Sabtu, 25 Desember 2010

Masjid Jami' Indrapuri, Aceh

Masjid Jami’ Indrapuri pada mulanya merupakan sebuah bangunan candi yang dibangun pada abad ke 12 Miladiyah dan diperkirakan dialih fungsi menjadi masjid pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).  

Masjid Jami’ Indrapuri, Masjid tua yang diduga dibangun di atas bekas sebuah candi, ketika masyarakat di sekitar daerah tersebut sudah memeluk agama Islam. Masjid tua yang masih dijaga dengan baik hingga kini dan masih berfungsi dan dimanfaatkan oleh kaum muslimin di Indrapuri. Selain menjadi kebanggaan muslim Indrapuri, masjid tua ini juga suda menjadi bangunan tua yang dilindungi Undang undang.

Kini masjid Jami’ Indrapuri selalu ramai oleh jemaah. Di bulan suci Ramadhan masjid ini senantiasa masuk dalam agenda tujuan safari Ramadhan para petinggi kabupaten maupun provinsi, yang ingin bersilaturrahmi dengan warga nya. Kendatipun ukurannya relatif kecil serta letaknya tidaklah di ibukota kabupaten apalagi ibukota provinsi.

Lokasi Masjid Jami’ Indrapuri

Masjid Indrapuri berada di berlokasi di poros jalan Banda Aceh-Medan, masuk ke dalam Desa Indrapuri pasar, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Tak sulit menjangkau Masjid Indrapuri. Dari Banda Aceh, Anda bisa menyewa mobil travel menuju masjid yang atapnya berseng hijau.

Masjid Jami' Indrapuri
Desa Indra Puri, Kecamatan Indrapuri
Kabupaten Aceh Besar, Aceh 23373
Koordinat : 5°24'55"N   95°26'47"E


Sejarah Masjid Jami’ Indrapuri

Masjid Jami’ Indrapuri pada mulanya merupakan sebuah bangunan candi yang dibangun pada abad ke 12M di kerajaan Indrapuri. Jauh sebelum berdirinya Kesultanan Aceh darussalam di abad ke 15M.  Sultan pertama Aceh, Sultan Ali Mughayat Syah dinobatkan sebagai Sultan pada   hari Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Pengaruh Kesultanan Aceh menyebar di pulau Sumatera hingga ke wilayah semenanjung Malaya.

Manakala Islam kemudian masuk ke wilayah Indrapuri dan kemudian mengubah peradaban disana ke peradaban Islam, fungsi candi Indrapuri pun kemudian berubah menjadi sebuah masjid. Konon perubahan itu terjadi semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam tahun 1607M hingga 1636M.  Sultan Iskandar Muda juga lah yang kemudian membangun masjid Indrapuri menggantikan Candi di lokasi tersebut.

Masjid Jami Indrapuri, dibangun dibekas sebuah kuil di dalam benteng yang kokoh.

Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Aceh, Dahlia, bahwa masjid berkonstruksi kayu ini didirikan di atas reruntuhan bangunan benteng yang diperkirakan bekas peninggalan Hindu yang pernah dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan di masa pendudukan Portugis dan Belanda. Setelah Islam masuk dan berkembang pesat di Aceh, benteng yang semua tempat peribadatan Hindu, dindingnya dihancurkan dan digantikan dengan masjid. Begitu juga dengan ornamen asli penghias bangunan dalam, ditutup plester mengingat ajaran Islam melarang adanya penggambaran makhluk bernyawa. Hal senada tentang sejarah Masjid ini juga disampaikan oelh Rektor UIN Lampung, Prof Dr Musa Said dalam ceramah tarawihnya di masjid ini di bulan Ramadhan (agustus) 2009 yang lalu.

Kenyataan tersebut membantah pendapat yang mengatakan bahwa masjid Jami’ Indrapuri lebih tua dari Masjid Agung Demak, mengingat bahwa Sultan pertama Aceh, Sultan Ali Mughayat Syah baru dinobatkan sebagai Sultan tahun 1507. Kemudian Sultan Iskandar Muda sendiri berkuasa di Kesultanan Aceh tahun tahun 1607M hingga 1636M. Jauh lebih muda dari usia Masjid Agung Demak yang berdiri tahun 1477. Lain halnya bila ternyata bahwa masjid Jami’ Indrapuri ini dibangun di masa kekuasaan Samudera Pasai (1267-1521) yang merupakan kerajaan Islam Pertama di Indonesia.

Sultan Muhammad Daud Syah

Memang agak sulit menentukan tahun berdirinya Masjid Indrapuri ini dengan pasti, karena ketiadaan catatan tahun pendirian masjid yang dijumpai di lokasi tersebut dalam bentuk prasasti ataupun plakat pendirian sebagaimana kita jumpai di beberapa masjid masjid tua tanah air.

Peristiwa penting terakhir yang berlangsung di Masjid Jami’ Indrapuri adalah pelantikan Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh ke 35 pada tahun 1874. pelantikan itu juga menjadikan Indrapuri sebagai ibukota Kesultanan Aceh, Namun hal itu tak berlangsung lama karena Sultan Muhammad Daud Syah menjadi Sultan Aceh terahir setelah beliau ditangkap oleh Belanda tanggal 10 Januari 1903 kemudian diasingkan ke Ambon lalu dipindahkan ke Batavia sampai wafatnya pada tanggal  6 Februari 1939.

Dari sudut ini terlihat jelas 4 tembok benteng yang mengelilingi Masjid Indrapuri

Sekilas Kerajaan Indrapuri

Menurut penuturan Imam besar Masjid Jami’ Indrapuri, Tengku Imam Syafi’i (65thn) kepada waspada medan, Indrapuri adalah kerajaan yang didirikan oleh ummat Hindu di Aceh. Kerajaan ini berawal dari adik perempuan Putra Harsha dari India yang suaminya terbunuh dalam peperangan yang dilancarkan oleh bangsa Huna pada tahun 604 M lalu melarikan diri dari kerajaannya ke Aceh. Sesampainya di Aceh, adik perempuan Putra Harsha ini mendirikan kerajaan yang diduga dan besar kemungkinan adalah Indrapuri sekarang.

Hal ini didasari fakta bahwa di dekat Indrapuri terdapat perkampungan orang Hindu, yaitu di Kampung Tanoh Abei. Di sini juga banyak dijumpai kuburan orang Hindu. Selain mendirikan kerajaan, ummat Hindu kala itu juga mendirikan Candi diberi nama Indrapuri, yang artinya Kuta Ratu. Selain itu, ia juga mendirikan Kerajaan Indrapatra di Ladong, disekitar Pelabuhan Malahayati. 

Struktur Masjid Indrapuri seluruhnya dari kayu beratap seng. Tidak ada dinding selain tembok benteng yang mengelilinginya.

Bekas Candi masih terlihat pada tapak sekeliling Masjid. Menurut Prof. H. Ali Hasjmy (alm), diperkirakan keseluruhan tapak/bekas Candi tersebut hampir sama besarnya dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Profesor Ali Hasjmy menambahkan, bila bangunan ini digali diperkirakan patung-patung Hindu banyak terdapat di dalamnya. Bahkan menurut Yunus Djamil, dalam bukunya Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh menyebutkan, Indrapuri merupakan bagian Kerajaan Hindu Indrapurwa, termasuk Indrapatra dan Indrapurwa.

Arsitektur Masjid Indrapuri

Masjid Tua Indrapuri menempati areal tanah seluas 33.875 meter, Masjid berkonstruksi kayu didirikan di atas reruntuhan bangunan berkonstruksi batu berspesi kapur dan tanah liat yang pernah difungsikan sebagai benteng pertahanan pada saat pendudukan Portugis dan Belanda di Aceh.

Interior Masjid Jami Indrapuri dominasi bahan kayu menghasilkan pemandangan klasik khas Nusantara yang sangat kental.

Dinding benteng yang juga berfungsi sebagai pondasi masjid berdenah persegi empat, berdiri di atas tanah seluas 4.447 meter. Bangunan ini berundak empat dan pada setiap undakannya memiliki dinding keliling sekaligus jadi pembatas halaman. Kaki dan puncak dinding benteng dilengkapi oyif, yaitu bidang sisi genta.

Masjid Kuno Indrapuri berdenah bujursangkar berukuran 18,80 m x 18,80 m dengan tinggi bangunan 11,65 m. Bangunan ini dikelilingi oleh tembok undakan keempat setinggi 1,48 m. Pintu masuk terletak di sebelah timur, dan untuk mencapainya harus melalui pelataran yang merupakan halaman luar masjid. Di atas halaman kedua terdapat bak penampungan air hujan, yang juga berfungsi untuk mensucikan diri.

Tembok benteng yang berlapis dilihat dari atas, menghasilkan teras teras di sekeliling bangunan masjid.

Bentuk masjid ini merupakan perpaduan mesjid dan benteng. Pagar tembok tebal dan tinggi mengelilingi masjid. Hanya ada satu jalan masuk menuju masjid, yaitu jalan depan. Melewati tembok pertama, merupakan tempat parkir, tempat wudhu’ dan sekretariat remaja mesjid. Dari lokasi sini, masjid hanya nampak sedikit karena terhalang tembok kedua yang agak tinggi.

Menaiki tangga menuju ke tembok kedua, di sana ada sebuah bangunan kecil yang dibawahnya ada kolam air tempat mencuci kaki, sebelum masuk ke masjid, jemaah masjid memasukkan kakinya terlebih dahulu ke dalam kolam itu sehingga masuk ke dalam mesjid dalam keadaan benar benar bersih. Luas halaman dalam pagar kedua ini sekitar 10 meter mengelilingin mesjid. Tembok tebal sekitar 1 meter mengelilingi masjid. Hanya ada satu jalan masuk, yaitu di hadapan kolam tadi.

Mihrab dan mimbar di Masjid Indrapuri

Tembok ketiga masih belum masuk ke dalam masjid, tapi berupa halaman 4 meter yang mengelilingi mesjid. Halaman ini, sama dengan tembok kedua tadi juga dibatasi dengan tembok lainnya. Dan, diseberang tembok tersebut berdiri mesjid bersejarah Masjid Jami’ Indrapuri.

Kayu-kayu besar kekar menompang atap mesjid, Atap masjid ini terdiri dari Atap limas bersusun tiga., menggunakan seng sebagai penutup. Secara keseluruhan Masjid Jami’ Indrapuri di topang oleh 36 tiang kayu, masing masing 6 tiang dalam 6 jejeran. Jarak antar tiang kira kira dua shaf shalat. Tidak ada dinding, yang ada adalah tembok setinggi 1 ½ m yang mengelilingi masjid. Tembok yang tidak langsung menempel di kayu sebelah luar mesjid. Mesjid benar-benar sebagai sebuah bangun tersendiri di atas lantai yang tidak memiliki dinding.

Benteng dan masjid Indrapuri sebagai peninggalan sejarah

Mimbar masjid ini berupa tangga setiggi tiga anak tangga, dilengkapi dengan mimbar dari papan berbentuk setengah lingkaran. Sebagaimana masjid masjid tua di Indonesia, masjid Jami’ Indrapuri juga tidak memiliki menara. Pengeras suara masjid diletakkan di bawah atap limas paling atas, pengeras suara yang lebih kecil dipasang di dalam masjid. Ada enam kipas angin besar yang tersebar di dalam mesjid dan satu kipas angin kecil di tiang dekat imam. Sebuah jam klasik tergantung di tiang depan dekat mimbar. Di sudut kanan depan ada beberapa lemari, tempat inventaris masjid. Sebuah papan bertuliskan kaligarfi tergantung di depan mihrab.

Arsittektur masjid yang terbuka ini menjadikan suasananya terasa dekat dengan alam saat berada di masjid tua itu. Selain itu karena masjid ini dibangun diketinggian membuat angin semilir menusuk dari setiap sudut masjid plus tingkahan sedikit riak sungai Krueng Inong yang tak jauh dari lokasi masjid.

Upaya Pelestarian

Kini untuk menyelamatkan dan melestarikan peninggalan sejarah dan purbakala, Pemkab Aceh Besar sejak beberapa tahun lalu sudah memasang papan pengumuman dan imbauan di areal komplek bangunan Masjid Lama Indrapuri berbunyi: ‘Dilarang merusak mengambil atau memindahkan. Dilarang mengubah bentuk dan memisahkan keadaan atau kesatuan benda cagar budaya yang berada di dalam situs dan lingkungannya (Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1992). Barang siapa yang melanggar larangan ini akan dikenakan sanksi pidana (Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1992).

Foto foto Masjid Jami’ Indrapuri

Walaupun ukuran masjid ini tidak terlalu besar, namun memiliki pelataran yang cukup luas untuk menampung jemaah yang tak tertampung di dalam masjid.
Tembok Benteng Masjid Indrapuri sempat menjadi benteng pertahanan pasukan Aceh melawan Portugis dan Belanda
Diantara pohon kelapa

Kamis, 23 Desember 2010

Masjid Agung Palembang (Bagian II)

Perpaduan antara masjid lama, dibagian depan foto dengan atap genteng bewarna merah adalah bangunan tua, sedangkan bagian belakang atau sebelah timur adalah bangunan baru yang direnovasi dan diperluas tahun 2000-2003.


Arsitektur Masjid

Masjid Agung Palembang, secara umum terbagi menjadi dua bangunan utama yaitu bangunan masjid asli dan bangunan masjid tambahan. Bangunan masjid asli berada di bagian barat, tetap dipelihara keasliannya hingga kini. Sementara bangunan masjid tambahannya berada di sebelah timur dengan ukuran yang jauh lebih besar, megah dan modern.

Beberapa penulis menyebut arsitektur masjid ini sebagai perkawinan antara timur dan barat. Bentuk dasar bangunan masjid ini memang berciri sangat Indonesia, dengan atap limas bersusun tiga di topang oleh 4 sokuguru utama menyangga atap, ditambah dengan 12 tiang penyanggah yang mengelilingi sokoguru utama. Sebagaimana masjid masjid kuno asli Indonesia. Bentuk dasar yang tak jauh berbeda dengan Masjid Agung Demak (1477) di tanah Jawa. 

Bangunan tua peninggalan sultan dilihat dari menara baru Masjid Agung Palembang (Saudi Aramco terbitan Juli-Agustus 2010)


Masjid Agung Demak memang menjadi inspirasi bagi begitu banyak masjid masjid Nusantara hingga ke negara tetangga. Sebagai contoh nyata adalah tiga masjid tua di negeri Malaka, Malaysia. Masing masing adalah : Masjid Kampung Hulu (1728), Masjid Kampung Keling (1748) dan Masjid Tengkera, dengan tegas menyebutkan dalam sejarah nya bahwa masjid masjid tersebut memang dibangun dengan meniru Masjid Agung Demak.  Dan masih bertebaran masjid masjid lain nya baik di Indonesia maupun di negara tetangga, masjid baru ataupun masjid kuno. Tiga masjid Malaka tadi bila di amati sangat mirip dengan bangunan kuno Masjid Agung Palembang.

Sentuhan budaya Cina sangat kentara pada ornamen di ujung ujung atap dan mastaka di puncak bangunan, ukiran ukiran interior masjid, hingga ke bentuk bangunan menara yang mirip dengan kelenteng Cina. Sementara budaya Eropa turut mewarnai masjid ini dengan dinding beton tebal yang masif, bukaan jendela yang luas dan bangunan tambahan pertama yang menggunakan pilar pilar besar khas Eropa. Keempat sisi bangunan masjid dilengkapi empat teras tempat pintu masuk, kecuali dibagian barat yang merupakan mihrab. Arsitektur teras tersebut mengambil bentuk klasik Dorik seperti pada bagian depan dari kuil Yunani di Eropa.

Tak dapat dipungkiri bahwa Kota Palembang sendiri dalam sejarahnya sejak dari zaman Sriwijaya hingga menjadi Kesultanan Palembang memang menjadi kota multi etnik dan multikurtural, tak mengherankan bila kota ini pun menjadi pertemuan berbagai budaya yang kemudian berakulturasi sebagai budaya dan tradisi Palembang.

Tiga zaman. Dari sudut ini terlihat sekaligus bangunan masjid agung ini yang berasal dari tiga zaman yang berbeda. Bangunan asli dari masa kesultanan, sentuhan perluasan zaman penjajahan Belanda dan bangunan baru perluasan tahun 2003 tampak bagian atap limas di bagian belakang.

R
enovasi dan perluasan terahir di tahun 2003 terhadap bangunan tambahan masjid ini diselaraskan dengan bentuk masjid asli. Atap masjid yang semula berkubah diganti dengan bentuk atap limas tradisional Indonesia. Bentuk limas bersusun tiga memang tidak diterapkan pada atap bangunan baru namun di gantikan oleh tiga atap limas yang sama berjejer menutup bangunan baru masjid ini. Bentuk semula dari bangunan masjid tambahan yang sebelumnya lebih bercorak eropa kemudian di selaraskan dengan bangunan masjid tua.

Fasilitas Masjid Agung Palembang 

Selain sebagai tempat beribadah, masjid ini juga dilengkapi dengan perpustakaan, kantor pengurus Masjid, Kantor Yayasan Masjid Agung, kantor Ikatan Remaja Masjid. Halamannya yang luas kini di tata menjadi sebuah taman lengkap dengan kolam air mancur. 

Kapasitas Masjid

Bangunan Masjid asli mampu menampung 1.800 jamaah, sedangkan masjid tambahan yang baru dapat menampung hingga 9000 jemaah. Tapi setiap salat Idul Fitri, masjid ini selalu tidak mampu menampung jamaah, sehingga halaman, badan jalan Jenderal Sudirman, Jalan Merdeka, maupun badan Jembatan Ampera sering digunakan untuk shalat ied. Diperkirakan rata-rata warga yang shalat di masjid dalam setiap merayakan Idul Fitri mencapai 15.000 jemaah.

Cerahnya sinar matahari memantulkan bayangan masjid di permukaan kolam air mancur di depan Masjid.


Internet Gratis

Sejak tangal 13 Februari 2008, Masjid Agung Palembang dilengkapi dengan fasilitas Hotspot internet gratis bagi para jamaah masjid ini. Fasilitas tersebut merupakan persembahan dari PT. Telkom Kandatel Sumatera Bagian Selatan. Hotspot tersebut dapat diakses oleh 50 pengguna secara bersamaan.

Alqur’an Kayu Raksasa

Masjid Agung Palembang memiliki mushaf Alquran ukiran terbesar di dunia. Kitab suci tersebut terbuat dari kayu tembesu itu diberi nama Alquran Al-Akbar. Memiliki panjang 177 cm, lebar 144 cm, dan tebal 2,5 cm. Mulai dipamerkan kepada publik sejak Jumat 15 Mei 2009 di Masjid Agung Palembang. Pembuatan mushaf Alquran Al-Akbar menghabiskan waktu selama tujuh tahun, melibatkan sekitar 20 pengukir. Pembuatan Alqur’an Al-Akbar tersebut di prakarsai oleh Sofwatillah Mohzaib mulai digagas pada Ramadhan 1422 H. Alquran ukiran pertama terbesar di dunia itu menghabiskan 50 meter kubik kayu tembesu.

Terdiri dari 30 Juz, 630 halaman dengan jumlah lembar kayu mencapai 315. Ide pembuatan Alquran raksasa ini dimulai saat pemasangan kaligrafi di gapura masjid agung. Keping pertamanya dipamerkan pada 1 Muharram 1423 H atau 15 Maret 2002.

Mimbar dan Mihrab Masjid Agung Palembang.

Tradisi Masjid Agung Palembang

Di penghujung tahun 1980-an ketika penulis masih tinggal di kota ini. Masjid Agung ini memiliki tradisi yang cukup khas ketika sholat jum’at. Khatib yang akan menyampaikan Khutbah jum’at, akan masuk dari pintu utama masjid menjelang khutbah dilaksanakan. Beliau dikawal oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas Palembang lengkap dengan tombaknya. Pengawal ini mengantar khatib hingga ke depan mimbar. 

Dari mihrab hingga ke pintu utama dibentangkan kain bewarna putih untuk laluan khatib dan pengawalnya. Area berkain putih ini tak boleh ditempati oleh jemaah sebelum khatib masuk ke dalam masjid. Boleh jadi tradisi tersebut merupakan tradisi dari masa sultan masih berkuasa di Palembang. Mengingat kedudukan sultan yang juga sebagai ulama.

Tradisi lain yang cukup khas adalah tradisi buka puasa. Setelah berbuka dengan makanan ringan dan segelas teh manis, dilanjutkan dengan sholat magrib berjamaah. Pengurus masjid menyiapkan makan malam dalam sebuah nampan besar lengkap dengan lauk pauknya. Tak ada piring dan tak ada sendok, satu nampan hidangan tersebut disiapkan untuk dinikmati oleh 5 atau 6 orang berkumpul mengelilingi nampan dan makan langsung disana saling berbagi nasi dan lauk pauknya. Tradisi khas yang memaksa jemaah untuk saling bersilaturrahmi dan mengenal satu sama lain nya dalam menikmati kebersamaan.

Menjelang magrib setiap hari, ada pengajian anak anak yang diasuh oleh para guru terkemuka di masjid ini. Pengajian tersebut disiarkan langsung oleh RRI Palembang. Begitu selesai pengajian, baru kemudian diperdengarkan beduk dan azan Magrib.*** (Kembali ke Bagian I)

--------------------ooOOOoo-------------------





Rabu, 22 Desember 2010

Masjid Agung Palembang (Bagian I)

Masjid Agung Palembang, didepannya adalah bundaran air mancur, titik nol kota Palembang

Masjid Agung Palembang ini dapat dijadikan contoh konservasi bangunan kuno peninggalan kejayaan masa lalu namun tetap mengakomodir kebutuhan ummat masa kini. Bangunan asli Masjid ini tetap dipertahankan dalam bentuk aslinya. Sementara kebutuhan ummat akan masjid yang lebih luas diakomodir dengan menambahkan bangunan baru bernuansa senada, namun lebih modern dan terhubung langsung dengan bangunan asli.
 
Usia nya yang sudah lebih dari dua abad justru menjadikan masjid ini begitu berkharisma dan dicintai. Berkunjung dan sholat di bagian asli Masjid Agung Palembang ini sedikit mengobati kerinduan akan kejayaan kesultanan Palembang di masa lalu. Masjid ini juga menjadi salah satu bangunan bersejarah yang tersisa dari penghancuran besar besaran peninggalan Sultan oleh pemerintah kolonial Belanda.
 
Bangunan asli Masjid Agung Palembang.

Lokasi Masjid Agung Palembang
 
Masjid Agung Palembang masuk dalam wilayah Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, Kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan. Tepat berada di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, gerbang utama Masjid Agung berhadapan langsung dengan Bundaran air mancur yang menjadi titik nol Kilometer Kota Palembang.
 
Dari arah Bandara (di bagian utara kota) menuju ke Jembatan Ampera anda harus berputar di bundaran air mancur ini ke arah Jalan Merdeka sebelum masuk ke halaman Masjid Agung dari Gerbang barat. Sementara dari arah selatan, anda dapat melihat keindahan bangunan masjid kebanggaan warga Palembang dan Sumatera Selatan ini dari atas Jembatan Ampera, jembatan yang diabadikan di lambang provinsi Sumatera Selatan sekaligus landmark Kota Palembang.
 
Letak Masjid yang berada di pusat kota ini sangat memudahkan untuk menemukan dan mencapainya, sekalipun bagi mereka yang pertama kali berkunjung ke ibukota Sriwijaya di masa lalu ini.
 
Masjid Agung Palembang
Jl Cik Agus Kiemas No 1 Palembang
Telp 0711-319767, 0711-350332, dan 0711-356233
Fax 0711-350332
 
 

Nama dan Status Masjid
 
Dibangun sebagai masjid kesultanan Palembang, masjid ini dikenal sebagai masjid Sultan Palembang. Dimasa penjajahan Belanda, pemerintah jajahan menyebut masjid ini sebagai De Grote Moskee atau Masjid Agung. Sebutan tersebut ditengarai sebagai bagian dari upaya Belanda memupus habis pengaruh Sultan.
 
Setelah perluasan besar besaran tahun 2003 Masjid ini diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai Masjid Nasional. Status Masjid Agung Palembang sendiri kemudian di alihkan ke Masjid Al Fathul Akbar di kawasan Jakabaring.
 
Ditahun 2019 nama “Masjid Agung Palembang” secara resmi berubah menjadi Masjid Agung Sultan Mahmud Badarrudin Jayo Wikramo. Nama tersebut merujuk kepada pendiri masjid ini yang juga dikenal sebagai Sultan Mahmud Badaruddin I.
 
Masjid Agung Palembang ditahun 1800-an. Sentuhan Eropa tampak pada bangunan beranda dan pilar pilar bundar berukuran besar.

Sejarah Masjid Agung Palembang
 
Masjid Agung Palembang didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo. Peletakan batu pertama pembangunan masjid dilakukan pada 1 Jumadil Akhir 1151 H (1738 M) berlokasi di belakang Benteng Kuto Besak, didalam komplek keraton Kesultanan Palembang Darussalam yang dikelilingi oleh Sungai Musi, Sungai Sekanak, Sungai Tengkuruk, dan Sungai Kapuran. Sungai Kapuran dan Sungai Tengkuruk kemudian di timbun oleh pemerintah Penjajahan Belanda.
 
Pembangunan Masjid ini selesai dan diresmikan pada tanggal 28 Jumadil awal 1161H atau 26 Mei 1748 M. Sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara, ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun berukuran 30 x 36 meter atau seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah, menjadikannya sebagai bangunan masjid terbesar di Nusantara pada saat itu.
 
Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) dibangun menara di sebelah barat, terpisah dari bangunan masjid. Bentuk menaranya seperti menara bangunan kelenteng dengan bentuk atap berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.
 
Begini bentuk Masjid Agung Palembang era 1990-an.

Tahun 1848 diadakan perbaikan Masjid Sultan dilakukan oleh pemerintah Penjajahan Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan hanya atapnya yang berganti atap sirap dan penambahan tinggi menara yang dilengkapi dengan beranda melingkar. Diadakan perubahan bentuk gerbang serambi masuk dari bentuk tradisional menjadi bentuk Dorik.
 
Pada tahun 1879 telah diadakan perubahan masjid, perluasan bentuk gerbang serambi masuk di bongkar ditambah serambi yang terbuka dengan tiang beton bulat sehingga bentuknya seperti Pendopo bergaya bangunan kolonial.
 
Renovasi dan Perluasan
 
Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab tahun 1897 dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
 
Perluasan kedua kali pada tahun 1930 dengan menambah jarak antara pilar dengan atap menjadi 4 meter. Perluasan ketiga dilakukan di masa kemerdekaan oleh Yayasan Masjid Agung di tahun 1952 dengan menambahkan bangunan berkubah yang tidak harmonis dengan bangunan asli.
 
Masjid Agung Palembang sebelum renovasi 2000-2003.

Di tahun 1966 -1969 Pengurus yayasan masjid agung meneruskan penambahan ruangan dengan menambah bangunan lantai dua. Pada tanggal 22 Januari 1970 dimulai Pembanguan menara baru bersegi 12 setinggi 45 meter, yang dibiayai oleh Pertamina Sumbagsel dan di resmikan pada Tanggal 1 Februari 1971.
 
Tahun 2000 Bangunan tambahan masjid ini di renovasi dan dan diperluas, Proses pembangunan selesai dan diresmikan oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri pada tanggal 16 Juni 2003. Bangunan masjid tambahan yang ukurannya berkali lipat dari bangunan asli yang kita lihat sekarang ini adalah bangunan yang diresmikan oleh Presiden Megawati tersebut.
 
Saksi Sejarah
 
Masjid Agung Palembang ini menjadi saksi bisu perjalanan panjang Kota Palembang sejak dari masa kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam, perjuangan melawan pasukan Inggris, menjadi saksi keberingasan penjajahan Belanda yang berusaha keras menghapuskan kharisma Sultan hingga melakukan penghancuran secara terstruktur dan sistematis bangunan bangunan peninggalan sultan termasuk menghancurkan keraton Kuto Besak, aset aset kesultanan hingga rumah rumah para bangsawan. Belanda bahkan merasa perlu membongkar bangunan peninggalan Sultan hingga mencabut pondasi bangunan bangunan tersebut, dalam upaya mereka melenyapkan pengaruh Sultan.
 
Perangko peringatan perang 5H5M Palembang, tahun emisi 1975.

Masjid ini juga telah melahirkan begitu banyak tokoh tokoh Tokoh-tokoh intelektual Islam nusantara antara lain Fakhruddin Al-Falimbani, Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani, dan Abdus Shomad Al-Falimbani yang ajarannya meluas hingga ke Thailand selatan, Kalimantan, dan Maluku Utara pada masa abad ke-18. Serta masih banyak lagi. 
 
Masjid Agung Palembang menjadi saksi perlawanan gigih rakyat Palembang dan Sumatera Selatan menentang penjajahan Belanda. Sebuah peristiwa bersejarah yang terkenal dengan perang lima hari lima malam di Kota Palembang berlokasi di depan masjid ini. Peristiwa tersebut kemudian di abadikan dalam perangko Republik Indonesia tahun 1975. Sedangkan lokasi pertempuran tersebut kini dibangun Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) Sumatera Selatan.
 
Pemerintah Penjajahan Belanda juga pernah menggunakan masjid Agung Palembang untuk upacara pelantikan Abdoel Malik sebagai Walinegara Sumatera Selatan pada tanggal 18 Desember 1948. Negara Sumatera Selatan adalah salah satu Negara boneka bentukan Belanda yang hanya bertahan selama 2 tahun dan dibubarkan pada tahun 1950, kemudian melebur kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Bersambung ke bagian II)

--------------------ooOOOoo-------------------

Selasa, 14 Desember 2010

Masjid Agung Sumedang, Jawa Barat

Masjid Agung Sumedang, Jawa Barat.

Sumedang, kota kecil yang bersemboyan Sumedang Tandang Nyandang Kahayang, kini menjadi ibukota Kabupaten Sumedang, terkenal dengan Tahu Sumedang-nya. Kota yang mejadi tempat pengasingan seorang Srikandi Bangsa, Pahlawan Nasional dari Nangroe Aceh Darussalam, Cut Nya’ Dien di masa penjajahan Belanda, dan makam beliau pun kini menjadi salah satu objek wisata religi di Sumedang.  Sumedang, sudah sejak lama memiliki masjid tua bersejarah, bernama masjid Agung Sumedang, masjid terbesar di Kabupaten Sumedang.

Berdiri megah di pusat Pemerintahan Kabupaten Sumedang, kian menawan setelah direstorasi. Keberadaan Masjid Agung yang pernah menjadi pusat penyebaran Islam di Sumedang dan sekitanya itu selain menjadi kebanggaan masyarakat, sekaligus menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang harus dilestarikan.

Lokasi Masjid Agung Sumedang

Masjid Agung Sumedang berada di Jalan Prabu Geusan Ulun, Kelurahan Regol Wetan, kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang provinsi Jawa Barat. Tepatnya di Alun-Alun Kota Sumedang. Alun-alun yang pada hari Jumat sore 4 Juni 2010 menjadi lokasi unjuk rasa warga masyarakat bersama dengan Pemkab Sumedang dibawah komando Bupati Sumedang Taufiq Gunawansyah, mengutuk sekeras-kerasnya tindakan Israel atas serangan brutal mereka ke kapal kemanusiaan yang akan menuju pelabuhan Gaza, Mavi marmawa. Bupati Sumedang bahkan berkirim surat kepada Presiden SBY untuk membantu Palestina meraih kemerdekaan.

 

 

Sejarah Masjid Agung Sumedang

Masjid Agung Sumedang diperkirakan dibangun pertama kali tahun 1781-1828, pada masa pemerintahan Bupati Sumedang, Pangeran Korner. Kemudian pada masa pemerintahan pangeran Soeria Koesoemah Adinata bergelar Pangeran Sugih pada tahun 1836-1882 M masjid ini dipindahkan dari lokasi lama ke kampung Sukaraja ke lokasi baru dikampung baru. Bangungan Masjid yang baru dibangun diatas lahan wakaf dari R. Dewi Siti Aisyah seluas 6755 meter persegi. Pembangunan masjid di mulai tanggal 3 Juni 1850 dan diselesaikan tahun 1854M dengan Imam pertama, Penghulu R.H. Muhammad Apandi.

Pangeran Kornet terkenal dengan keberaniannya menentang penjajahan Belanda. Keberaniannya itu dibadikan dalam patung peringatan yang di cadas pangeran. Patung tersebut mengabadikan Pangeran Korner yang sedang bersalaman dengan Gubernur Jendral Hindia Belanda Jendral HW. Daendles, Saking marahnya beliau kepada Belanda, Pengeran Korner bersalaman dengan Deandles menggunakan tangan kiri. Sementara tangan kanannya dalam posisi siaga.

Pangeran Aria Soeriaatmadja (bupati Sumedang di tahun 1882-1919), dikenal dengan julukan  "Pangeran Mekkah", karena wafat di Makkah.

Pemugaran dan Restorasi

Pemugaran yang telah dilakukan antara lain di awali pada tahun 1913M oleh pangeran Aria Soeriaatmadja dengan gelar Pangeran Mekah, kedua kalinya pada tahun 1962 M. Ketiga tahun 1982. Kemudian direstorasi tahun 2002, dan diresmikan oleh gubernur Jawa Barat, Dani Setiawan tanggal 22 April 2003.

Restorasi tahun 2002 tersebut adalah upaya Pemerintah Kabupaten Sumedang Untuk melestarikan aset budaya yang tidak ternilai harganya itu, Pemkab Sumedang kemudian memprakarsai untuk melakukan restorasi pada bangunan tersebut. Tidak tanggung-tangung, demi mempertahankan keaslian arsitektur masjid ini, restorasi yang dilaksanakan tahun 2002 itu, menghabiskan anggaran senilai Rp 4,2  miliar.

Beberapa detil Masjid Agung Sumedang.

Restorasi itu meliputi perbaikan lantai, atap, dan ornamen. Penataan halaman, pemagaran, pemugaran tempat wudhlu. Untuk menambah kesan megah, masjid yang merupakan perpaduan arsitektur etnis Tionghoa dan Islam itu, kini di bagian selatan bangunan didirikan menara setinggi 35,5 meter. Sedangkan untuk memberikan rasa nyaman bagi mayarakat yang datang ke sana, halaman parkir diperluas dengan merelokasi bangunan Kantor Departemen Agama, Pengadilan Agama, dan Gedung Dakwah Islam yang mengapit masjid tersebut.

Arsitektur dan Fasilitas Masjid Agung Sumedang

Arsitektur masjid bercorak Cina, dengan jumlah tiang seluruhnya 166 buah, 20 buah jendela dengan ukuran tinggi 4 meter dan lebar 1,5 meter. Pada bagian depan terdapat ukiran kayu jati sebagai ornamen yang dibuat tahun 1850. Di masjid ini terdapat 3 buah beduk berukuran panjang 3 meter dan diameter 0,6 meter. Menara azan utama berbentuk Limas disebut mamale dengan tinggi 35,5 meter. Mimbar terbuat dari kayu jati degan 4 tiang dan sudah berusia 120 tahun.

Perpaduan Arsitektur Lokal dan Cina

Atap bersusun tiga Masjid Agung Sumedang
Setelah proses restorasi tuntas, perpaduan arsitektur etnis Tionghoa dengan Islam kian kentara pada atap masjid bersusun tiga mirip bangunan pagoda, kelenteng atau vihara. Pada bagian puncak bertengger sebuah mustaka yang menyerupai mahkota raja-raja di masa lalu. Pada bagian atas kusen pintu dan jendela, penuh dengan ukiran kayu yang konon menorehkan citra ukiran model Cina. Demikian pula pada bagian mimbar, terdapat sebuah properti yang penuh dengan ukiran bergaya Cina.

Terciptanya perpaduan arsitektur etnis Tioanghoa dengan Islam itu, bermula dari  masuknya sejumlah imigran dari daratan Cina ke Sumedang yang hampir bersamaan dengan pembangunan masjid. Pangeran Soegih selanjutnya memberi tempat pemukiman bagi mereka di sebelah utara pusat Pemerintahan Kabupaten Sumedang. Hingga kini, tempat itu dikenal dengan sebutan Gunung Cina.

Kitab Suci Alqur’an Raksasa di Masjid Agung Sumedang

Kitab suci Al-Qur'an kayu di masjid yang berdiri megah di pusat Kota Tahu ini, ditempatkan di depan masjid. Keberadaannya menarik perhatian sejumlah jamaah yang baru kali pertama bertandang. Banyak jamaah yang mengabadikan diri di samping Al-Qur'an kayu ini.

Perpustakaan masjid Agung Sumedang
  
Alqur’an raksana di Masjid Agung-
Sumedang
Masjid Agung Sumedang juga dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan yang tebuka untuk umum. Di gedung perpustakaan ini juga menjadi sekretariat Ikatan Remaja Masjid Agung (IRMA) Sumedang dengan berbagai aktifitas mereka. Bagi anda yang bergabung di situr jejaring sosial facebook dapat menjalin pertemanan dengan IRMA Sumedang ini di Acccount Facebook IRMA Sumedang.  Salah satu kegiatan yang diselenggarakan oleh IRMA Sumedang ini adalah penyelenggaaan Gebyar Kampung Ramadhan selama bulan Suci Ramdhan tahun 2010, bekerja sama dengan salah satu produsen obat ternama.

Pengajian Rutin di Masjid Agung Sumedang

Masjid Agung Sumedang ini cukup makmur dengan kegiatan pegajian dan pengajaran Islam. salah satu pengajian di masjid ini dikelola oleh Pondok Pesantren Asy-Syifaa’wal Mahmuudiyyah, yang menyelenggarakan pengajian rutin untuk umum di Masjid Agung Sumedang setiap malam Jum’at dua minggu sekali mulai pukul 20.00 WIB hingga pukul 24:00 WIB.***