Rabu, 22 Agustus 2012

Masjid Agung Surakarta, Jawa Tengah

Masjid Agung Surakarta - Jawa Tengah

Masjid Agung Surakarta atau Masjid Agung Solo, pada masa lalu merupakan Masjid Agung Negara Keraton Surakarta Hadiningrat, segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan. Semua pegawai pada Masjid Agung merupakan abdi dalem Keraton, dengan gelar dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.

Masjid Agung dibangun oleh Sunan Paku Buwono III tahun 1763M atau 1689 tahun Jawa dan selesai pada tahun 1768. Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.

Lokasi dan Alamat Masjid Agung Surakarta

Masjid Agung Surakarta yang terletak di sebelah barat Alun-Alun Utara Keraton Kasunanan Surakarta bersebelahan dengan Pasar Klewer Surakarta.


Sejarah Masjid Agung Surakarta

Masjid Agung Surakarta merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dari proses perkembangan sejarah Islam di Jawa umumnya dan Keratorn Surakarta Hadiningrat khususnya. Karena seperti kita ketahui bahwa menurut tradisi Islam suatu pusat pemerintahan harus memiliki unsur-unsur antara lain Keraton sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja, Masjid sebagai tempat ibadah utama dan berkumpulnya mukmin, Alun-alun sebagai tempat rakyat bertemu dengan rajanya dan Pasar sebagai tempat kegiatan ekonomi.

Masjid Agung Surakarta merupakan salah satu unsur yang masih tegak dan secara fisik masih dapat dilihat hingga kini. Berdiri megah di sebelah barat alun alun Surakarta bersebelahan dengan pasar Klewer, Masjid Agung Surakarta mulai didirikan oleh Raja Surakarta Paku Buwono III (PB III) pada tahun 1785 M bertepatan dengan 1689 tahun Jawa. Namun menurut Basit Adnan (1996:12) dan Eko Budihardjo (1989:63) masjid ini didirikan pada tahun 1757 dengan acuan bentuk masjid Demak, tepat 12 tahun setelah peristiwa dipindahnya Keraton Kasunanan Surakarta dari Kartasura ke wilayah desa Sala pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana III. (Keraton Surakarta didirikan pada tahun 1745)

Konon disebutkan bahwa kubah (mustoko) Masjid itu pada zaman dulu dilapisi dengan emas murni seberat 7,5 kilogram terdiri dari 192 keping uang ringgit emas. Pemasangan lapisan kubah Masjid itu diprakarsai oleh Sri Susuhunan Paku Buwono VII tahun 1878M atau 1786 tahun Jawa dengan condro sangkolo “Rasa Ngesti Muji ing Allah”.

Gerbang Utama Masjid Agung Surakarta

Namun kubah emas itu sekarang sudah tidak ada lagi, lapisan emas murni itu tidak diketahui secara pasti keberadaannya. Konon, kubah berlapis emas itu juga pernah disambar petir sehingga porak poranda. Sebagian reruntuhannya diambil orang, lainnya, sebagian lagi tak diketahui dimana rimbanya.

Masjid Agung Surakarta pernah mengalami pemugaran. Pemugaran pertama kali dilaksanakan oleh PB IV, kemudian dilakukan penyempurnaan oleh PB VII. Pada tanggal 21 Agustus 1856, dibangun serambi yang maksudnya untuk pertemuan dan pengajian maupun untuk melakukan peringatan hari-hari besar Islam. Selain itu, PB X juga mengadakan perbaikan berupa pembuatan menara untuk adzan, memperbaiki gapuro depan dan tempat wudhu. Gapura masjid ini tadinya berbentuk limasan khas Jawa, namun dibangun ulang  oleh PB X dengan gaya Persia seperti saat ini.

Biaya dalam membangun menara masjid mencapai 100.000 gulden pada tahun 1929 lalu. Tinggi menaranya sekitar 30 meter terbuat dari beton tulang. Untuk penguat pondasinya dipancangkan batang-batang kayu cemara.Pada masa lalu, sebelum dipasangi pengeras suara, muazin mengundangkan adzan langsung dari atas menara tersebut.

Kiri atas : Beduk besar dan kentongan di serambi Masjid. Kanan Atas : Ponpes di Masjid Agung Surakarta. Kiri Bawah : Menara Masjid Agung Surakarta dan Kanan bawah : Kantor pengelola Masjid Agung Surakarta.

Tradisi Sekaten

Di Masjid Agung Surakarta terdapat dua bangsal untuk menyimpan gamelan yang dimainkan setiap Sekaten, atau perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW, terutama pada tanggal 5 sampai 12 Maulud. Setiap kali Sekaten, masyarakat akan berbondong-bondong ke masjid. Mendengar gamelan Sekaten dimainkan, terutama zaman dulu, ibarat kegiatan wajib. Apalagi, gamelan itu hanya dimainkan setahun sekali. Masjid ini juga menjadi pusat penyebaran agama Islam di Surakarta. Bahkan, Sekaten merupakan bagian dari kegiatan penyebaran agama lewat laku budaya di Surakarta.

Sejarah Mudik di Masjid Agung Surakarta

Masjid dan alun-alun Surakarta ini juga punya sejarah besar berkenaan dengan tradisi mudik. Konon, dulu, Mangkunegoro I atau Pangeran Sambernyawa yang bergerilya melawan Belanda, selalu pulang pada saat Idul Fitri untuk shalat Ied di alun-alun Keraton Surakarta. Setelah itu dia akan sungkem meminta maaf kepada orang tuanya.

Ciri khas masjid Agung Surakarta

Kebiasaan Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru masyarakat lain yang mengembara, bahkan kemudian menjadi tradisi hingga kini. Meski begitu, tradisi mudik, kata almarhum budayawan Umar Kayam, sudah mentradisi di masyarakat petani sejak zaman Majapahit. Hanya saja, tradisi itu meluntur dan tak terlalu besar, kemudian menjadi tradisi besar lagi pada masa Pangeran Sambernyawa.

Arsitektural Masjid Agung Surakarta

Bentuk bangunan Masjid Agung Surakarta itu memang menyerupai Masjid Agung Demak. Dengan atap berbentuk atap limasan bersusun. Di dalam ruang sholat utama berdiri kokoh empat soko guru dan 12 saka rawa. Arsitekturnya mengandung filsafat Islam. Atap-atap masjidnya sarat dengan makna. Atap pertama (bagian terbawah) yang lebar, mengandung makna bahwa dalam hidup ini kita harus dapat ngayomi (melindungi) umat menjalankan perintah agamanya.

Atap kedua yang agak sempit bermakna bahwa perlindungan terhadap umat pilihan yang JUMLAHNYA SEDIKIT, artinya sudah menuju jalan kesempurnaan. Sedangkan atap ketiga yang teratas melambangkan ilmu hakekat, yaitu gambaran bagi umat yang paling atas tingkatannya yaitu KEKASIH ALLAH atau “mukhibbin”. Mereka ini orang yang benar-benar “muttaqien” menjauhi larangan dan menjalankan segala perintah Allah SWT.

Ratusan Abdi Dalem mengikuti prosesi Malem Selikuran di Masjid Agung Surakarta, Rabu (8/8/2012) malam. Malem Selikuran digelar untuk menyambut malam ke-21 bulan Ramadhan, dan dimeriahkan dengan parade lampion mengelilingi komplek Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Secara keseluruhan Masjid Agung Surakarta ini terdiri dari beberapa bagian yaitu : Serambi yang mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung. Pawestren, (tempat salat untuk wanita) dan Balai Musyawarah, Tempat berwudhu, Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW).

Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Salat Jumat dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta. Gedung PGA Negeri, didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono X (1914) dan menjadi milik kraton. Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India. Didirikan pada tahun 1928. Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung.

Awalnya Masjid Agung Surakarta (kanan bawah) dibangun tanpa menara seperti halnya Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta (kiri bawah). Menara tunggal yang kini berdiri anggun disamping masjid Agung Keraton Surakarta (foto atas) dibangun belakangan oleh raja berikutnya.

Pagar tinggi dibangun mengelilingi masjid ini dengan pintu gerbang di depan dan dua pintu samping kanan dan kiri dibangun pada masa Sunan Paku Buwono VIII tahun 1858. Bangunan masjid dibuat secara berurut dengan elevasi (pembedaan tinggi) lantai dan keluasannya yaitu : teras, serambi, ruang utama. Secara umum bentuk yang muncul adalah wujud arsitektur Jawa. Ruang utama berdenah persegi empat dengan sisi yang hampir sama dengan 4 (empat ) soko guru berbentuk silinder dilengkapi 12 penanggap. Blandar dibuat secar polos dengan hiasan saton pada plafonnya.

Di sayap kiri dari ruang utama terdapat pawestren yang dipisah atau disekat dengan dinding permanen dari batu bata. Sedangkan di sayap kanan terdapat ruang untuk aktifitas keagamaan yang lain. Pada ruang serambi, teradapat 40 buah tiang dengan hiasan tradisional putri mirong, dan kaligrafi. Sedangkan di teras bawah terdapat 20 tiang batu bata yang dibuat dengan bentuk doric dan kearah depan disambung dengan tratag rambat yang berbentuk kuncung. Akses hubungan dari masing-masing ruang disediakan tangga antara serambi bawah dan serambi utama.

Sedangkan dari serambi utama ke ruang sholat utama terdapat 7 buah pintu. Motif floral diterapkan pada 3 pintu utama di tengah, 2 bermotif flora dan sisanya 2 pintu dibuat polos. Secara keseluruhan finishing ruang didominasi dengan warna biru laut yang diterapkan pada bagian-bagian yang terbuat dari kayu. Seluruh pilar dan bahan bangunan masjid ini menggunakan kayu jati yang sudah sangat tua dari hutan Donoloyo (Alas Donoloyo).

Sebagian kecil detil ornamen Masjid Agung Surakarta ::: Kiri Atas, Lambang Kerajaan Kasunanan Solo di gerbang utama Masjid Agung Surakarta, Kanan Atas : Puncak Menara tunggal Masjid Agung Surakarta yang sangat khas. Kiri Bawah : detil salah satu ubin di Masjid Agung Surakarta. Kanan Bawah : Lukisan kaligrafi di salah satu soko rowo Masjid Agung Surakarta.

Ubin hias di Masjid Agung Surakarta

Masjid Agung Surakarta ini dihias dengan cukup indah menggunakan berbadai ragam ubin hias, jika dihitung, terdapat 20 jenis ragam hias pada bahan ubin yang digunakan baik di bagian luar dan bagian dalam. Untuk di bagian luar hingga kini masih terpelihara dengan baik, sedangkan yang bagian dalam sudah digantikan dengan marmer putih dan disisakan beberapa lembar saja di bagian sudut tenggara ruang sholat utama. Sebenarnya jenis ragam hias itu juga terdapat di bangunan-bangunan di dalam keraton atau rumah-rumah saudagar kaya di sekitar keraton hingga Laweyan. Namun untuk disatukan dalam upaya memperindah ruang-ruang di masjid, hanya pada masjid inilah kita temukan.

Gapura Masjid Agung Solo

Bangunan gapura ini pada awalnya berbentuk limasan, kemudian pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana X diganti dengan bangunan berbentuk arsitektur Persia. Gapura Gapura masjid Agung Surakarta selesai dibangun pada tanggal 6 Mulud 1831 tahun Je atau 1901 Masehi. Pembangunan gapura ini menghabiskan dana 100.000 gulden. Berukuran panjang ± 25 meter, tinggi ± 10 meter, dengan ketebalan ± 2 meter. Posisinya membujur dari utara ke selatan sejajar dengan tampak depan masjid.

Gapura ini menjadi akses utama ke area masjid selain 2 (dua) gapura di sisi selatan yang merupakan akses dari pasar Klewer dan sisi utara yang merupakan akses dari kampung Kauman. Gapura ini dihubungkan dengan gapura di sisi utara dan selatan dengan pagar dinding batu bata setinggi 2,5 meter. Gapura ini juga berfungsi membatasi area halaman masjid dengan area luar, dimana dapat dilihat dari adanya 3 (tiga ) akses pintu yang dilengkapi dengan daun pintu berupa teralis besi.

kiri atas : Jemaah sedang bersiap siap untuk berbuka dengan ta'jil di Masjid Agung Surakarta. Kiri Atas : Anak anak sekolah yang sedang mengikuti program MOS dengan berkunjung ke Masjid Agung Surakarta. Kiri Bawah : Dua pekerja sedang sibuk melakukan perbaikan di Masjid Agung Surakarta. Kanan Bawah : Puluhan Jemaah tidur siang di serambi Masjid Agung Surakarta, meskipun sebenarnya ada amaran yang jelas dipasang disana "dilarang tidur di serambi masjid".

Fisik bangunan dibuat dari batu bata yang kokoh dengan finishing cat tembok warna krem tidak bertekstur. Di atas pintu utama terdapat relief simbol Kraton Kasunanan Surakarta yang terbuat dari besi, sedangkan di atas dua pintu samping terdapat kaligrafi bertuliskan do’a masuk dan keluar dari masjid. Pada bagian atas terdapat jam dinding dengan dikelilingi relief bintang. Sedangkan pada tiap pilar, puncaknya dibuat dengan bentuk kuluk (topi) dan buah keben terbalik.

Jam Istiwa’ (Jam Matahari) di Masjid Agung Surakarta

Jam istiwa' atau jam Matahari dulunya digunakan sebagai penunjuk waktu sholat berdasarkan bayangan sinar matahari. Jam Istiwa’ Masjid Agung Surakarta berada di bagian kiri halaman Masjid Agung atau di depan kantor tata usaha masjid. Kondisi jam yang berusia hampir seratus tahun ini cukup terawat. Dipasang di atas tembok kokoh dan ditutup dengan kaca bening terbuka sehingga setiap saat bisa dilihat oleh siapapun. Jam matahari ini dibuat tahun 1926, pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X, bertepatan dengan ulang tahun raja ke 64 tahun.

Kitab Kuno Masjid Agung Surakarta

Masjid Agung Surakarta ini juga memiliki koleksi berharga berupa 67 kitab kuno yang sudah berumur ratusan tahun yang membutuhkan perhatian lebih untuk mengkonservasinya dari kerusakan. Di antara koleksi kitab kuno itu yang bernilai tinggi. Antara lain, Al Quran yang ditulis tangan yang dibuat sekitar tahun 1800-an, kitab berisi kumpulan hadis, dan kitab Ihya Ulumuddin yang menggunakan huruf Arab gundul. Kitab-kitab kuno tersebut saat ini disimpan dalm dalam sebuah lemari kaca yang ditempatkan di ruang perpustakaan masjid.

Ustad Ahmad Al Habsyi menyampaikan tausiah dalam tabligh akbar di Masjid Agung, Solo, Senin (15/8/2011).Kegiatan tersebut diikuti seribuan peserta. 

Beberapa pihak juga telah menawarkan untuk membeli naskah-naskah kuno tersebut, termasuk di antaranya warga negara Malaysia yang pernah menawar untuk membelinya dan dibawa kenegara Malaysia. Tetapi, tawaran tersebut ditolak oleh pengelola Masjid Agung karena menilai naskah kuno tersebut merupakan koleksi yang sangat berharga dan tidak boleh keluar dari Indonesia.

Pengelolaan Masjid Agung Surakarta

Sebagai bagaian dari aset kerajaan, masjid ini pada awalnya dikelola khusus oleh pejabat kraton yang bergelar KRTP (Kanjeng Raden Tumenggung Pengulu Tafsiranom ) yang diangkat oleh Raja dan secara struktural berada di bawahnya. Semua pengelolaan masjid termasuk diantaranya gaji pengelola ditanggung oleh raja. Hal demikian terjadi karena sebagai wujud dari keberadaan raja yang juga bergelar Sayidin Panatagama Kalifatullah atau Kalifatullah Pengatur Bidang Keagamaan (Basit Adnan, 1996:5).

Sampai saat masa pemerintahan diambil alih oleh pemerintah RI di masa kemerdekaan, masjid ini masih dikelola oleh KRTP Tafsiranom hingga generasi KRTP Tafsiranom VI. Baru kemudian sejak tanggal 3 Juli 1962 oleh Menteri Agama ketika itu K.H. Syaifuddin Zuhri diserahkan pengelolaannya kepada umat Islam sendiri dan pemerintah hanya sebagai pengawas. Meskipun demikian Keraton Surakarta masih memiliki pengaruh cukup besar di masjid ini, termasuk dalam pengangkatan Imam yang ditunjuk langsung oleh Raja sebagaimana dengan penunjukan salah satu imam masjid agung Solo KRT Tafsir Anom H. Muhammad Dasuki, tahun 1986 silam yang ditunjuk langsung oleh mendiang Sinuwun PB XII. Gelar KRT Tafsir Anom merupakan gelar kehormatan yang diberikan langsung oleh mendiang PB XII sebagai gelar kehormatan kepada beliau selaku imam Masjid Agung Solo sekaligus Imam Masjid Keraton. 


Atas : Jemaah yang memadati ruang utama Masjid Agung Surakarta, Kiri Bawah : Para abdi dalem yang dikawal prajurit Keraton membawa gunungan dalam rangka perayaan Grebeg Syawal dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menuju Masjid Agung Surakarta untuk didoakan. Gunungan ini lantas diperebutkan warga, Rabu (31/8/2011). Dua buah gunungan tersebut terbuat dari hasil bumi serta berbagai macam makanan tradisional. Kanan Bawah : Ratusan Abdi Dalem mengikuti prosesi Malem Selikuran di Masjid Agung Solo, Rabu (8/8/2012) malam. Malem Selikuran digelar untuk menyambut malam ke-21 bulan Ramadhan, dan dimeriahkan dengan parade lampion mengelilingi komplek Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Renovasi

Sejak tahun 2010 lalu Masjid Agung Surakarta ini sudah ditemukan mengalami kerusakan di bagian atap dan tiang penyangga, dan harus segera diperbaiki. Dinas Tata Ruang Kota Surakarta mengucurkan anggaran perbaikan awal sebesar Rp 1 miliar, dan bantuan dari pemerintah provinsi dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Pengurus Masjid Agung Surakarta sudah melakukan perbaikan sebagian atap, kayu penyangga atap, tiang, struktur papan di bawah atap, dan saluran air di bawah atap. Memang belum mencakup semua. Karena menyesuaikan anggaran yang ada,

Masjid Agung terakhir kali direnovasi pada 2005-2006. Saat itu memperbaiki bangunan induk, yang menghabiskan anggaran Rp 4,53 miliar. Renovasi yang dilakukan tahun 2010 adalah tahap kedua. Proses konservasi serambi Masjid Agung Surakarta tahap I selesai dilaksanakan pada bulan September 2010. konservasi serambi Masjid Agung Surakarta tahap I meliputi perbaikan tiang dan atap bagian barat. Proyek dengan kontrak senilai Rp 778.129.000 dari dana hibah APBD Kota Solo ini mulai dikerjakan pada awal Juli 2010.

Selain mengalami kerusakan di bagian atap, 40 pilar penyangga (saka rawa) bangunan serambi Masjid Agung Surakarta juga sempat mengalami pelapukan dan bahkan ada yang sudah anjlok sampai beberapa sentimeter. Sebagai langkah antisipasi, pegurus masjid sempat memasang tiang tambahan dari besi pada delapan pilar penyangga di serambi masjid tersebut.

Kiblat Masjid Agung Solo

Arah kiblat Masjid Agung Surakarta ini telah mengalami pergeseran sejak tahun 2010 lalu, setelah dilakukan pengukuran secara akurat dan mengikuti fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan arah kiblat seharusnya mengarah ke barat laut bukan barat seperti yang terjadi sebelumnya. Sebelumnya arah kiblat masjid ini pernah dilakukan pengukuran dan telah disertifikasi namun sertifikat tersebut hilang ketika terjadi banjir akhir 2008.

Grebeg Besar Keraton Surakarta

Grebeg besar adalah upacara tradisional untuk memperingati Ibadah Haji (Idul Adha). Acara ini berlangsung di depan Masjid Agung Solo. Puncak perayaan ditandai saat Hajad Dalem Gunungan dibawa dalam prosesi dari Keraton Surakarta menuju Masjid Agung.***


2 komentar:

  1. foto yg ada keterangan "Awalnya Masjid Agung Surakarta ini dibangun tanpa menara seperti foto kiri bawah. Menara tunggal yang kini berdiri anggun disamping masjid dibangun belakangan oleh raja berikutnya." itu salah, foto yg lama itu foto masjid Kauman Yogya, perbedaan dari model depan atap kuncungannya, juga mustakanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah, terimakasih atas masukannya. sudah di perjelas keterangan fotonya. matursuwun.

      Hapus

Dilarang berkomentar berbau SARA