Selasa, 23 November 2010

Masjid Cipari Garut Jawa Barat

Keunikan dari Masjid Cipari ini adalah bentuknya yang justru lebih mirip dengan bangunan gereja dari masa kolonial Belanda. Sama sekali tidak mirip dengan bangunan masjid pada umumnya.

Masjid Cipari atau Masjid Al-Syura, adalah salah satu masjid tertua di Garut, Jawa Barat. Sebuah masjid pesantren yang cukup unik karena mirip dengan bangunan gereja dengan bentuk bangunan memanjang dengan pintu utama persis ditengah-tengah bagian muka bangunan, Menaranya yang terletak di ujung bangunan persis diatas pintu utama. Masjid Cipari ini juga memiliki sejarah perjuangan, karena dahulu digunakan sebagai basis perjuangan rakyat dan tentara.

Masjid ini menjadi salah satu dari dua masjid di Indonesia yang memiliki arsitektur mirip dengan bangunan gereja. Masjid yang satu nya lagi adalah masjid Somobito di Mojowarno, Mojokerto, Jawa Timur. Masjid Al-Syura berada dalam kawasan Pondok Pesantren Cipari, alamat lengkapnya berikut peta lokasi masjid ini adalah sebagai berikut :
                                                
Mesjid Al-Syuro Pesantren Cipari
Sukarasa, Pangatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat 44183
aliyahcipari.blogspot.co.id
(0262) 444817


Sejarah Berdirinya Masjid Cipari

Berdirinya Masjid Al-Syura tak lepas dari sejarah Pondok Pesantren Cipari yang didirikan oleh KH. Zaenal Abidin yang dikenal dengan sebutan Eyang Bungsu, kemudian kepemimpinan pondok pesantren diteruskan oleh KH. Harmaen. Masjid Al-Syura ini diperkirakan berdiri tahun 1895, di dalam lingkungan Pondok Pesantren Cipari tetapi dalam kondisi masih sangat sederhana. 

Dana pembangunan masjid ini berasal dari dana gotong royong keluarga pesantren, santri dan masyarakat sekitar masjid. Sejak awalnya masjid ini telah berada di dalam kompleks pesantren dibawah pimpinan KH Harmaen dan dikelilingi hanya sekitar 20 rumah penduduk.

Bentuk bangunan masjid cipari ini memanjang dengan langgam art deco ditambah dengan satu menara yang juga sangat mirip dengan menara gereja pada masa kolonial Belanda.

Tahun 1933, KH Harmaen meninggal dunia dan kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putra putri beliau H. Abdul Kudus, KH. Yusuf Tauziri dan Hj. Siti Quraisyin. Saat dipimpin KH Yusuf Tauziri, masjid dibangun dan diperluas seiring dengan kemajuan pesat yang dialami pesantren. Bentuk masjid yang dibangun pada saat itulah sebagaimana apa yang bisa kita lihat sekarang. Pembangunannya selesai pada tahun 1935 dengan luas bangunan lebih kurang 75 x 30 meter. 

Masjid ini dirancang oleh R.M. Abikusno Tjokrosuyoso yang merupakan keponakan H.O.S Tjokroaminoto, dengan memadukan seni bangunan Jawa dan teknik bangunan kolonial/Eropa.  Diresmikan oleh H.O.S Tjokroaminoto pada 1936, masjid ini sering digunakan tempat pertemuan tokoh SI (Syarikat Islam) dan tokoh nasionalis (PNI) pada masa pergerakan nasional. 

Bagian dalam Masjid Cipari

Kemajuan pesantren saat itu juga ditunjang oleh dihapuskannya ordonansi sekolah luar oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 13 Februari 1932 akibat penentangan berbagai organisasi nasional dan Islam, seperti Budi Utomo, Muhammadiyah, PNI, PSII, dan lain-lain. Perluasan masjid ini memiliki kaitan erat dengan situasi pergerakan nasional tersebut karena pimpinan pesantren kebetulan juga seorang ketua PSII cabang Wanaraja.

Peran Masjid  Cipari dalam pergerakan kemerdekaan

Masjid dan pesantren ini jelas memiliki peran dalam perjuangan rakyat Indonesia pada masa kemerdekaan. Para santri selain belajar ilmu agama juga dididik sebagai pejuang. Ini tak lepas dari keberadaan masjid dan pesantren sebagai salah satu pesantren dari organisasi perjuangan Syarikat Islam.

Menara tunggal Masjid Cipari

Bahkan, masjid juga telah menjadi saksi sejarah di masa kemerdekaan, di mana ia pernah menjadi tempat pengungsian rakyat sekitarnya ketika perang kemerdekaan. Bahkan, menurut cerita rakyat setempat, masjid ini pernah diserbu oleh pasukan DI/TII sebanyak 52 kali. Namun, barangkali karena tebal dindingnya yang lebih dari 40 sentimeter, masjid hingga kini masih tegak berdiri dengan kokoh.

Asitektur Masjid Cipari

Masjid yang dibangun di jaman kolonial Belanda ini jelas mencirikan langgam bangunan dari era kolonial Belanda, bentuk yang memang tak lazim untuk sebuah bangunan masjid di kawasan berpenduduk Mayoritas Muslim.

dari pematang sawah

Mirip Bangunan Gereja

Yang membuat Masjid Cipari sangat mirip dengan gereja adalah selain bentuk massa bangunannya yang memanjang dengan pintu utama persis di tengah-tengah tampak muka bangunan, juga keberadaan menaranya yang terletak di ujung bangunan persis di atas pintu utama. Posisi menara dan pintu utama telah menjadikan bangunan ini tampil tepat simetris dari tampak luar. Dari bentuk dan posisi menara dan pintu utama tersebut, bangunan ini jelas mengingatkan kita pada bentuk bangunan-bangunan gereja.

Bangunan masjid ini memanjang dari timur ke barat, bila kita memasuki bangunannya, yang memberi penanda bahwa bangunan ini masjid hanyalah keberadaan ruang mihrab berupa penampil yang menempel di dinding arah kiblat. Sementara, ruang shalatnya pun lebih mirip ruang kelas yang dapat dimasuki dari pintu di sebelah utara dan selatan atau dari pintu timur yang terletak di antara ruang naik tangga.

Anggun disaat senja

Masjid Al-Syura, Cipari ini menjadi salah satu dari dua masjid Indonesia yang mempunyai bentuk mirip dengan bangunan Gereja, Masjid yang satu lagi adalah Masjid Somobito di Mojowarno, Mojokerto, Jawa Timur. Bedanya, Masjid Somobito berada di kawasan berpenduduk mayoritas beragama Kristen, sedangkan Masjid Al-Syura, Cipari ini berada di tengah-tengah desa yang seluruhnya penduduknya beragama Islam.

Berlanggam Art Deco

Arsitektur Masjid Al-Syura, Cipari ini juga diwarnai dengan langgam art deco pada bangunan. Langgam bangunan yang hampir tidak pernah dijumpai pada masjid kuno di seluruh wilayah di Indonesia. Langgam Art Deco – Langgam ini tampak pada pengolahan fasad masjid. Pola-pola dekorasi geometrik memperkuat pemakaian langgam ini.

Senja hari manakala lampu lampu di dalam Masjid Cipari mulai dinyalakan

Pada Masjid Cipari, langgam art deco sebagaimana dicirikan dengan bentuk geometris, terlihat jelas pada pengolahan fasadnya, pola dekorasi geometris yang berulang di atas material batu kali, garis horizontal yang halus pada sisi samping kanan dan kiri bangunan, serta bentuk menara dan atapnya yang menyerupai kubah dengan beberapa elemen dekorasi pada bagian samping maupun puncaknya.

Menara masjid berketinggian lebih kurang 26 meter dengan kubah menara berdiamete 2 meter, menarik perhatian setiap pengamat. Menjadi simbol untuk menandai bahwa bangunan ini bukan gereja melainkan masjid dengan diletakkannya lambang bulan sabit di ujung menara. Terdapat beberapa lantai pada interiornya, dengan lantai teratas merupakan ruangan sempit berlantai pelat baja yang dikelilingi semacam balkon kecil yang juga dari pelat baja.

Kesan bangunan dari era penjajahan Belanda sangat kental pada bangunan masjid ini.

Hal lain yang menarik dari arsitektur masjid Al-Syura, Cipari ini adalah tidak adanya bentuk bentuk lengkungan pada bukaan jendela ataupun pintu sebagaimana bentuk masjid masjid biasanya. Tata letak pintu masuk utama yang mengingatkan pada bangunan gereja kolonial dengan komposisi pintu dan jendela di sisi samping bangunan yang lebih terlihat seperti pintu masuk dan jendela-jendela ruang kelas/sekolah atau bangunan kantor pada masa kolonial.

Aktivitas Masjid Cipari

Selayaknya masjid Pondok Pesantren, Masjid Al-Syura, Cipari ini cukup semarak dengan kegiatan dakwah Islam. Mejelis ta’lim yang diselenggarakan di PP. Cipari rutin diadakan setiap hari selasa khusus untuk kaum perempuan sedangkan hari Sabtu untuk para ustadz dari berbagai wilayah di Garut Timur. 

Masjid Asyura di tengah pondok pesantren Cipari ini menambah khazanah bangunan masjid unik di Indonesia.

Pengajian insidental sering diadakan berkenaan dengan hari-hari besar Islam seperti peringatan tahun baru Islam (1 Muharaman), Maulid Nabi dan lain lainl. Pengajian bagi santri rutin diadakan setiap hari yaitu ba’da ashar, maghrib, isya dan subuh. Kitab yang dikaji diantaranya kitab fiqh, alat (bahasa), Hadits, dan tafsir qur’an.

Santri yang mondok di pondok Pesantren CIpari ini berasal dari berbagai daerah Indonesia. diantaranya Bandung, Jakarta, Sumedang, Tasik, Jawa, Palembang, Medan, Aceh, Maluku, Papua, dll. Santri disini terbagi atas dua kelompok, yaitu santri Takhosus Al-Qur’an dimana mereka hanya memfokuskan pada pengajian Al-Qur’an, hadits, dan kitab kuning, dan santri yang mengaji sambil bersekolah di MTs dan MA. Saat ini Pondok Pesantren Cipari tempat masjid Assyura berada di asuh oleh KH. Dr. Amin Bunyamin, Lc. Hc. Yang juga merupakan anggota DPR-RI.***

5 komentar:

  1. maaf sebelumnya, mau ralat alamat email,
    bukan fuadz_cipari@yahoo.com , tetapi :
    adz_elgar@yahoo.com

    thanks atas tulisannya...sangat bagus....

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah,... posting yg bagus

    BalasHapus
  3. Masjid saksi sejarah cinta nkri

    BalasHapus

Dilarang berkomentar berbau SARA