Rabu, 21 Desember 2011

Islamic Centre Maladewa

Masjid Al-Sultan Muhammad Thakurufaanu Al-Auzam atau lebih dikenal sebagai Islamic Center of Maldives atau dalam bahasa Indonesia disebut Islamic Center Maladewa.


Islamic Centre Maladewa atau nama resminya adalah Masjid dan Islamic Center Sultan Mohammed Thakurufaanu Al-Auzam adalah masjid terbesar di Republik Maladewa, terkenal juga dengan nama Grand Friday Mosque Male karena lokasinya berada di pulau Male, ibukota Maladewa. Masjid ini sekaligus menjadi masjid nasional dan kantor Dewan Agung Agama Islam Maladewa. 

Masjid megah ini berada di kota Male, Ibukota Republik Maladewa. Lokasinya hanya terpaut kurang dari seratus meter dari Masjid Hukuru Miskiiy “Masjid Nasional” pertama di Maladewa sebelum fungsi sebagai “Masjid Nasional” berpindah ke Islamic Center Maladewa seiring dengan selesainya pembangunan Islamic Center tersebut tahun 1984.
 
Islamic Centre Maladewa, merupakan masjid nasional dan terbesar di Maladewa.

Penyebutan masjid di Maladewa memang agak membingunkan bagi orang luar. Maladewa tak mengenal masjid Jami’ seperti di Nusantara. Semua masjid yang menyelenggarakan sholat Jum’at disebut Hukuru Miskiiy atau Hukuru Miskit. Hukuru artinya Jum’at dan Miskiiy atau Miskit berarti Masjid. Di kota Male sebelumnya sudah ada Hukuru Miskiiy (dibangun tahun 1153) yang hanya sejengkal jaraknya dari istana Sultan (kini menjadi istana presiden). 

Untuk membedakan Hukuru Miskiiy yang pertama dengan Hukuru Miskiiy yang baru (yang sedang kita bahas dalam artikel ini), maka Hukuru Miskiiy yang baru lebih dikenal sebagai dengan sebutan “Islamic Centre” yang menjadi pusat kegiatan beberapa even internasional termasuk diantaranya pertemuan SAARC yang pernah diselenggarakan di masjid ini.

Lokasi dan Alamat Grand Friday Mosque Male

Islamic Centre‎
156 Ameer Ahmed Magu
Malé, Maldives





Lokasi masjid ini yang berada di kawasan pusat pemerintahan Maladewa, dekat dengan pelabuhan utama Male, menjadikannya sebagai landmarknya kota Male dan Maladewa. Ditambah lagi dengan ukuran kota pulau Male yang tak telalu besar membuat masjid ini dapat terlihat hampir dari seluruh bagian kota. Saking kecilnya hanya butuh waktu setengah jam untuk berjalan kaki dari ujung timur ke ujung barat kota Male atau dari ujung utara ke ujung selatan, dan kurang dari dua jam berjalan kaki untuk mengitari seluruh kota pulau ini.
 
Sejarah Singkat Maladewa
 
Sejarah Maladewa nyaris identik dengan sejarah Islam di Maladewa. Para ahli memperkirakan pulau pulau Maladewa mulai dihuni sejak 500 tahun sebelum masehi. Sampai awal abad ke 12 Maladewa masih berbentuk kerajaan Budha sampai kemudian berubah menjadi kesultanan Islam di tahun 1152 seiring dengan masuk Islamnya Raja Maladewa berikut seluruh keluarga di ikuti seluruh rakyatnya. Portugis sempat menjajah Maladewa selama 15 tahun (1558-1573) dan tersingkir dari Maladewa dengan kekalahan besar dalam serbuan mendadak namun mematikan dari pasukan yang dipimpin oleh Sultan Mohammed Thakurufaanu Al-Azzam, pahlawan nasional Maladewa yang namanya di abadikan sebagai nama masjid dan Islamic Center Maladewa.

Begitu pentingnya kedudukan masjid ini, pemerintah Maladewa melalui otoritas moneter negara tersebut mengabadikannya dalam uang kertas pecahan 500 Rufiyaa tahun emisi 1996.


Selain itu Maladewa sempat dikuasai oleh Ali Raja dari India dan lagi lagi Kesultanan Maladewa membebaskan diri dari kekuasaan asing di negeri mereka. Ali Raja hanya mampu bertahan menguasai Maladewa tak lebih dari dua minggu. Tahun 1887 Sultan meminta proteksi dari kerajaan Inggris yang berkedudukan di Ceylon (Sri Lanka) dan sejak itu Maladewa menjadi wilayah protektorat Inggris. Secara berkala kapal angkatan laut inggris melakukan patroli laut di perairan Maladewa. Tahun 1932 konstitusi pertama mulai berlaku namun tak bertahan lama dan berahir di tahun 1939.
 
Tahun 1953 Maladewa menjadi Negara Republik berubah dari Kesultanan, namun keluarga kerajaan masih sangat berpengaruh di pemerintahan. Tahun 1965 inggris melepaskan status protektorat Maladewa. Republik Maladewa Jilid ke dua dibentuk tanpa campur tangan Inggris. Ibrahim Nasir menjadi Presiden pertama. Meski telah berganti bentuk dari kesultanan menjadi Republik namun Maladewa tetap mempertahankan Islam sebagai dasar negara sejak tahun 1152 hingga saat ini.

Islamic Center Maladewa dilihat dari arah laut.

Peran Masjid di Maladewa

Dalam kehidupan masyarakat Maladewa, Miskiiy atau Masjid memegang peran sentral bagi pelaksanaan syariat Islam. Disetiap hari Jum’at, toko toko dan perkantoran tutup pada pukul 11.00 untuk memberi waktu kepada jemaah guna mempersiapkan diri untuk sholat Jum’at yang dimulai pukul 12.30 siang waktu setempat. Masing masing komunitas masyarakat memiliki masjid mereka sendiri yang biasanya dibangun menggunakan bahan utama batu karang warna putih dengan atap seng gelombang. Di tahun 1991 Maladewa memiliki setidaknya 724 masjid dan 266 masjid khusus untuk wanita. Walaupun kemudian masjid masjid khusus untuk wanita teresbut ditutup untuk mengurangi biaya operasional Negara, dan mendorong jemaah wanita untuk sholat di rumah sesuai dengan sunnah bahwa muslimah lebih utama melaksanakan sholat di rumah.

Bila di Indonesia kita mengenal sebutan Marbot untuk pengurus masjid. Di Maladewa mereka menyebutnya Mudimu. Bedanya lagi di Indonesia para marbot biasanya bekerja sukarela alias tak di bayar, tapi di Maladewa Mudimu merupakan pegawai resmi pemerintah. Mudimu juga bertindak sebagai muazin yang mengumandangkan azan lima kali sehari. Toko toko dan kegiatan perdagangan biasanya berhenti sejenak setidaknya 15 menit setiap kali terdengar azan. Selama bulan Ramadhan semua kafe dan rumah makan tutup disiang hari dan hanya buka dalam waktu yang sangat terbatas di malam hari.

Interior Islamic Center Maladewa.

Sejarah Grand Friday Mosque, Maladewa

Islamic Centre Maladewa diresmikan oleh Presiden Maladewa, Mumoon Abdul Gayoom pada 11 November 1984. Keseluruhan masjid terdiri dari bangunan berlantai tiga lengkap dengan perpustakaan umum dan balai pertemuan serta perkantoran. Majelis Agung Urusan Islam Maladewa berkantor di Masjid ini. Proses pembangunan masjid didanai oleh Negara Negara Teluk Persia, Pakistan, Brunai Darussalam dan Malaysia.

Penduduk Maladewa merupakan muslim sunni, islam telah menjadi agama negara sejak pertama kali kesultanan Maladewa berdiri di abad ke-12 dan Islam menjadi syarat utama warganegara Maladewa. Hukum Islam atau Syariah, dalam bahasa Dhivehi yang menjadi bahasa resmi Maladewa disebut sebagai Sayriatu menjadi hukum dasar Maladewa. Impelementasinya di dalam kehidupan masyarakat menjadi tanggung jawab utama Presiden, Hakim Agung, Mendagri serta Majelis Agung Urusan Islam

Islamic Center Maladewa.

Arsitektural Grand Friday Mosque Male

Masjid ini berarsitektur modern dengan sentuhan arsitektur Timur Tengah yang sangat kental, lengkap dengan sebuah bangunan menara tinggi dan kubah besar di atap bangunan utama. Masing-masing kubah tersebut berbalut warna kuning ke-emasan, mengingatkan pada kubah pada masjid Kubatus Shakrah (Kubah batu) di tengah komplek Masjidil Aqso di Palestina. 

Bangunan masjid terdiri dari tiga lantai. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang termasuk perpustakaan Islam dan kantor bagi Dewan Agung Urusan Agama Islam Maladewa. Ruang sholat nya berkapasitas 5000 jemaah. Ukiran dari batu karang putih menjadi ciri khas masjid masjid Maladewa, termasuk di Masjid Islamic Center ini. Batu karang tentu saja memang bahan bangunan yang paling mudah diperoleh di Maladewa yang terletak di tengah Samudera Hindia. Pola ukiran batu karang ini didominasi pola pola segi empat. Tak ketinggalan ukiran dari kayu dan ukiran Kaligrafi ayat suci Al-Qur’an.

Maladewa terdiri dari gugus pulau pulau kecil di Samudera India, kini menjadi salah satu destinasi wisata pavorit warga dunia.

Exterior depan masjid dilengkapi dengan lima bukaan berlengkung ukuran besar masing masing lima di sebelah kiri dan lima disebelah kanan. Gerbang utama masjid ini terbuka lebar meski harus melewati serangkaian anak tangga yang cukup tinggi untuk menuju gerbang utama masjid menuju ruang sholat utama. Menara masjid ini terdiri dari tiga lantai dengan balkoni dimasing masing lantai. Balkoni teratas dibuat terbuka mirip dengan masjid masjid dari dinasti Mughal India. dan tentu saja sebuah bulan sabit warna emas menghias puncak tertinggi menara, sama halnya dengan di ujung tertinggi kubah utama masjid.

Sebuah papan peringatan dari Dewan Tinggi Urusan Islam dalam ukuran besar berbahasa inggris dengan tegas memberikan arahan bagi pengunjung non muslim.

“Non muslim diperkenankan masuk ke masjid Al-Al-Sultan Muhammadh Thajurufaan – Al-A”zam dan Islamic Center diantara pukul 9.00 hingga pukul 17.00 setiap hari, kecuali selama waktu sholat. Mereka diminta untuk mengormati ajaran agama dan budaya kami dan diminta dengan sangat untuk tidak berisik selama di berada di area sholat, pemotretan dan rekaman video di bagian dalam masjid dan Islamic center harus mendapatkan izin dari pengurus, tanpa seizin pengurus, semua kamera dan media rekaman apapun hanya diperkanankan sebatas tangga masjid”***








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA