak meminta bantuan kemanusiaan yang semestinya merupakan hal yang paling utama mereka butuhkan saat itu, tapi beliau justru meminta dibantu segera memperbaiki masjid masjid mereka yang hancur.

“mereka (khmer merah) anti agama dan tidak bisa menerima kehadiran muslim champa disini”. Lebih lanjut beliau meminta Sabam Siagian untuk menyampaikan kepada rakyat Indonesia bahwa mereka membutuhkan bantuan financial untuk membangun kembali masjid masjid mereka yang hancur, juga meminta dikirimi kitab suci Al-Qur’an, guru guru agama serta kemungkinan bagi mereka untuk menunaikan ibadah Haji ke Mekah***.


Bersambung ke Bagian 2.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Islam & Masjid di Kamboja (bagian 2)

Peta Kerajaan Kamboja.

Muslim Kamboja di bawah Rezim Khmer Merah

Keadaan berubah ketika Khmer Merah yang berfaham Komunis mengambil alih kekuasaan negara di tahun 1975. Awalnya Khmer Merah berdiri di tahun 1968 sebagai organisasi cabang dari Tentara rakyat Vietnam yang kala itu berkuasa di Vietnam Utara.  Pergolakan politik di Kamboja memang cukup rumit. Setelah merdeka dari Prancis, Negara ini berkali kali mengalami pergolakan politik dan kudeta.
 
Di tahun 1970 tepatnya tanggal 18 Maret 1970 Jenderal Lol Nol bersama Pangeran Sisowath Sirik Matak dengan dukungan  Amerika melakukan kudeta dan menggulingkan kekuasaan pangeran Norodom Sihanouk, peristiwa yang terkenal dengan sebutan Cambodian coup . Tujuh bulan setelah itu tepatnya tanggal 9 Oktober 1970 mereka memproklamasikan pendirian Negara Republik khmer, Jenderal Lon Nol sebagai kepala Negara dan pangeran Sisowath Sirik Matak sebagai Perdana Menteri.
 
Negara Republik khmer berahir pada tanggal 17 April 1975 ketika pasukan Khmer Merah yang berkoalisi dengan pangeran Norodom Sihanouk berhasil menguasai kembali ibukota Phnom Penh. Khmer Merah kemudian mendirikan Negara Demokratik Kampuchea, pangeran Norodom Sihanouk bertindak sebagai kepala negara namun kemudian malah tersingkir tanggal 2 April 1976, Khmer Merah mengendalikan pemerintahan Negara secara utuh dibawah kendali Pol Pot, Nuon Chea, Ieng Sary, Son Sen, dan Khieu Samphan. Sedangkan Pol Pot bertindak sebagai Kepala Negara.

Khmer Merah berupaya mengembalikan kejayaan pertanian Kamboja seperti yang pernah terjadi di abad ke sebelas dengan mengerahkan seluruh kekuatan rakyat ke lahan pertanian. Yang terjadi selanjutnya justru adalah malapetaka tak terperikan bagi rakyat Kamboja. Khmer Merah melakukan pembantaian secara massif terhadap rakyat Kamboja selama mereka berkuasa dari tahun 1975 hingga tahun 1979. Diperkirakan dua juta rakyat Kamboja terbunuh, dan 500 ribu diantaranya adalah warga muslim Kamboja, di samping itu juga terjadi pembakaran masjid, madrasah dan mushaf serta pelarangan menggunakan bahasa Champa.
 
Khmer Merah  telah menghancurkan setidaknya 132 masjid, muslim dilarang beribadah. Paska keruntuhan Khmer Merah di Phnom Penh tersisa 6 masjid saja dan dari ratusan ulama Islam hanya tersisa 20 orang saja yang selamat dari pembantaian. Selama kekuasaan rezim Khmer Merah terjadi gelombang pengungsian besar besaran Muslim Champa di Kamboja ke Berbagai Negara. Sebagian kecil dari mereka tiba di Laos dan membentuk komunitas muslim dan menetap disana hingga kini sebagaimana sudah di ulas dalam tulisan sebelumnya. (Baca Islam dan Masjid di Laos bagian 1 dan bagian 2).
 
Kekuasaan Khmer merah berahir, ketika pasukan Vietnam menginvasi Kamboja, dan meletuskan perang Kamboja-Vietnam. Pasukan Vietnam berhasil menguasai ibukota Phnom Penh tanggal 7 Januari 1979, dan membentuk pemerintahan baru. Pasukan Vietnam bertahan di Kamboja hingga tahun 1989, sampai kemudian Pasukan Internasional dibawah kendali UNTAC mulai masuk ke Kamboja di tahun 1979 termasuk di dalamnya adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Kontingen Pasukan Garuda XII.

Tahun 1979 Vietnam Menginvasi Kamboja, dan di tanggal 7 Januari 1979 pasukan Vietnam berhasil menguasai kota Phnom Penh, mengahiri kekuasaan rezim Khmer Merah yang kemudian menjalankan pemerintahan di pengungsian, namun perang baru justru baru di mulai.

Muslim Kamboja Hari ini

Paska peristiwa mengerikan tahun 1970-an tersebut, secara umum keadaan penduduk Kamboja mulai membaik dan kaum Muslimin dapat melakukan kegiatan keagamaan mereka dengan bebas, mereka telah memiliki 268 masjid, 200 mushalla, 300 madrasah Islamiyyah dan satu markaz penghafalan Al Qur’anulkarim. Selain itu mulai bermunculan organisasi-organisasi keislaman, diantaranya adalah Islamic National Movement for Democracy of Cambodia, yang di ketuai oleh Sary Abdullah.

Kemiskinan masih mendera Negara Kamboja termasuk sebagian besar muslim disana. Diperparah lagi dengan keterpencilan mereka dari pusat pemerintahan Negara. Rendahnya akses terhadap kebutuhan infrastuktur yang mendasar seperti jalan raya, air bersih, listrik telekomunikasi hingga surat kabar.  Masalah finansial turut mendera pendidikan bagi anak anak muslim disana, gaji para tenaga pengajar tidak mencukupi kebutuhan keluarga mereka, kurikulum pendidikan agama sangat kurang dan tidak baku.

Setiap sekolah ditangani oleh seorang guru yang membuat kurikulum sendiri yang umumnya masih lemah dan kurang, bahkan ada beberapa sekolah diliburkan lantaran guru-gurunya berpaling mencari pekerjaan lain yang dapat menolong kehidupan mereka. Mereka juga sangat membutuhkan adanya terjemah Al Qur’anulkarim dan buku-buku Islami, khususnya yang berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum Islam.

Muslimah Kamboja dapat dikenali dengan busana muslim yang mereka pakai, tampak hadir bersama masyarakat Kamboja lainnya dalam perayaan hari jadi raya Kamboja yang diselenggarakan secara nasional.

Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh Nos Sles (Nuh Saleh), Director of Deparatment of Education and Human Resources di Cambodian Muslim Development Foundation saat berkunjung ke PBNU Jakarta, Jumat, 5 Oktober 2012 yang lalu. Nos Sles menjelaskan Muslim Kamboja masih hidup di bawah garis kemiskinan. Rata-rata adalah petani, dan sebagian menjual kue kecil-kecilan. Ia sangat berharap, lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia bisa memberikan beasiswa kepada anak-anak muda Muslim Kamboja. Lebih jauh, Nos Sles menceritakan umat Muslim di Kamboja. Selama ini, yang banyak memberikan bantuan dalam pendidikan adalah Malaysia dan negara-negara Timur Tengah.

Hingga tahun 2005, jumlah pemukiman Muslim di Kamboja telah mencapai 417 desa, dengan rata-rata tiga hingga tujuh sekolah Islam di setiap desa. Saat ini kaum Muslimin Kamboja berpusat di kawasan Free Campa bagian utara sekitar 40 % dari penduduknya, Free Ciyang sekitar 20 % dari penduduknya, Kambut sekitar 15 % dari penduduknya dan di Ibu Kota Pnom Penh hidup sekitar 30.000 Muslim. Di kota Phnom Penh sendiri terdapat setidaknya enam Masjid, yang terbesar adalah Masjid Nurul Ikhsan atau Lebih dikenal sebagai International Dubai Phnom Penh Mosque di tepian Danau Boeng Kak, kota Phnom Penh.

Pemerintah Kamboja kini berinisiatif  memuluskan toleransi bagi muslim di Kamboja. Dari pihak pemerintah, Perdana Menteri Hun Sen memerintahkan pembangunan masjid dan memberi saluran udara gratis bagi Muslim untuk menyiarkan program-program khusus Islam. Beberapa waktu lalu, pemerintah setempat mengijinkan siswa Muslim yang ingin mengenakan atribut Islam termasuk jilbab. Tak hanya itu, Muslim pun menikmati hak-hak politik mereka. Ada lebih dari selusin Muslim yang kini bertugas di lembaga-lembaga politik papan atas negara, mulai dari Senat, Dewan Perwakilan. Senator Premier (salah satu anggota senat) pun memiliki penasihat khusus urusan Muslim.

suasana Sholat Zuhur di Masjid Al-Azhar, salah satu masjid di Kota Phnom Penh, Ibukota Kamboja.

Tiga Kelompok Muslim Kamboja

Sebagaimana dijelaskan oleh Sary Abdullah dari Islamic National Movement for Democracy of Cambodia, muslim Kamboja terbagi dua kelompok, yakni Muslim Suni yang menjalankan Islam sesuai dengan syariat sama seperti yang dilaksanakan oleh muslim Arab, dengan persentase sekitar 70% dari keseluruhan Muslim Kamboja. Dan ada kelompok ke dua yakni sekelompok muslim Fojihed sekitar 5% dari Muslim Kamboja yang masih mengikuti ajaran dan tradisi lama sebelum Islam terutama dalam hal supranatural dan kekuatan sihir. Sebuah tradisi yang juga menjangkiti sebagian kecil dari muslim Indonesia.

Selain dari itu bila di elaborasi lebih jauh berdasarkan latar belakang etnis (asal negara serta bahasa ibu yang digunakan) serta tata cara peribadatan mereka sehari hari, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yakni : dua kelompok muslim yang tadi sudah dijabarkan oleh Sary Abdullah. Serta kelompok ketiga yang disebut kelompok muslim Chvea, yang merupakan muslim Kamboja bukan dari etnis Champa, juga tidak berbahasa Champa. Muslim Chvea ini adalah muslim yang berasal dari Indonesia terutama dari tanah Jawa, jumlah mereka ada sekitar 20 hingga 25% dari total keseluruhan muslim Kamboja saat ini. Mayoritas dari mereka tinggal di sekitar Battambang. Pemerintah Kamboja menyebut keseluruhan Muslim Kamboja ini sebagai “Khmer Muslim”.

Suasana Kampong Cham.
Hubungan Indonesia dan Kamboja

Indonesia dikenang dengan manis oleh rakyat Kamboja. Menjelang kemerdekaannya, Indonesia banyak membantu negara Kamboja ini. Buku - buku taktik perang karangan perwira militer Indonesia banyak digunakan oleh militer Kamboja. Oleh karenanya, para calon perwira di militer Kamboja, wajib belajar dan dapat berbahasa Indonesia. Semasa bergejolaknya perang saudara di Kamboja, tahun 1992-1993 Indonesia secara resmi lima kali mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Kamboja yang tergabung dalam Kontingen Garuda XII/A,B,C,D dan  Garuda XII (Civpol) di bawah misi UNTAC.

Selain masalah politik, Indonesia juga memiliki peran besar dalam bidang kebudayaan yakni dalam program restorasi Candi Angkor Wat yang lapuk dimakan zaman dan rusak akibat perang. Candi Angkor Wat yang sudah terkenal ke mancanegara itu dibangun oleh Suryawarman II putra dari Raja Jayawarman II tahun 7770, setelah menimba ilmu arsitektur cukup lama di kerajaan Mataram Hindu di pulau Jawa. Maka tak heran bila kemudian Kalangan sejarawan seperti David Chandler, menganggap bahwa Angkor Wat itu merupakan pasangan dari Candi Borobudur. 

KBRI di Phnom Pehn telah sejak lama membuka Pusat Kebudayaan Indonesia dengan program kursus bahasa Indonesia, tari dan drama, diikuti oleh puluhan warga Kamboja. Mereka menunjukkan minat yang besar terhadap kebudayaan Indonesia. Muslim disana berharap masyarakat Islam Indonesia khususnya bisa memberikan beasiswa bagi para siswa Muslim Kamboja, terutama yang berada di Kampong Cham. Hingga kini kitab kitab tulisan Ulama Indonesia masih menjadi rujukan pengajaran Islam disana termasuk penggunaan aksara Jawi (aksara arab pegon). Diantara kitab kitab yang masih dipakai adalah Tanbihul Ghofilin, kitab fiqah (fikih) Sabilul Muhtadin karya Syekh Arsyad Al Banjari (Banjar Kalimantan Selatan). Suatu hal yang menunjukkan begitu dekatnya muslim Kamboja dengan Muslim Indonesia.***

Islam & Masjid di Kamboja (bagian 1)

Kamboja diantara negara negara tetangganya di Indocina

Kamboja atau Cambodia merupakan negara  monarki konstitusional di Asia Tenggara, penerus Kekaisaran Khmer yang pernah menguasai seluruh semenanjung Indochina antara abad ke-11 dan 14. Kamboja memperoleh kemerdekannya dari Prancis pada tanggal 9 November 1953. Prancis berkuasa di Kamboja sejak tahun 1863 dan memasukkannya ke dalam bagian dari koloni Prancis di Indochina (French Indochina) bersama dengan Laos dan Vietnam, sejak itu Kamboja menjadi sebuah kerajaan konstitusional dibawah kepemimpinan Raja pertamanya, Norodom Sihanouk.
 
Kamboja ber-ibukota di Phnom Penh, kepala negaranya saat ini dipegang oleh Norodom Sihamoni yang merupakan putra dari Raja Norodom Sihanouk, sedangkan jabatan perdana menteri dipegang oleh Hun Sen.  Sejak tanggal 16 Desember 1998 Kamboja bergabung menjadi anggota Asean ke sepuluh.  Secara geografis, Kamboja berbatasan langsung dengan Thailand di sebelah barat, Laos di utara, Vietnam di timur, dan wilayah sisi selatannya menghadap ke Teluk Siam. Sungai Mekong dan Danau Tonle Sap melintasi negara ini.
 
Tahun 2011 yang lalu Kamboja sempat terlibat pertikaian bersenjata dengan Thailand di sekitar Kuil Preah Vihar. Perselisihan kedua negara bertetangga ini memang sudah berlangsung sejak lama meski di tahun 1962 Mahkamah Internasional telah menetapkan Kuil Preah Vihar adalah milik Kamboja, namun perselisihan tak berhenti disitu. Di tahun 2011 lalu baku tembak antara militer dua negara tak terhindarkan, mengundang keprihatinan banyak pihak. Pertempuran ahirnya berhenti namun Kamboja seringkali menutup akses dari Thailand menuju kuil yang memang hanya terpaut beberapa puluh meter dari garis perbatasan dua negara bertetangga tersebut.


Masjid An-Nikmah, Potiin, di Kampong Cham

Thailand dan Kamboja memiliki akar yang sama, kedua negara ini sama sama mengklaim diri sebagai pewaris kerajaan Khmer yang pada awal mulanya didirkan di Laos Utara tahun 657 oleh Jayavarman I sampai kemudian wilayahnya mencakup hampir keseluruhan kawasan Indochina hingga sebagian kecil wilayah utara Malaysia. Kuil Preah Vihar yang disebutkan tadi merupakan salah satu peninggalan masa kejayaan kerajaan Khmer. Sekitar 95% penduduk Kamboja merupakan etnis Khmer dan secara tradisi turun temurun menganut Agama Budha Theravada, sama seperti mayoritas penduduk Thailand, Laos dan Vietnam.
 
Agama Budha Theravada telah menjadi agama resmi Kamboja sejak abad ke 13 Masehi kecuali semasa kekuasaan Khmer Merah.  Agama Budha sudah di anut oleh sebagian besar rakyat Kamboja sejak abad ke 5 Masehi bahkan beberapa sumber lain menyebut jauh lebih tua dari itu. Namun diantara penduduk mayoritas Budha tersebut terdapat komunitas muslim dengan jumlah mencapai setengah juta jiwa, beberapa sumber bahkan menyebut angka yang jauh lebih besar dari itu.
 
Islam di Kamboja
 
Merujuk kepada situs CIA World Fact Book, tahun 1999 penduduk muslim di Kamboja mencapai 2.1% dari total penduduk Negara tersebut. Dan di tahun 2008, diperkirakan Muslim di Kamboja mencapai 321.000 jiwa. Mayoritas Muslim di Kamboja adalah muslim Sunni bermadzhab Syafi’i yang kebanyakan tinggal di provinsi Kampong Cham, provinsi seluas 9.799 km2 dan didiami 1.680.694 jiwa (data tahun 2008).
 
Menurut data Pew Research Center tahun 2009, jumlah Muslim di Cambodia mencapai 236 ribu atau 1,6% dari populasi Negara itu. Namun, menurut Ketua Senat Mahasiswa Muslim Kamboja, Sles Alfin (Saleh Arifin), populasi Muslim di negaranya diperkirakan mencapai 5%. Kebanyakan dari mereka ber-etnis Champa dan Melayu yang merupakan etnis minoritas di Kamboja. Sedangkan situs internet voa-islam menyebut angka yang jauh lebih tinggi, menurut mereka muslim Kamboja mencapai 6% dari total 11,4 juta jiwa penduduk Kamboja atau setara dengan 680.000 jiwa.

Sejarah Islam di Kamboja

Kamboja seringkali di identikkan dengan Kerajaan Islam Champa, meskipun fakta sejarah menunjukkan bahwa Kerajaan Champa berkuasa di wilayah yang kini kita kenal sebagai Vietnam, di sebelah timur Kamboja. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai dua kerajaan yang bertetangga interaksi antara penduduk dua negara ini terjadi sangat intensif dan sejarah Islam di Kamboja memang tak bisa dilepaskan dengan sejarah kebesaran Kerajaan Islam Champa yang berpusat di Vietnam tersebut.
 
Interaksi antara dua kerajaan ini memang terjalin dengan baik. Manakala kerajaan Champa mengalami kemunduran di penghujung abad  ke 17 akibat serangan kerajaan Vietnam dari dinasti Nguyen, banyak muslim Champa yang mengungsi ke Kamboja. Terlebih lagi setelah status Champa sebagai sebuah wilayah otonom bawahan Vietnam dibubarkan paksa di awal abad ke 19.
 
Muslim Champa diterima dengan baik di Kamboja, beberapa sumber bahkan menyebutkan beberapa petinggi kerajaan Champa yang turut mengungsi kemudian juga mendapatkan jabatan terhormat di kerajaan Kamboja. Selain muslim Champa, Muslim Melayu dari kepulauan Indonesia dan semenanjung Malaysia juga memasuki Kamboja sejak masa kejayaan Champa disekitar abad ke 15 masehi.  Muslim Arab, imigran dan Anak Benua India, dan pribumi yang masuk Islam juga menjadi bagian dari komunitas Muslim di Kamboja saat ini. Mereka tersebar di seluruh wilayah Kamboja, terutama di sepanjang sungai Mekong. Muslim Kamboja rata-rata bekerja di bidang perdagangan, pertanian, dan perikanan.


Masjid Nurul Ikhsan atau Lebih dikenal sebagai International Dubai Phnom Penh Mosque di tepian Danau Boeng Kak, kota Phnom Penh.

Sebelum terjadinya tragedi pembantaian oleh Khmer Merah di tahun 1975 di perkirakan terdapat 150 ribu hingga 200 ribu muslim di Kamboja beberapa sumber lain bahkan menyebut angka hingga 700 ribu jiwa. Di sekitar tahun 1962 di terdapat sekitar 100 masjid di Kamboja dan meningkat di tahun 1975 terdapat 120 masjid, 200 musholla dan 300 madrasah serta satu sekolah penhafal Al’qur’an serta ratusan guru agama dan 300 khatib. Banyak di antara guru-guru tersebut yang belajar di Malaysia dan universitas-universitas Islam di Kairo, India atau Madinah.
 
Mereka membentuk komunitas muslim Kamboja dibawah kendali empat jabatan tokoh masyarakat muslim yang terdiri dari mupti, tuk kalih, raja kalik, dan tvan pake. Sementara tokoh di tiap kampung muslim di kepalai oleh hakim dan beberapa khatib, bilal, dan labi. Ke empat jabatan tokoh masyarakat tersebut termasuk Hakim turut menjadi bagian kerajaan Kamboja dan senantiasa turut serta sebagai undangan Negara dalam setiap perhelatan resmi kerajaan.
 
Ketika Kamboja Merdeka dari Prancis di tahun 1953, komunitas muslim berada dibawah kendali lima anggota majelis yang berisikan perwakilan dari masing masing komunitas muslim dengan fungsi yang resmi serta keterikatan dengan komunitas muslim yang lain. Masing masing komunitas muslim memiliki seorang Hakim yang memimpin Masjid masing masing komunitas, beliau juga bertindak sebagai Imam di masjid komunitasnya masing masing. Kegiatan ke-Islam muslim Kamboja berpusat di semenanjung Chrouy Changvar di dekat kota Phnom Penh yang sekaligus menjadi tempat tinggal beberapa petinggi muslim Kamboja.
 
Setiap tahun beberapa muslim Champa ini berangkat ke Kelantan di Malaysia untuk melanjutkan pendidikan Al-Qur’an. beberapa diantara mereka setiap tahun juga melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Hingga penghujung tahun 1950-an diperkirakan 7 persen dari Muslim Champa di Kamboja ini telah menunaikan ibadah Haji. Dan dalam kehidupan kesehariannya mereka biasa menggunakan sorban ataupun semacam kopiah berwarna putih sebagai penanda bahwa mereka telah ber-haji.***

Bersambung ke bagian 2

Rabu, 17 Oktober 2012

Masjid Azhar, Vientiane - Laos

Masjid Kamboja ::: Masjid Azhar Vientiane, Laos. Atau biasa disebut sebagai Masjid Kamboja Merujuk kepada muslim Champa dari Kamboja yang membangun Masjid ini.

Masjid Azhar di Vientiane, merupakan salah satu dari dua masjid yang ada di Republik Demokratik Rakyat Laos, setelah Masjid Jami Vientiane. Masjid ini lebih dikenal dengan nama masjid Kamboja, karena memang dibangun oleh muslim etnis Champa dari Kamboja yang hijrah ke Laos meninggalkan kampung halaman mereka di Kamboja pada era tahun 1975-1979 untuk menyelamatkan diri dari kekejaman rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot.
 
Berdiri di distrik Chantabouly, yang merupakan jantung kawasan indah dan bersejarah kota Vientiane, ibukota Laos. Masjid ini menjadi tumpuan bagi komunitas muslim di distrik tersebut yang memang mayoritas adalah muslim Champa, mereka terdiri dari sekitar 300 jemaah dari 70 keluarga muslim. Saat ini masjid Azhar bersama masjid Jami Vientiane menjadi salah satu tujuan wisata Rohani bagi muslim mancanegara yang berkunjung ke Laos.

Lokasi dan Alamat Masjid Azhar, Vientiane

Masjid Azhar,
Banphon Sawattay, Chantabouly District, P.O Box 5062
Vientiane, People Democratic Republic of Laos      

 

Muslim Champa dan Masjid Kamboja di Laos

Perjalanan sejarah muslim Kamboja di Laos memang cukup panjang. Etnis Champa yang kini menjadi bagian dari Laos ini merupakan kaum Muhajirin dari Kamboja yang masuk ke Laos, Seiring dengan runtuhnya kerajaan Islam Champa yang berkuasa di bagian selatan dan tengah Vietnam, akibat kekalahan mereka melawan serbuan Kerajaan Vietnam dari dinasti Nguyen di penghujung abad ke 17 hingga ahirnya dibubarkan pada paruh pertama abad ke-19, sebagian dari muslim Champa mengungsi ke Kamboja, Thailand, Malaysia hingga ke Pulau Hainan (China).
 
Kerajaan Champa telah berdiri di bagian tengah dan selatan kawasan yang kini kita kenal sebagai Negara Vietnam sejak tahun 192 masehi sebagai sebuah kerajaan Hindu. Islam baru masuk dan mengubah kerajaan tersebut menjadi sebuah kerajaan Islam di abad ke 9 Masehi dan berkembang pesat hingga abad ke 10 masehi. Kerajaan Champa mulai diserang oleh Kerajaan Dai Viet (Cikal Bakal Vietnam) di abad ke 15 masehi.

Azhar ::: meskipun sebenarnya nama masjid ini tertulis dalam aksara Arab di atas serambi utama nya sebagai masjid Al-Azhar, namun penulisan namanya dalam hurup latin di gerbangnya hanya ditulis Masjid Azhar, tanpa kata Al.

Tahun 1471M Kerajaan Dai Viet yang beribukota di Hanoi menyerbu wilayah utara kerajaan Champa dan berhasil menguasai Ibukota negara di Vijaya. Menyusul kemudian tahun 1697 wilayah Champa di Panduranga juga di caplok oleh Dai Viet, sampai kemudian sisa sisa wilayah negara Champa tak bersisa di tahun 1832M.
 
Arus pengungsi muslim Champa ke berbagai negara tetangganya tak terbendung, termasuk ke Kamboja yang merupakan negara terdekatnya. Di Kamboja mereka diterima dengan baik, beberapa dari mereka merupakan bekas para petinggi di kerajaan Champa dan mendapatkan tempat cukup terhormat di kerajaan Kamboja. Namun perjalanan sejarah memaksa muslim Champa di Kamboja mengungsi untuk kedua kalinya manakala rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pol melakukan pembantaian massal terhadap rakyat Kamboja termasuk muslim disana di tahun 1975 hingga tahun 1979.

Eksterior masjid Azhar Vientiane

Arus pengungsi muslim Champa dari Kamboja ini tiba di Laos pada tahun 1975, mereka diterima dengan baik dan kemudian menetap dan menjadi bagian dari Laos. Sebagian besar mereka menetap di kawasan pemukiman kelas para pekerja di Chantabouli, disebelah barat laut pusat kota Vientiane. Ditahun 1976 atau setahun setelah mereka tiba di Laos, Muslim Champa dari Kamboja ini mendirikan sebuah masjid kecil bernama Masjid Azhar atau lebih terkenal dengan sebutan Masjid Kamboja dengan imamnya, Imam Musa Abu Bakar, tokoh tertua muslim Champa di Laos.
 
Saat ini komunitas Muslim Champa di Vientiane ada sekitar 70 keluarga. Sebagian dari mereka merupakan para pekerja dan pedagang obat obatan herbal tradisional yang mereka datangkan dari Kamboja. Kebanyakan dari Muslim Champa dari Kamboja ini menetap di tak jauh dari kawasan pecinanan di pusat kota Vientiane, tempat berdirinya Masjid Azhar yang mereka bangun.


Eksterior masjid Azhar Vientiane

Bangunan Masjid yang kini berdiri adalah hasil pembangunan dan dibuka secara resmi pada tanggal 10 Oktober 1982. Bangunan masjidnya berukuran sekitar 300 meter persegi menjadi pusat peribadatan komunal bagi muslim setempat baik muslim maupun muslimah. Masjid ini juga dilengkapi dengan ruang serbaguna, ruang kelas sebagai ruang belajar bagi sekitar 50 an anak anak untuk belajar agama Islam dan Al-Qur’an, dapur dan ruang kantor. Jemaah tetap masjid ini diperkirakan sekitar 270 orang dari sekitar 70 keluarga.

Lembaga lembaga Islam dari Malaysia cukup aktif mendukung program program muslim Laos, seperti yang terjadi pada hari Jum’at tanggal 4 November 2011 lalu, Yayasan Salam Malaysia, berkontribusi dengan menyumbang Laptop, DVD player, Iqra multimedia and Buku buku Islam ke Masjid Azhar ini.***

Minggu, 14 Oktober 2012

Masjid Jami Vientiane, Laos

Tak sebesar dan tak semegah masjid masjid di Indonesia dan negeri negeri muslim lainnya, Masjid Jami Vientiane menjadi simbol kehadiran Islam di Laos.

Republik Demokratik Rakyat Laos atau Lao People’s Democratic Republic (Lao PDR) dan orang Indonesia terbiasa menyebutnya dengan Laos saja, merupakan salah satu dari 10 negara anggota Asean. Lokasinya terjepit ditengah semenanjung Indochina, berada diantara Vietnam dan Thailand di timur dan Barat, Republik Rakyat Cina dan Myanmar (Burma) di Utara dan Kamboja di selatan. Seluruh negara negara ini dilalui oleh sungai Mekong yang membujur dari utara ke selatan, dan sebagian besar badan sungai ini menjadi perbatasan alami antara Laos dengan Thailand. Laos beri-ibukota di kota Vientiane (dibaca : Viyentiyen).
 
Dalam urusan politik, Laos masuk dalam daftar negara yang cukup tertutup. Komunisme masih menguasai perpolitikan di Laos, namun ada satu hal yang cukup mencengangkan bahwa ada sekelompok kecil umat Islam di negara ini hidup damai dan menikmati kebebasan beragama yang di tuangkan dalam dekrit perdana menteri nomor 92 tanggal 5 Juli 2002, memberikan jaminan kebebasan beragama di negara komunis tersebut.
 
Laos merupakan salah satu negara anggota Asean dengan luas terkecil, dan dari sisi ekonomi merupakan negara termiskin di Asean. Sekitar 60 persen penduduk Laos ber-etnis Lao dan sebagian besar dari mereka memeluk agama Budha. Dengan total penduduknya hampir tujuh juta jiwa ada sekitar 800 hingga 1000 jiwa saja penduduknya yang beragama Islam, menjadikan Laos sebagai negara berpenduduk muslim paling sedikit di Asean dan seluruh Asia. Di seluruh Laos hanya ada dua masjid dan dua duanya berada di kota Vientiane, yaitu Masjid Al-Azhar Vientiane dan Masjid Jami Vientiane atau Vientine Jamia Masjid yang akan kita ulas dalam artikel ini.

Lokasi dan Alamat Masjid Jami Vientine

Vientiane Jamia Masjid
Ban Xengyen near the Fountain (Namphu)
downtown District Chanthaburi Vientiane,
Vientiane, vientiane 01000
Lao People’s Democratic Republic

 

Lokasi masjid ini berada di jantung kota Vientiane, tepatnya berada di belakang Langxaneg Hotel dan Fathima Restaurant, tak jauh dari Nam Phou Fountain yang merupakan air mancur kebanggaan kota Vientiane. Di kawasan yang sama juga berdiri kantor pusat polisi lalu lintas kota Vientiane, Perpustakaan Nasional Laos dan kantor Konsulat Prancis. Masjid ini terletak di jalur turis dan tepat berada di tengah ibukota. Hanya perlu mencari air mancur yang menjadi ikon kota, lalu menapaki jalan Setthathirath sepanjang 40 meter sampai menemukan petunjuk jalan menuju masjid ini.

Lokasinya yang memang berada di pusat kota menjadikan masjid Jami Vientiane ini menjadi tujuan utama bagi para atlet muslim yang sedang berlaga dalam SEA Games di Laos tahun 2009 yang lalu. Dan, baik imam masjid beserta jajaran pengurusnya begitu terbuka penuh keramah tamahan dalam suasana persaudaraan tanpa basa basi dalam menyambut dan mengundang muslim dan muslimah yang mengikuti ajang Sea Games di Laos tahun 2009 lalu.

Aktivitas Masjid Jami’ Vientiane

Meskipun ukurannya kecil dan tidak berada di jalan utama kota Vientiane, masjid ini menyelenggarakan berbagai program edukasi bagi komunitas muslim setempat yang kebanyakan merupakan muslim Laos sendiri dan keturunan india. Diantara aktivitasnya termasuk pelajaran baca tulis Al-Qur’an untuk anak anak termasuk pelajaran Aqidah Islam dan pelajaran sholat yang diselenggarakan setiap hari Sabtu hingga hari Kamis pukul 19.00 hingga 20.30.

Masjid dengan kubah, dalam bentuk sebenar benarnya masjid memberikan indikasi jelas bahwa Islam diterima dengan baik oleh masyarakat dan penguasa Laos. Masjid ini juga bebas menyuarakan azan dari pengeras suara.

Sholat Jum’at diselenggarakan pada pukul 13.10 – 13.40 waktu setempat. Dan setiap bulan Ramadhan tak ketinggalan diselenggarakan buka puasa bersama dan acara Ramadhan lainnya. Sejak 1 Juni 2005 lalu pengurus masjid Jami Vientiane secara resmi memulai pendidikan Madrasah bagi anak anak khusus mengajarkan Al-Qur’an dan Sholat.

Sejarah Masjid Jami’ Vientiane

Masjid Jami Vientiane, dibangun dalam gaya arsitektur mughal, namun dengan menara yang kecil di atas atap masjid, hampir sama dengan bentuk bentuk masjid di seantero Asia Tenggara. Di lantai dasar masjid terdapat dapur umur sedangkan ruang sholat utamanya berada di lantai atas. Papan nama penunjuk lokasi masjid ini cukup menarik dengan menggunakan empat bahasa sekaligus masing masing bahasa Laos, Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan Bahasa Tamil.

Merujuk kepada Saudi Aramco, Masjid Jami Vientiane merupakan masjid tertua di Vientiane dan Laos secara keseluruhan, dibangun oleh muslim yang berasal dari kawasan India selatan semasa pendudukan Prancis di Laos dipenghujung abad ke 19 saat Laos masuk ke dalam wilayah protektorat Prancis sejak hingga tahun 1953. Disaat bersamaan Prancis juga menguasai enclave Pondicherry yakni beberapa wilayah yang terpisah pisah di sepanjang pantai barat India di Teluk Benggala.

Persamaan penguasa yang memungkinkan penduduk di wilayah pendudukan tersebut berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan berbagai alasan baik atas keinginan sendiri maupun karena masuk dalam pasukan legium asing bentukan Prancis. Diantara mereka terdapat warga muslim Tamil dari enclave Pondicherry, mereka masuk ke Vientiane melalui Saigon di Vietnam yang juga merupakan wilayah kekuasaan Prancis saat itu.

Ukuran masjid Jami Vientiane ini sebenarnya cukup luas, namun karena letaknya yang terjepit di dalam gang di pusat kota Vientiane, kelegaaannya hanya baru bisa dirasakan saat masuk ke dalam masjid ini. 

Digunakannya aksara Tamil dalam papan nama penunjuk arah ke Masjid Jami Vientiane ini mengingatkan pada sejarah keberadaan masjid tersebut yang tak lepas dari peran muslim Tamil. Kini suasana masjid ini tidak melulu bernuansa Tamil tapi lebih kental dengan nuansa muslim asia tenggara terutama di hari Jum’at. Jejak kekuasaan Prancis sama sekali tak berbekas di masjid.

Terlebih disuasana sholat Jum’at, ketika jemaah masjid lebih di dominasi oleh muslim asia tenggara bersama dengan jemaah muslim asli Laos sendiri yang mencapai sekitar 200 jiwa, mereka berbicara dalam bahasa Laos, bahasa yang juga digunakan oleh para muslim keturunan dari Legium Asing bentukan Prancis yang direkrut dari kawasan Afrika Utara untuk ditempatkan di Vientiane.

Mereka kemudian mereka menikah dengan muslimah lokal dan menetap disana. Turut hadir diantara para jemaah di masjid ini adalah muslim dari kantor kedutaan negara negara muslim asia tenggara termasuk Indonesia, Malaysia juga dari Palestina dan perwakilan dari badan badan internasional yang berkantor di Vientiane.

sign board :: papan nama masjid jamie vientiane terpampang dalam empat bahasa dan aksara di depan sebuah rumah panggung khas melayu, di kota vientiane.

Sejak tahun 2001 pemerintah Laos memberikan “perhatian” lebih terhadap komunitas mungil Muslim di Laos tanpa intervensi apapun terhadap aktivitas keagamaan. Muslim di Laos bersama pemeluk agama minoritas lainnya menikmati kebebasan beragama yang dijamin oleh negara.

Muslim di Laos bebas melaksanakan sholat berjamaah termasuk menyuarakan azan dari menara masjid dengan pengeras suara tanpa ada keberatan dari penduduk setempat yang mayoritas beragama Budha Theravada. Perayaan hari besar Islam juga dapat dilaksanakan dengan bebas termasuk penyelenggaraan Ibadah Haji yang dikoordinir oleh Asosiasi Muslim Laos. Kelompok Jemaah Tabligh dari Thailand saat ini disebut sebut aktif menjalankan dakwah Islam di Vientiane.***

Islam dan Masjid di Laos (bagian 2)

Lokasi Republik Demokratik Rakyat Laos.

Muslim Champa dari Kamboja

Muslim Kamboja yang kini menjadi bagian dari muslim Laos. Memiliki perjalanan yang cukup panjang. Seiring dengan runtuhnya kerajaan Islam Champa yang berkuasa di bagian selatan dan tengah Vietnam, akibat kekalahan mereka melawan serbuan Kerajaan Vietnam dari dinasti Nguyen di penghujung abad ke 17 hingga ahirnya dibubarkan pada paruh pertama abad ke-19, sebagian dari muslim Champa mengungsi ke Kamboja, Thailand, Malaysia hingga ke Pulau Hainan (China).
 
Namun perjalanan sejarah memaksa muslim Champa di Kamboja mengungsi untuk kedua kalinya manakala rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pol melakukan pembantaian massal terhadap rakyat Kamboja termasuk muslim disana. Dalam masa kekuasaan Khmer Merah dari tahun 1975 hingga tahun 1979, diperkirakan dua juta penduduk Kamboja menjadi korban pembantaian massal yang dilakukan oleh Khmer Merah, dan diperkirakan lima ratus ribu diantaranya adalah kaum muslimin Kamboja dari etnis Champa.
 
Arus pengungsi muslim Champa dari Kamboja ini tiba di Laos pada tahun 1975, mereka diterima dengan baik dan kemudian menetap dan menjadi bagian dari Laos. Sebagian besar mereka menetap di kawasan pemukiman kelas para pekerja di Chantabouli, disebelah barat laut pusat kota Vientiane. Ditahun 1976 atau setahun setelah mereka tiba di Laos, Muslim Champa dari Kamboja ini mendirikan sebuah masjid kecil bernama Masjid Azhar atau lebih terkenal dengan sebutan Masjid Kamboja dengan imamnya, Imam Musa Abu Bakar, tokoh tertua muslim Champa di Laos.

Masjid Kamboja ::: Masjid Azhar di Vientiane dibangun oleh muslim Champa dari Kamboja, karenanya masjid ini lebih dikenal dengannama sebagai masjid Kamboja.

Masjid Azhar merupakan masjid kecil dengan beberapa kubah di atapnya. Masjid ini terdiri dari dua ruangan besar, satu ruang utama sebagai ruang sholat sementara satu ruangan lagi untuk ruang belajar bagi sekitar 50 an anak anak belajar agama Islam. lembaga lembaga Islam dari Malaysia cukup aktif membantu syiar Islam di Laos termasuk aktivitas yang diselengarakan di Masjid Azhar ini.

Bagaimanapun muslim Champa yang tersebar di berbagai negara memang memiliki pertalian yang cukup erat dengan muslim di wilayah utara semenanjung Malaysia dan Kesultanan Aceh di Sumatera. Tak mengherankan bila dalam rekaman video dibawah ini anda dapat mendengar imam Masjid Azhar Vientiane ini berbicara dalam bahasa Melayu yang cukup fasih.

Saat ini komunitas Muslim Champa di Vientiane ada sekitar enam puluh satu keluarga. Sebagian dari mereka merupakan para pekerja dan pedagang obat obatan herbal tradisional yang mereka datangkan dari Kamboja. Kebanyakan dari Muslim Champa dari Kamboja ini menetap di tak jauh dari kawasan pecinanan di pusat kota Vientiane, tempat berdirinya Masjid Azhar yang mereka bangun.

Huru Hara Paska Kemerdekaan

Di tahun 1953 Laos berhasil memperoleh kemerdekaan dari Prancis melalui perjuangan dan pertumpahan darah yang termat panjang. Namun tahun berikutnya justru tenggelam dalam perang saudara mematikan akibat pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok komunis Pathet Lao dukungan Vietnam, China dan Uni Soviet terhadap Raja Savang Vatthana yang di dukung oleh Amerika dan Prancis di tahun 1975.
 
Untuk kesekian kalinya muslim Champa yang sudah menjadi bagian Laos harus mengungsi ke negara negara tetangga untuk menyelamatkan jiwa mereka. Begitu pun dengan muslim dari etnis lainnya. Dipertengahan tahun 1960 diperkirakan terdapat sekitar tujuh ribu muslim di Laos namun seiring dengan meletusnya perang memaksa mereka mengungsi ke berbagai negara. Dan yang tersisa kebanyakan adalah rakyat miskin yang tidak mampu untuk pergi kemanapun.
 
Perang berahir ketika Amerika mendapat tekanan untuk menghentikan perang di Laos, dan dua tahun setelah itu kekuatan komunis Pathet Lao mengambil alih seluruh negara dan mendirikan negara Republik Demokratik Rakyat Laos meng-ahiri era kerajaan Laos dan kekuasaan Raja Savang Vatthana yang telah berkuasa sejak tahun 1959. Sejak itu Laos yang di abad ke-14 hingga abad ke-18 disebut sebagai Lan Xang atau "Negeri Seribu Gajah" ini menjadi negara komunis yang tersisa di Asia Tenggara.
 
Etnis Lao dari komunitas Hmong yang merupakan kaum loyalis terhadap Raja Savang Vatthana, diam diam melakukan semacam pemberontakan rahasia terhadap pemerintahan komunis Pathet Lao akibatnya komunitas ini dikenakan retribusi, sehingga banyak yang mengungsi ke Thailand. Ribuan pengungsi Hmong juga mengungsi ke Amerika dan berbagai negara lain nya. Yang lainnya kembali ke Laos dengan program repatriasi dari PBB. Saat ini sekitar 8000 orang warga Hmong masih menjadi pengungsi di Thailand.
 
Hubungan Indonesia dan Laos
 
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Laos pertama kali dimulai tahun 1957 melalui kantor perwakilan pemerintah Indonesia di Bangkok. Hubungan tersebut kemudian ditingkatkan ke tahap kedutaan pada tahun 1962 dan pada tahun 1965 secara resmi pemerintah Indonesia membuka kantor Kedutaan Besar di Vientiane. Dalam dunia pendidikan, secara berkala pemerintah Indonesia melalui KBRI Vientiane memberikan beasiswa bagi mahasiswa Laos berprestasi untuk melanjutkan studi mereka di Indonesia.***

Kembali ke bagian

Islam dan Masjid di Laos (bagian 1)

Lokasi Republik Demokratik Rakyat Laos.

Diperkirakan peradaban manusia di Laos sudah eksis sejak enam ribu tahun lalu, Islam menemukan jalan masuk ke negara ini melalui berbagai arah di lintasan sejarah. Muslim di Laos merupakan minoritas dalam jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan negara Asean lainnya. Laos ibukota di Vientiane (dibaca : Viyentiyen).
 
Jumlah muslim Laos tak lebih dari sekitar 800 hingga 1000 jiwa, 200 jiwa diantaranya adalah muslim asli Laos. Bila dibandingkan dengan hampir 7 juta total penduduknya jumlah tersebut nyaris tak terlihat dan menjadikan Laos sebagai negara Asean dengan penduduk muslim paling sedikit. Laos hanya memiliki dua Masjid masing masing adalah Masjid Jami’ Vientiane dan Masjid Azhar Vientiane.
 
Sekitar 60 persen penduduk Laos ber-etnis Lao dan sebagian besar dari mereka memeluk agama Buddha Theravada. Sejumlah kecil etnis Lao dari komunitas Hmong dan Khmu yang minoritas, masih mempertahankan kepercayaan animisme. Komunitas Hmong merupakan komunitas yang loyal terhadap Raja Savang Vatthana (raja Laos terahir), jumlah mereka menyusut drastis paska tergulingnya sang raja dalam kudeta yang dilakukan kelompok komunis Pathet Lao di tahun 1975.
 
Kelompok komunis Pathet Lao kemudian mengubah kerajaan Laos menjadi negara komunis dengan nama resminya Lao People’s Democratic Republic (Lao PDR) dan menjadi salah satu negara di dunia yang masih menggunakan sistem pemerintahan komunis, meskipun begitu kehidupan beragama di Laos dijamin oleh negara secara resmi melalui dekrit perdana menteri nomor 92 tanggal 5 Juli 2002.
 
Dalam Bab 1 pasal 4 dari dekrit perdana menteri menyebutkan bahwa “warga negara Laos, warga negara asing, orang orang tanpa kewarganegaraan dan orang asing di Laos memiliki hak untuk menjalankan aktivitas keagamaan dan berpartisifasi dalam ritual keagamaan di tempat ibadah mereka baik di kuil ataupun di gereja atau di masjid mereka masing masing”.
 
Masuknya Islam Ke Laos
 
Sebagian besar sumber sejarah menyebutkan bahwa Agama Islam pertama kali masuk Laos melalui para saudagar China yang melakukan perdagangan lintas wilayah dari propinsi Yunnan di China selatan hingga ke Laos, Birma dan Thailand. Saudagar China ini yang diyakini pertama kali memperkenalkan Islam kepada rakyat Laos.
 
Di negara negara tersebut para saudagar muslim China ini biasa disebut dengan sebutan Chin Haw. Etnis Chin Haw masih dapat ditemui di kawasan pegunungan Laos dalam komunitas yang sangat kecil. Etnis Chin Haw kini juga dapat di jumpai di Thailand, salah satu masjid tua mereka yang berdiri megah Doi Mae Salong,Chiang Rai, di utara Thailand.
 
Semasa Laos menjadi wilayah jajahan Prancis di Indochina (dikenal dengan sebutan French-Indochina), muslim dari berbagai wilayah kekuasaan kolonial Prancis turut meramaikan komunitas muslim di Laos dan kemudian juga menarik penduduk asli untuk turut ber-Islam. Sejarah Islam di Laos juga tak bisa dilepaskan dari sejarah Islam di Indochina terutama dalam keterkaitannya dengan sejarah kerajaan Islam Champa yang berpusat di Vietnam.
 
Muslim di Laos saat ini cukup multi etnis namun berbaur menjadi satu sebagai komunitas muslim Laos. Berdasarkan latar belakang etnis, muslim di Laos dapat di kelompokkan ke dalam beberapa kelompok yang masing masing memiliki latar belakang sejarahnya sendiri sendiri. Diantara mereka adalah muslim dari anak bedua India bagian selatan, muslim Kamboja, anggota pasukan legium asing Prancis dari Afrika utara dan tentu saja adalah muslim asli Laos.
 
Muslim dari Anak Benua India
 
Diperkirakan Muslim dari anak benua India pertama tiba di Laos pada awal abad ke 12 saat Laos menjadi wilayah kolonialisasi Prancis di Indochina. Kebanyakan dari muslim Tamil di Laos pertama tersebut merupakan etnis Tamil dari wilayah enclave Pondicherry, sebuah enclave jajahan Prancis yang tersebar di sepanjang pantai tenggara Teluk Benggala, India Selatan.

Tertua di Laos :: Masjid Jami' Vientiane merupakan masjid pertama dan tertua di Laos dibangun oleh muslim dari India Selatan selama pendudukan Prancis di wilayah Indochina termasuk Laos.

Mayoritas dari muslim Tamil ini merupakan para pria lajang, oleh kolonial Prancis dipekerjakan sebagai pengawal dan pekerja di Vientiane, Ibukota Laos. Kebanyakan dari mereka ini tadinya dipekerjakan sebagai tentara Inggris dan ditempatkan di wilayah Burma (kini Myanmar) selama perang dunia pertama.
 
Komunitas muslim Tamil dari anak benua India ini masuk ke Laos melalui Vietnam. Muslim Tamil dikenal dengan nama Labai di Madras dan disebut Chulia di Malaysia, Thailand dan Singapura. Selain dari muslim Tamil, sekelompok kecil muslim lainnya merupakan anggota pasukan legium asing Prancis yang di rekrut dari wilayah jajahannya di Afrika Utara.
 
Kelompok muslim Tamil ini yang kemudian mendirikan masjid Jami Vientiane dan menjadi masjid pertama dan tertua di Laos dengan imamnya Haji Moulavi Kamarudeen Noori, berasal dari Madras, India. Sementara muslim Laos lainnya juga ada yang berasal dari berbagai wilayah yang kini menjadi Pakistan dan Bangladesh.
 
Beberapa dari mereka menikah dengan wanita asli Laos yang sudah masuk Islam. Ada selusin muslim Pakhtun ini yang kini bahkan sudah masuk ke dalam jajaran pegawai tinggi pemerintah salah satunya menjadi petinggi di kepolisian Laos. Sedangkan sebagian besar lainnya rata rata adalah para pedagang pakaian dan hidup berkecukupan, sedangkan sisanya memiliki beberapa ladang pertanian.
 
Sejak di bangun masjid Jami Vientiane masih menjalankan fungsinya dengan baik hingga kini. Jemaah dari berbagai latar belakang etnis dan kewarganegaraan berbaur menjadi satu di masjid ini, termasuk muslim dari Indonesia, Malaysia dan Palestina yang merupakan staff kedutaan negara masing masing di Vientiane, juga muslim yang bertugas di kantor kantor perwakilan lembaga lembaga dunia di Vientiane.
 
Muslim Vientiane kebanyakan berprofesi sebagai pedagang tekstil, nelayan ataupun sebagai tukang jagal di rumah makan. Warisan etnis ini sangat kental terasa di rumah rumah makan yang dikelola oleh muslim keturunan India selatan serta rumah makan dan gerai makanan milik muslim keturunan Afrika Utara yang menyediakan kuliner khas Afrika Utara berupa couscous dan kebab.***

Bersambung

Senin, 08 Oktober 2012

Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien – Brunei Darussalam (Bagian 3)

Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien, Bandar Seri Begawan. Masjid Nasional Negara Brunei darussalam.

Pembangunan Masjid Sultan Haji Omar Ali Saifuddien

Di tahun 1949 atau empat tahun paska usainya perang dunia kedua, dibentuk sebuah Komunite bagi kemungkinan untuk membangun sebuah masjid nasional bagi Brunei Darussalam. Komite tersebut diketuai oleh YTM Seri Paduka Pengiran Bendahara Pengiran Anak Haji Muhammad Yasin. Di tahun 1952 beliau mengusulkan agar pembangunan masjid nasional Brunei dilaksanakan di “padang” disekitar Masjid Kajang. Namun Sultan Haji Omar Ali Saifuddien lebih memilih untuk membangun masjid Nasional Brunei didirikan lokasinya sekarang, di tepian sungai Brunei yang merupakan kawasan pusat keramaian Pekan Brunei kala itu.

Merujuk kepada penjelasan dari Pangeran Adnan, Arsitek senior di Departemen Pekerjaan Umum, beliau menjelaskan bahwa arsitek yang menanganani rancangan masjid Sultan Omar Ali Saifuddien adalah arsitek Italia bernama Cavalieri R. Nolli. Rancangan yang dilakukan oleh Cavalieri di dasarkan kepada rancangan awal yang dibuat sendiri oleh Sultan Omar Ali Saifuddin dibantu oleh Awang Besar Sagap, Seorang Juru Gambar dari Departemen Pekerjaan Umum.

1954 ::: foto lama tahun 1954 saat pembangunan Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien mulai dilaksanakan. 

Rancangan detil pembangunan masjidnya ditangani oleh Firma arsitek Booty and Edwards Chartered Architects, sedangkan pelaksanaan pembangunanya dilaksanakan oleh Sino-Malayan Engineer. Keseluruhan proyek pembangunan masjid Sultan Omar Ali Saifuddien ini diperkirakan menelan biaya sebesar 7,7 juta dolar hingga 9,2 juta dolar

Rancangan masjid ini sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektural dinasti Mughal yang berkuasa selama lebih kurang 350 tahun sejak abad ke 16 di seluruh wilayah India, Pakistan, Bangladesh dan sekitar nya. Dinasti Islam Mughal memang sangat terkenal dengan warisan seni arsitektural yang menawan tersebar diseluruh bekas wilayah kekuasannya, termasuk salah satu bangunan 7 keajaiban dunia, Taj Mahal di kota Acra, India. Di komplek Taj Mahal Juga dibangun bersebelahan disisi kiri dan kanan nya masing masing Masjid Taj Mahal dan Istana Peristirahatan Taj Mahal.

dan beginilah Masjid dan jembatan menuju Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien saat ini.

Proses pembangunan masjid dimulai pada tanggal 4 Februari 1954, di atas lahan seluar 5 acre (2 hektar) dengan masjidnya sendiri berukuran 225 kaki x 86 kaki (68.5 meter x 26.2 meter) dan mampu menampung sekitar 3000 jema’ah sekaligus. Tinggi bangunan utama masjidnya mencapai 52 meter, atapnya ditutup dengan kubah besar berlapis emas murni, ditopang dengan dinding dinding tebal berlapis pualam dari Italia sama dengan pualam yang digunakan untuk pilar pilar, lengkungan dan menara masjid.

Bangunan masjid ini memang sebagian besar menggunakan material dari luar negara termasuk penggunaan Batu Pualam dari Italia, Batu Granit dari Shanghai (China), stainglass atau kaca patri dan lampu gantung dari Inggris serta karpet rajutan tangan dari Belgia dan Saudi Arabia.

dua foto udara diwaktu yang berbeda ::: foto kiri dibuat oleh Tony Wilson seorang fotografer tentara Inggris ketika masih berkuasa di Brunei sedangakn foto kanan adalah foto udara Masjid Sultan Ali Saifuddin yang di abadikan dalam selembar kartu pos tahun 1970-an.

Satu satunya elemen lokal tempatan Brunei yang dipakai di masjid ini adalah penggunaan Kalat, yakni semacam tali yang sangat tebal dan dibentuk berkelok kelok pada semua pilar masjid. Kalat, aslinya digunakan pada pembangunan bangunan ‘lapau’ atau aula di Brunei. Kalat berfungsi sebagai tali pengikat pilar pilar bangunan. Karena keberadaannya yang terlihat oleh mata, maka kalat ini dalam aplikasinya diberi corak warna warni dan tak jarang dilapis dengan emas.

Dari sisi arsitektural, menara tunggal masjid ini memang cukup unik. Penggabungan gaya Italia dengan gaya Mughal menghasilkan menara dengan denah segi empat bergaya italia di sisi bawah sedangkan puncaknya menggunakan kubah bawang khas Mughal. Sedangkan interior masjid ini begitu mewah dengan berbagai seni ilami khususnya seni kaligrafi dan pola pola geometrik, floral dan lain nya. 

Kata Wow saja rasanya memang tak cukup untuk memuji masjid satu ini. Wajar bila kemudian banyak orang yang menyebut masjid ini sebagai salah satu masjid terindah di kawasan asia pasifik. kubah masnya memang bukan satu satunya masjid dengan kubah berlapis emas. ukurannya pun kalah jauh dibandingkan dengan Masjid Kubah Mas Dian Al-Mahri di Depok - Jawa Barat, namun keindahan bangunan dan kebesaran sejarahnya yang membuat masjid ini begitu menarik. 

Masjid Sultan Omar Ali Syaifuddien diresmikan sendiri oleh Sultan Omar Ali Syaifuddien pada tanggal 26 September 1958. Dan Sembilan tahun kemudian tepatnya di tahun 1967 masjid ini dilengkapi dengan bangunan tambahan berupa Replika Kapal Mahligai Sultan Bolqiah abad ke 16 yang dibangun ditengah laguna di depan masjid lalu dihubungkan dengan jembatan pualam. Pembangunan mahligai tersebut menandai peringatan 1400 tahun (14 abad) Nuzulul Qur’an (turunnya Al-Qur’an untuk pertama kali) dengan pembangunan sebesar 250 ribu dolar.

Kini, masjid Sultan Omar Ali Saifuddien menjadi landmark yang begitu terkenal di Brunei Darussalam, dan menjadi tempat ibadah utama di negeri itu. memang ada larangan resmi untuk tidak memotret di dalam masjid ini, mungkin itu sebabnya sangat sulit menemukan foto interior masjid ini di dunia maya meski masjid ini merupakan salah satu objek foto paling menarik bagi siapapun yang pernah ke sana, dan foto keindahannya bertebaran di dunia maya.***

Refleksi ::: Foto malam hari sepertinya menjadi pavorit para fotografer untuk mengabadikan keindahan masjid ini dengan merekam keindahan bangunan masjid berikut bayangannya yang terpantul dipermukaan air laguna tempatnya berdiri.
Kota Bandar Seri Begawan memang tak sebesar dan seluas Jakarta, ditambah lagi dengan penduduknya yang tak sepadat ibukota Republik Indonesia itu membuat masjid ini bertahan sebagai landmark utama kota Bandar Seri Begawan dari sejak masjid ini pertama kali dibangun hingga hari ini tetap mendominasi pemandangan kota.