Kamis, 23 Agustus 2012

Masjid Al Wustho Mangkunegaran Surakarta

Masjid Al-Wustho, Pura Mangkunegaran, Surakarta

Masjid Al-Wustho merupakan salah satu dari tiga masjid tua dan bersejarah di kota Surakarta, bersama dengan Masjid Darusallam, dan Masjid Agung Surakarta. Pembangunan Masjid Al-Wustho diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara-I (1725-1795) di Praja Mangkunagaran sebagai masjid kerajaan bagi Pura Mangkunagaran dalam menjalankan fungsinya sebagai panotogomo. Lokasi masjid ini sebelumnya berada di wilayah Kauman, Pasar Legi, namun pada masa Adipati Mangkunagara-II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Pura Mangkunagaran.
 
Sebagai masjid kerajaan pada awalnya masjid ini hanya diperuntukkan khusus bagi keluarga kerajaan Pura Mangkunagaran dalam menjalankan ibadahnya. Namun kemudian dalam perkembangannya masjid ini terbuka untuk umum. Nama Al-Wustho pada masjid ini baru eksis sejak tahun 1949, Bopo Penghulu Pura Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi yang memberikan nama tersebut. Meski dibangun dalam bentuk arsitektural khas Jawa dengan reka bentuk masjid Agung Demak, Dalam sejarahnya pembangunan masjid ini sempat melibatkan seorang arsitek dari Prancis.

Lokasi dan Alamat Masjid Al-Wustho

Masjid Al-Wustho Mangkunegaran Solo
Jl RA Kartini 3 RT 003/09, Ketelan, Banjarsari
Solo 57132 Jawa Tengah


Posisi masjid al-Wustho berada di sebelah barat  kompleks istana/Pura Mangkunegaran Surakarta yang dipisahkan dengan jalan R.A. Kartini,  di sisi utaranya bersebelah dengan Sekolah Dasar Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan di sebelah barat masjid merupakan pemukiman penduduk yang cukup padat. Cukup berjalan kaki sekitar 100 meter menuju lokasi masjid ini dari Pura Mangkunegaran.

Arsitektural Masjid Al-Wustho

Dari bentuk arsitektur bangunan, hampir sama dengan bentuk bangunan masjid-masjid Jawa lainnya seperti masjid agung Demak, masjid Agung Keraton Yogyakarta, yang mengambil bentuk gaya arsitektur rumah Jawa dengan atap bangunan teras berbentuk limasan dan atap tumpang untuk bagian atap ruang utama, yang bersusun tiga. Bangunan tersebut mengandung makna filosofis Iman, Islam dan Ikhsan. Yang membedakannya dengan masjid lain adalah adanya markis atau kuncung yaitu semacam pintu utama menuju teras dengan tiga akses pintu masuk, yaitu di sisi kanan atau utara, sisi depan atau timur dan kiri atau selatan, yang pada masing-masing atasnya dihiasi dengan kaligrafi.

Kompleks masjid Al Wustho Mangkunegaran terdiri dari bangunan utama serta bangunan bangunan pendukungnya. Di sebelah selatan terdapat bangunan sekolah Taman Kanak-Kanak Aisyiah Bustanul Athfal yang berhubungan langsung dengan bangunan rumah tinggal keluarga ta’mir atau pengurus masjid. Di sebelah utara terdapat fasilitas Unit Kesehatan Masjid dan tempat tinggal Ta’mir masjid.

Senja di masjid Al-Wustho

Ornamen menarik di masjid Al-Wustho ini berupa nukilan ayat ayat suci Al-Qur'an maupun hadist yang menghiasi beberapa bagian masjid. selain di gapura pertama dan kedua, kaligrafi arab tersebut juga dapat disaksisakan pada pintu pintu masjid, jendela, 4 sokoguru masjid dan 12 soko rowo masjid, markis/kuncungan, soko dan Maligin. Tiap tiap tiang di dalam masjid tersebut dihias dengan kaligrafi. Salah satu nukilan hadist nya berbunyi "siapa yang membangun masjid ini untuk Allah, maka Allah kan mendirikan sebuah rumah untuknya di surga kelak".

Aan Jaelani, dan kawan kawan, peneliti dari Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang melakukan penelitian terhadap inskripsi di Masjid Al-Wustho menemukan bahwa Inskripsi pada masjid Al Wustho berjumlah sekitar 41 buah yang terdiri atas 2 isnkripsi pada gapura (luar dan dalam), 3 inskripsi pada markis/kuncungan (depan, sisi kanan dan sisi kiri), 10 inskripsi pada jendela teras, 9 inskripsi pada pintu, 16 inskripsi pada soko guru di dalam ruang sholat, ditambah 1 inskripsi pada mihrab yang merupakan replica inskripsi pada gapura luar.

Bagian Bagian Masjid Al-Wustho

Luas kompleks masjid Al-Wustho sekitar 4.200 meter persegi dengan batas pagar tembok keliling sebagian besar di muka berbentuk lengkung. Bagian belakang setinggi 3 m, bagian depan dengan bentuk lengkung setinggi 3 m. Gapura depan dihiasi dengan relief tulisan Arab. Bangunan utama masjid terdiri dari ; Serambi, Ruang Shalat Utama, Pawastren dan Maligin. Sedangkan di halaman masjid juga berdiri Tembok Keliling Halaman,  Pintu Gerbang utama, Pintu Gerbang Timur,  Pintu Gerbang Utara,  Markis, Kantor Pengurus Masjid dan Menara.

Detil Masjid Al-Wustho Mangkunegaran

Serambi Masjid
Serambi merupakan ruangan depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan umur Raden Mas Said (Mangkunagara I) ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunagaran. Di bagian timur laut serambi terdapat bedug yang bernama Kanjeng Kyai Danaswara dan kentongan. Ruangan Serambi berukuran 22 m, X 11 m.

Ruang Shalat Utama
Ruang Salat Utama: merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 soko rowo (penyangga pembantu) yang berhias huruf kaligrafi Alquran. Ruang utama untuk shalat berukuran 24 m X 22 m,  Mimbar ukiran untuk berkhotbah diletakkan di dekat mihrab mimbar dengan ukiran khas mataraman. Di bagian depan kaki mimbar yang menghadap ke timur dulunya ada figur dua ekor singa yang bagian kepalanya sudah hilang karena dipotong secara sengaja dengan gergaji. Hal ini dilakukan karena alasan agama yang melarang adanya patung di dalam masjid dan karena adanya keberatan dari beberapa orang jamaah. Sedangkan di pojok ruangan sebelah tenggara dibuat sebuah ruangan untuk menyimpan alat-alat pengeras suara yang dipakai setiap akan mulai shalat rawatib, dan shalat Jum’at.

Pawastren
Pawastren merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat salat khusus wanita. Dahulu sebelum dibangun pawastren tambahan, ada sekat sebagai pemisah tempat shalat untuk wanita. Pawastren ini berukuran 10 m X 7 m. Di dalam ruangan pawastren, ada sebuah ruang gudang serta fasilitas kolah untuk berwudlu wanita dibangun di sebelah timur pawastren.

Interior Masjid Al-Wustho

Maligin
Bangunan Maligin dibangun atas prakarsa Adipati Mangkunagara V (berkuasa 1881-1896), digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunagaran. Sejak pemerintahan Mangkunagara VII (1885-1944), Maligin diperkenankan untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum. Terpisah sedikit dengan pawastren, ada bangunan kecil bundar. Anak yang akan dikhitan di syahadad dulu di serambi masjid.

Tembok Keliling Halaman
Sebagai pembatas antara masjid dengan daerah sekitarnya dibuat tembok yang mengelilingi masjid. Adapun ukuran tembok keliling adalah 260 m, dengan perincian sisi timur 60 m, sisi barat 69 m, sisi utara 70 m, sisi selatan 70 m. Pagar tembok di sebelah barat/belakang, dibuat rata sedangkan di bagian depan/sisi timur dan sisi selatan serta sisi utara, sebagian dibangun dengan hiasan lengkung. Gapura depan bagian luar dan dalamnya dihiasi dengan relief Arab.

Gapura / Pintu Gerbang
Gerbang atau Gapura, gapura berasal dari kata Ghafara yang artinya ampunan Gapura halaman masjid ini dibuat tahun 1917-1918, dengan dinding berhiaskan relief kaligrafi huruf Arab. Ada dua buah pintu gerbang utama, sebelah depan dan sebelah utara dibuat dari jeruji besi.  Pintu Gerbang Timur dengan bentuk lengkungan tinggi dengan hiasan tulisan Arab yang berbunyi: “Al-Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih” serta “Asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah”. Sedang di bagian belakang juga diberi relief Arab. Dan Pintu Gerbang Utara, disediakan untuk masuk masjid bagi orang kampung sekitar masjid sebagai jalan pintas, dengan ukuran lebar 2 m dan tinggi 3 m.

Renovasi Masjid Al-Wustho

Menara
Menara masjid Al-Wustho dibangun tahun 1926 pada masa Mangkunagara VII (1885-1944), Digunakan untuk menyuarakan adzan, pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda. Bangunan menara ini berdiri di depan Kantor Pengurus Masjid  dengan tinggi 25 m dan bergaris tengah 2 m.

Markis
Markis adalah berada di sebelah depan bangunan serambi, merupakan bangunan tambahan dengan ukuran 5 m X 5m.  Markis/Kuncungan berbentuk bujur sangkar dengan lengkungan tembok menyerupai kubah atau gunungan, tempat ini adalah akses utama menuju masjid, dan merupakan batas akhir  bagi kalangan non muslim yang tidak diperkenankan masuk lebih dalam  ke masjid. Bagian depan dan kiri kanan dihias dengan relief Arab yang banyak mengandung makna.

Kantor Pengurus Masjid
Kantor penguru masjid Al-Wustho berada di sebelah utara masjid dengan ukuran 9m X 6m. Di kantor ini  ditempatkan perpustakaan masjid Al-Wustho.

Suasana sholat Idul Fitri di Masjid Al-Wustho

Sejarah Masjid Al-Wustho

pembangunan masjid alwustho merupakan perwujudan dari fungsi pura mangkunegaran sebagai panotogomo yaitu pemerintahan yang tidak hanya berfungsi secara politik melainkan juga berfungsi melaksanakan syiar agama. sebelumnya, masjid Mangkunegaran terletak di wilayah kauman, Pasar legi. karena dirasa jauh dari istana, maka masjid tersebut dipindah oleh KGPAA Mangkunegara-II ke dekat istana pura Mangkunegaran. sebagai masjid resmi pura mengkunegaran, maka pengelolaan masjid ini dilakukan oleh para abdi dalem pura. pada awalnya masjid ini merupakan tempat ibadah khusus bagi keluarga pura namun pada perkembangan selanjutnya masyarakat umum juga diperkenankan untuk beribadah atau sekedar menikmati keunikan arsitekturnya.

Pendirian Masjid Mangkunagaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara-I (1725-1795) di Praja Mangkunagaran sebagai masjid kerajaan dalam menjalan fungsinya sebagai panotogomo atau piƱata agama di dalam lingkup wilayah praja Mangkunegaran. Ketika pertama kali dibangun lokasi masjid ini berada di wilayah Kauman, Pasar-Legi, namun pada masa Adipati Mangkunagara-II (berkuasa 1796-1835) dipindah ke lokasinya sekarang ini di wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Pura Mangkunagaran.

Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunagaran terjadi pada tahun 1878 dan selesai tahun 1918 saat pemerintahan Adipati Mangkunagara VII (1885-1944), pada saat itu beliau meminta seorang arsitek Ir. Herman Thomas untuk mendesain bentuk masjid ini. itu sebabnya meski secar keseluruhan masjid ini dirancang dalam arsitektural Jawa namun sentuhan gaya Eropa sangat terasa. Pada tahun 1949 Bopo Penghulu Pura Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi ditahun memberikan nama Masjid Al-Wustho pada masjid Pura Mangkunegaran ini.

suasana ramainya jemaah di masjid ini bakda sholat Idul Fitri

Pengelolaan Masjid al-Wustho

Pengelolaan masjid sejak pertama berdiri dipercayakan kepada para pengurus yang diangkat menjadi Abdi dalem Istana Mangkunegaran, sejak zaman penjajahan Belanda beralih ke penjajahan Jepang berjalan sebagaimana mestinya sebagai Masjid Keraton. Dengan diproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, membawa perubahan-perubahan pula terhadap status masjid. Pengelolaannya diserahkan kepada kementerian Agama dengan suratnya nomor: Pem.50/2/7 tertanggal 12 April 1952, dan putusan Menteri Dalam Negeri nomor: E/23/6/7 tertanggal 14 September 1948.

Dalam keputusan Menteri Agama tahun 1962 disebutkan, bahwa Masjid Al Wustho Mangkunegaran adalah masjid yang diurus dan dipelihara Departemen Agama dengan mengikutsertakan eksponen-eksponen masyarakat. Sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Agama tersebut maka biaya-biaya pengeluaran dibebankan pada anggaran Departemen Agama. Akan tetapi dengan surat Dit. Ura. Islam tanggal 20 Desember 1974 nomor: 117/BKMP/1974, bantuan rutin dari Departemen Agama khusus untuk empat masjid di Kotamadya Surakarta dihentikan sejak tahun 1972/1973.

Hal itu tidak saja berlaku bagi masjid Al-Wustho tetapi juga pada empat masjid yang ada di (Kotamadya) Surakarta. Sejak saat itu pengurus harus mencari sendiri dana untuk biaya operasional masjid Al-Wustho tanpa bantuan dari Departemen Agama, Untuk mencukupi kebutuhan masjid, pengurus harus mencari dana sendiri dengan sekuat tenaga, sementara itu dana diperoleh dari: Kotak amal jama’ah yang dibuka di masjid tiap-tiap sehabis shalat Jum’at, dan dana infaq, shadaqah, dan bantuan-bantuan dari masyarakat secara insidentil. Meskipun pengangkatan pengurusnya disahkan melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah tersebut. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA