Minggu, 14 Agustus 2011

Masjid Hidayatullah – Setiabudi, Jakarta Selatan

Bertahan dihimpitan zaman dan belantara beton metropolitan Jakarta, Masjid Hidayatullah ini menjadi saksi bisu perkembangan kawasan tersebut sejak kali Krukut yang melintas di depan nya masih jernih, bersih dan bening sampai kalinya berubah hitam legam pekat dengan cemaran seperti saat ini. 

Bila anda sedang melintas di kawasan Karet, Setiabudi, Jakarta. Anda akan melintasi masjid tua berarsitektur unik ini terselip diantara belantara gedung gedung jangkung metropolitan Jakarta.  Masjid tua bersejarah yang pernah terancam akan digusur demi kepentingan kapitalis ini masih bertahan ditempatnya sejak pertama kali berdiri tahun 1921. Sebuah masjid yang mencerminkan perpaduan berbagai budaya dalam seni bangunannya, menambah khazanah seni arsitektural masjid masjid di tanah air.

Pada era kejayaannya, masjid ini menjadi kebanggaan warga Betawi di kawasan Karet. Namun kini masjid tua bersejarah ini benar benar terhimpit dan terhalang oleh gedung gedung pusat bisnis paling elit di Jakarta. Setiap jengkal lahan di kawasan ini sangat berharga sehingga tak mengerankan bila lahan masjid ini pernah menjadi incaran beberapa kalangan untuk diubah menjadi kawasan bisnis. Sebelum kemudian Masjid ini dimasukkan dalam daftar bangunan Cagar Budaya yang harus dilindungi. Kini setelah ratusan tahun berlalu masjid ini menjelma laksana oase yang menyejukkan jiwa ditengah kerasnya kehidupan Metropolitan Jakarta.

Alamat Masjid dan Lokasi Masjid

Jl. Masjid Hidayatullah (Karet Depan), RT 07/04, Karet Semanggi,
Setiabudi, Jakarta Selatan, 12930.





Sejarah Masjid Hidayatullah

Masjid Hidayatullah – Jakarta ini merupakan salah satu masjid dengan sentuhan budaya Thionghoa di Indonesia. Pertama kali dibangun pada tahun 1747 di atas lahan wakaf dari pengusaha Batik bernama Mohamad Yusuf yang tinggal didaerah Karet, lahan seluas tiga ribu meter persegi untuk masjid tersebut beliau dapat dari seorang Belanda bernama Safir Hands.

Ada dua versi tentang Muhammad Yusuf ini. sumber pertama menyebutkan bahwa beliau adalah seorang pengusaha Muslim Thionghoa, itu sebabnya arsitektur masjid ini kental dengan sentuhan budaya Thionghoa. Sementara sumber yang lain menyebutkan bahwa beliau adalah seorang pengusaha asli Betawi dan sentuhan Thionghoa pada bangunan masjid ini dikarenakan pada proses pembangunannya yang dilaksanakan secara bergotong royong oleh para jemaah termasuk jemaah muslim Thionghoa yang tinggal di kawasan tersebut kala itu.

Tak ada informasi tentang keberadaan makam Muhammad Yusuf, yang mewakafkan lahan untuk pembangunan masjid ini. Tidak jelas juga apakah memang tidak diketahui dengan jelas keberadaannya atau juga bisa jadi para pengurus masjid dan warga setempat memang menyimpan rapat rapat tentang keberadaan makam beliau guna menghindari dikultuskannya makam hamba Alloh yang sholeh tersebut dari tindakan kemusryikan para peziarah yang masih belum memahami esensi ziarah sesuai syariat.

Masjid Hidayatullah kini benar benar terhimpit diantara belantara beton kota Jakarta. Dua Penkakar langit kini mengapit masjid bersejarah ini, Gedung Sampoerna Strategic Square dan Menara Standard Chartered. 

Di sekitar masjid Hidayatullah memang terdapat begitu banyak makam kaum muslimin yang dirawat begitu apik, diantara rimbunan pepohonan rindang yang meneduhi kawasan ini. rerumputan hijau yang juga terawat dengan baik menghilangkan nuansa seram dan angker yang biasa hadir di sekitar komplek pemakaman apalagi pemakaman tua seperti makam makam disekitar masjid Hidayatullah ini.

Masjid Hidayatullah sudah tiga kali direnovasi, yaitu tahun 1921, 1948, dan 1996. Namun renovasi sama sekali tidak mengubah wajah asli masjid. Pada tahun 1991 pengusaha swasta dan pejabat pemerintah pernah akan menggusur peninggalan sejarah ini, sehingga menimbulkan bentrokan antara warga setempat dengan aparat.  Pengurus masjid dibantu Museum Nasional DKI Jakarta berhasil mempertahankannya.

Saksi sejarah perjuangan

Masjid ini menjadi saksi bisu perjuangan para pahlawan saat melawan penjajah. Saat penjajahan dulu sering dipakai sebagai tempat mengatur strategi. Dua menara menjulang tinggi di kanan dan kiri pintu masuk masjid dulunya juga dipakai untuk mengintai musuh. Melalui masjid inilah pengiriman senjata ke daerah Karawang dan Cikampek dilakukan.

Tampak seperti miniatur. Masjid Hidayatullah dilihat dari ketinggian gedung jangkung disekitarnya tampak begitu mungil seperti miniatur.

Bukti lain keterlibatan Masjid Hidayatullah dalam perebutan kemerdekaan adalah ditangkapnya salah seorang pengurus masjid, yaitu H. Saidi yang sempat dibuang ke Digul, sebelum akhirnya dikembalikan ke lingkungan tersebut. Pahlawan Betawi ini meninggal tahun 1950-an dan di makamkan di sekitar masjid.

Tanggal 15 November 1991, masjid itu kembali menjadi saksi bisu perjuangan para warga. Masyarakat berjuang untuk mempertahankan masjid yang semula akan digusur untuk dijadikan perkantoran.
Sempat terjadi kekisruhan kala itu. Namun atas izin Alloh dan perjuangan warga, rencana tersebut batal. Masjid Hidayatullah pun masih berdiri tegak hingga hari ini.

Tradisi dan Aktivitas di Masjid Hidayatullah

Jika ingin berbuka puasa dalam suasana khusyuk masjid tempo dulu, datang saja ke Masjid Hidayatullah di kawasan Karet, Setiabudi, Jakarta Pusat. Sejak 17 tahun lalu setiap Ramadhan pengurus masjid menyediakan tajil (makanan ringan untuk berbuka) serta nasi beserta lauk bagi para jemaah.

Aktivitas keagamaan masih dan Isnya Allah akan terus berlangsung di Masjid Hidayatullah dan semakin ramai selama Ramadhan. Selama bulan suci Ramadhan setiap hari pengurus masjid menyediakan 200 tajil untuk jamaah masjid. Dan dimalam takbiran masjid menyediakan menu ketupatSelain penduduk setempat, jamaah yang datang untuk berbuka di antaranya karyawan perkantoran di sekitar masjid atau pengguna jalan yang terjebak macet di Jalan Sudirman.

Bangunan lama Masjid Hidayatullah, Masjid terkonservasi dengan baik.

Tak hanya menjadi tempat ibadah, masjid ini juga menjadi tempat berjual beli. Semula para pedagang berjualan di depan masjid, namun atas usulan dari Sampoerna pedagang-pedagang tersebut pindah ke sebuah tempat yang jaraknya tak jauh dari masjid. "Kantin Masjid Hidayatullah namanya. Selain makan dan alat-alat sholat, ada pula pedagang yang menjajakan barang-barang lain. Seperti ikat pinggang, CD, bahkan pisau serba guna. Omset yang didapat pun terbilang bagus.

Arsitektur Masjid Hidayatullah Perpaduan Berbagai Budaya

Tampak dari luar Masjid yang sempat akan digusur ini terlihat seperti bangunan khas Thionghoa, dengan atap bersusun tiga melengkung. Sementara kehadiran dua menara yang simetris adalah ciri budaya Hindu yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah. Namun saat memasuki lingkungan masjid, jamaah dapat merasakan budaya lain. Pintu-pintu dan jendela yang ada menunjukan gaya Betawi.

Jendela kayu pada masjid tersebut yang berkisi terbuka dengan tirai setinggi separo jendela. Jendela dengan model itu sering kita jumpai pada rumah tradisional Betawi. Selain itu, pintu yang serba lebar sampai ukiran mawar yang menyatukan delapan tiang penyangganya di dalam masjid, semuanya berciri Betawi. Bangunan utama masjid diapit oleh dua buah menara dibagian depan. Pengaruh budaya Thionghoa tidak saja pada bentuk atap masjid tapi juga terlihat pada gaya ukir mimbar berupa hiasan flora dan fauna.

Jejeran makam di pekarangan masjid Hidayatullah.  

Luas lahan masjid sudah berkurang setengah dari aslinya. Hal tersebut disebabkan sebagian lahan yang ada dipergunakan untuk jalan. Namun, karena jumlah Jamaah semakin banyak, pihak masjid memutuskan untuk menambah beberapa ruangan dan tetap mempertahankan bangunan asli. 

Di kiri-kanan masjid terdapat puluhan makam yang masih terawat dengan baik. Selain itu terdapat pula pepohonan yang berusia puluhan tahun yang membuat suasana masjid menjadi semakin teduh.
Beberapa pohon yang tergolong langka di Indonesia juga tumbuh dan hidup di tempat ini, seperti pohon kurma tapi tidak berbuah, pohon malaka yang memiliki buah pahit dan bisa dimanfaatkan untuk obat serta pohon nangka yang sudah berusia ratusan tahun.

Menurut A. Heuken SJ dalam buku Masjid Masjid Tua Jakarta, kemungkinan masjid ini berawal dari sebuah bangunan mushola atau masjid kecil . dua menara kembar yang terdapat di bagian muka masjid bisa jadi merupakan gaya arsitektur yang sedang digandrungi di Jakarta ketika itu. Hal ini dapat dilihat dari adanya menara ganda pada bekas kantor imigrasi di Menteng (dibangun tahun 1913) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (dibangun tahun 1926). Aristektur menara kembar seperti ini menurut Heuken berasal dari Persia.

Sementara Iif Rahmat Faizi menyebutnya sebagai pengaruh budaya Hindu Jawa. Dalam buku panduan kecil Building, disebutkan bahwa pengaruh Mesopotamia (Irak) tepatnya gaya Babilonia, terasa lebih kuat. Desain menara kembar di atas podium terutama gerbang masuk tampaknya bermula dari pembangunan Ishtar gate pada masa Babilonia. Gaya ini kemudian berkembang memasuki era arsitektur yang lebih modern di awal abad 20.

Interior Masjid Hidayatullah

Tampaknya menara ini merupakan perpaduan antara dua menara yang khas arsitektur Babilonia dengan bentuk atap khas dari China. Gerbang masuk utama seperti ini terlihat disini memang mengingatkan pada gerbang masuk keraton keraton di Jawa yang merupakan pengaruh Hindu Jawa.

Salah satu kebiasaan elektik masyarakat Indonesia memang terasa sekali pada bangunan Masjid Hidayatullah ini. masih  menurut Iif Rahmat Fauzi, maka akan terbaca simbolisasi yang dimunculkan dalam masjid ini. Masyarakat Indonesia memang sangat senang dengan simbolisasi dalam rancang bangun arsitekturalnya. Dua menara kembar melambangkan dua kalimat syahadat. Delapan tiang penyanggah utama di dalam masjid menggambarkan 5 rukun Islam di tambah dengan 3 kepribadian Muslim yakni Iman, Islam dan Ikhsan.

Renovasi dan Perbaikan Masjid

Pada awal berdirinya, luas tanah masjid sekitar 3.000 m. Namun setelah mengalami penggusuran untuk proyek perluasan kali Krukut yang mengalir tepat di depan masjid, yaitu pada tahun 1972 dan pembuatan air limbah pada tahun 1980-an, saat ini luas tanahnya hanya tinggal 1.600 m. Sementara sampai saat ini, Masjid Hidayatullah sudah mengalami empat kali perbaikan.

Perbaikan pertama pada tahun 1921 dengan tidak merubah bentuk aslinya, namun hanya ditambah dengan bangunan samping. Perbaikan kedua pada 1948 dengan menambahkan porselen. Perbaikan ketiga pada 1972 dengan menambah internit dan perbaikan keempat tahun 1983 dengan memperluas bangunan luar.***

--------------------------------ooOOOoo--------------------------------

4 komentar:

  1. assalamualaikum wr,wb
    Nama saya afandi nawawi saya brasal dari jawa tengah tepatnya kebumen.
    waktu saya bekerja di mangga dua pasar pagi saya bertemu dengan seorang anak keturunan pengurus masjid ini namanya Bapak Yasin biasa di sebut dgn Bang Iing , dia menyruh saya bertemu dengan seorang keyai yang ada di masjid ini saya pun ga tau knpa dia menyuruh saya datang untuk silaturahmi dengan Kyai di masjid ini sampai sekarng saya belum menemuinya , semoga aja saya bs menemuinya dan bersilaturahmi dengan Beliau .
    itu sadja sebagian cerita saya yg berkaitan dengan masjid ini Wassalam.wr.wb :)
    salam ukhuwah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikum salam wr wb
      Kita memang di anjurkan untuk senantiasa bersilaturrahim. Apalagi bersilaturrahim ke pada para ulama tentunya ada hikmah yang baik dibalik pengalaman anda.
      wassalam

      Hapus
  2. Aku pernah kecil dan tinggal persis di belakang masjid berdampingan dengan makam saat hidup masih amat sulit bersama org tua,dan sudah sejak dulu tau kalau masjid itu tua serta bersejarah,aku memiliki story tersendiri dengan masjid dan wilayah di sekitarnya yg bisa di ceritakan kepada anak2 ku saat ini.

    BalasHapus
  3. Alhamdulilah. Nama sy ferry. Sy pernah tinggal disamping masjid . Pd tahun 1989 rumah sy tergusur. Sy salah satu cucu dari kong H. Asmad.

    BalasHapus

Dilarang berkomentar berbau SARA